PENGELOMPOKAN
BUDAYA PASIFIK SELATAN
Berdasarkan
beberapa persamaan budaya, para ahli Geografi membagi pulau-pulau kawasan
Pasifik Selatan ke dalam tiga wilayah budaya, yaitu:
1. Mikrosesia
Yang
berarti pulau-pulau kecil, wilayah ini terletak di bagian utara kathulistiwa.
Unit-unit politik yang termasuk dalam wilayah ini adalah Kep. Mariana, Kep.
Marshall, FSM (Federated States of Mikrosesia), Nauru dan Rep. Palau/Belau.
2. Melanesia
Yang
berarti pulau-pulau hitam, wilayah ini terletak di selatan Khatulistiwa dari
arah barat membentang menuju ke tengah samudera pasifik. Wilayah ini mencakup
kawasan daratan yang paling luas di Pasifik Selatan. Unit-unit politik yang
termasuk di dalam wilayah ini adalah: Papua Nugini, Solomon, Vanuatu, dan
kaledonia Baru.
3. Polinesia
Yang berarti banyak pulau. Wilayah ini
mencakup wilayah yang berada di utara dan selatan Khatulistiwa. Berbentu segi
tiga, bagian utara rucig (Hawai) kebawah kanan di Fiji dan sampai ke timur.
Unit-unit politik yang tergabung dalam Polinesia adalah : Tuvalu, Samoa Barat,
Tonga, Kepulauan Cook dan Fiji.
Masyarakat
Pasifik Selatan yang diketegorikan dalam tig kelompok budaya besar sulit diberi
batasan secara jelas dari ketiganya tersebut. Hal ini disebabkan dari berbagai
element budaya saling bersinggungan dan berkaitan antara yang satu dengan yang
lainnya. Karena kehidupan mereka secara komunal, maka cara-cara berorganisasi
mereka juga diatur oleh pemimpin kelompok yang berfungsi sebagai kepala suku.
Dalam kehidupan kelompok ini prinsip senioritas sangat diutamakan.
Untuk
mencukupi kebutuhan hidup, mereka bergantung pada sistem pertanian yang
subsisten, yang bergantung pada luasnya teritorial (tanah) yang dikuasai oleh
komunal mereka. Cara-cara berorganisasi mereka dipimpin oleh kepala-kepala
kelompok (keluarga luas). yang berfungsi sebagai: kepala keluarga luas atau
kepala suku. Dalam ketiga kelompok komuniti tersebut, senioritas sangat
berperan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Cara hidup yang demikianlah yang
mewrnai kehidupan masyarakat Pasifik Selatan. Sekalipun demikian, para pemimpin
Pasifik Selatan cukup bangga dengan kebudayaan dan tradisi yang dimilikinva.
Terdapat beberapa istilah mengenai tradisi budaya di Pasifik Selatan, yang
dijadikan basis ideologi bagi negara-negara merdeka di Pasifik Selatan. Di Fiji
misalnya, terdapat istilah Vaka’ i Taukei, yang berarti "Cara Hidup
orang Fiji," di Samoa Barat (termasuk Samoa Amerika) dikenal demean Fa'a
Samoa, yang berarti "Dunia orang Samoa," dan di PNG terdapat
budaya Wantok. Demikian pula di berbagai wilayah lainnya.
elemen-elemen tradisi dan budaya masyarakat Pasifik
Selatan ifii banyak memiliki persamaan, seperti misalnya cara-cara
berorganisasi. Salah satu yang menonjol, dan memiliki makna politik —karena
berbeda dengan kebudayaan Barat (penjajahnya), adalah cara-cara pengambilan keputusan
yang berlangsung secara "musyawarah untuk mufakat"Cara-cara
pengambilan keputusan ini dipandang oleh para pemimpin Pasifik Selatan sebagai ciri
khas dan merupakan identitas bangsa-bangsa merdeka di Pasifik Selatan. Oleh
karenanya, mereka mengistilahkannya sebagai "Pacific Way." Hal ini sangat mewarnai perundingan-perundingan yang
dilakukan oleh bangsa-bangsa pasifik dalam berbagai forum regional mereka.
Dalam usaha membedakan ketiga kebudayaan Pasifik
Selatan, para ahli melihat pada stratifikasi sosial yang membentuk
kelompok-kelompok masyarakat Pasifik Selatan. Dalam budaya Melanesia, lapisan
sosial yang kaku hampir dikatakan tidak ada. Status sosial ,asyarakat dapat
dicapai melalui cara-cara tertentu, yang berarti masyarakat Melanesia menganut
sistem achieved status.
Sebaliknya, ststatifikasi sosial pada masyarakat
Polinesia dan disebagian besar masyarakat Mikronesia sangat tertutup.
Lapisan-lapisan sosial hirarki kebangsawanan sangat menonjol. Oleh karena itu
masyarakat Polinesia dan Mikronesia menganut sistem ascribed status, yang ditentukan oleh kelahiran. Walaupun demikian,
dalam budaya Polinesia dan Mikronesia ada sejumlah kecil individu kelas bawah
yang dapat mencapai status yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan seseorang
tersebut mempunyai keahlian.
Berdasarkan stratifikasi sosial ini, terdapat
ciri-ciri kepemimpinan yang berbeda antara masyarakat Melanesia di satu pihak,
dan masyarakat Polinesia serta Mikronesia di lain pihak. Dalam masyarakat
Melanesia, walopun memakai nama yang bermacam-macam, terdapat suatu jenis
kepemimpinan yang disebut Bigman.
Didalam masyarakat Polinesia dan Mikronesia, terdapat jensi kepemimpinan yang
disebut “chief” atau kepala suku. Tetapi lebih tepatnya adalah
semacam “raja-raja kecil”. Dibeberapa wilayah lain di Polinesia dan Mikronesia,
kelompok-kelompok bangsawan mempunyaisebutan tersendiri. Diwilayah jajahan
Inggris, terutama Fiji dan Tonga, struktur kepemimpinan dan masyarakat
tradisional mendapat perhatian penuh.
Dalam kaitannya dengan penyebaran kebudayaan
Polinesia didalam wilayah Polinesia, kerajaan Tonga mempunyai peranan yang
cukup besar. Nama Tonga sendiri berarti “Selatan” dalam bahasa Polinesia. Di
tahun 1789, ketika orang-orang Eropa sudah berdatangan ke negeri ini, pecah
perang diantara ketiganya, karena masing-masing raja memperebutkan wilayah
kekuasaanya.
Setelah kemerdekaan, muncul semacam kekhawatiran
bila para bigman di Melanesia maupun chief di Polinesia dan Mikronesia,
memimpin bangsa-bangsa di Pasifik Selatan. Kekhawatiran ini tentunya dapat
dipahami karena secara skultural kedua jenis kepemimpinan tersebut tentu saja
bersifak otoriter. Diwilayah jajahan Inggris, terutama Fiji dan Tonga, struktur
kepemimpinan dan masyarakat tradisional mendapat perhatian penuh.
BAB III
DEKOLONISASI DI PASIFIK SELATAN
Proses dekolonisasi di Pasifik selatan berlangsung
lebih lambat dibandingkan dengan dekolonisasi bagi bangsa-bangsa Asia. Ketika
beberapa wilayah di Asia sudah merdeka setelah PD II ditahun 1945,
wilayah-wilayah di kawasan Pasifik Selatan dikembalikan kepada negara
penjajahnya.
1.
Kebijakan
Dekolonisasi
Sebagaimana
telah dikemukakan diatas, bahwa setelah PD II wilayah Pasifik Selatan
diserahkan kembali kepada negara penjajahnya. Negara-negara koloni mempunya
kebijaksanaan dalam membangun sosial dan ekonomi di wilayah jajahannya di
Pasifik Selatan. Berbeda dengan di Vanuatu, kebijaksanaan dekolonisasi Inggris
memerlukan penyesuaian dengan Perancis. Hal ini disebabkan karena Vanuatu
dijajah oleh satu-satunya sistem penjajahan di dunia, yang dinamakan Condominium. Dalam hal ini Vanuatu
dijajah oleh dua kekuasaan kolonial Inggris dan Perancis.
2. Kolonisasi dan Konstitusi
Salah satu masalah
penting dalam proses dekolonisasiadalah pembuatan konstitusi. Konstitusi ini
sangat penting bagi negara-negara baru merdeka di Pasifik Selatan. Konstitusi
berfungsi sebagai pengatur lembaga-lembaga politik yang ada dan aturan-aturan
main yang ditetapkan bagi suatu negara merdeka. Di hampir semua negara merdeka
di Pasifik Selatan, gagasan untuk melakukan dekolonisasi berasal dari negara-negara
penjajah. Sebagai pemrakarsa, tentu saja pihak penjajah memainkan peranan
penting dalam pembuatan draft konstitusi bagi negara-negara baru di Pasifik
Selatan. AS, Inggris, Australia, Selandia Baru dan suatu tingkat tertentu,
Perancis, merupakan negara-negara penjajah yang berkepentingan dalam pembuatan
konstitusi negara-negara merdeka di Pasifik Selatan.
Melalui cara ini,
nampak hubungan konstitusional antara negara-negara bekas penjajahan dengan
wilayah jajahannya tetap tercipta. Hal ini nampak dalam lembaga-lembaga politik
yang dibentuk dalam sistem politik negara-negara merdeka di Pasifik Selatan.
Gubernur Jenderal dan Perdana Menteri diadopsi, terutama di negara-negara bekas
jajahan Inggris dan Selandia Baru. Terdapat beberapa kekhususan dalam
pengaturan lembaga pemerintahan di beberapa negara bekas jajahan ketiga negara
tersebut. Nauru misalnya, yang merupakan bekas negara perwakilan Australia
merupakan kekecualian. Para pemimpin Nauru merasa sanggup untuk membentuk
pemerintahan tanpa bantuan bekas penjajahnya, sehigga ketika merdeka pada 29
Januari 1968, negara ii membetuk pemeritaha Republik degan sistem pemeritahan
presidesial, sistem hukumya megadopsi pada akta pareme dan sistem commo low Iggris.
Sistem yang berlaku di Vanuatu, yanng
merupaka bekas daerah jajaha bersama Inggris dan Perancis, juga menunjukkan
perbedaan. Sebagai negara merdeka, Vanuatu mengadopsi sistem parlemeter gaya
Iggris da sistem presidesial gaya Peracis. Itu sebabya di Vauatu terdapat
seorag preside yag bertidak sebagai Kepala Negara da seorag perdaa meteri yg
bertug melaksaaka kegiata pemerintahan. Sekalipun demikian, kasus Tonga dan
Samoa Barat perlu mendapat perhatian khusus. Dikedua negara ini, struktur
politik tradisional sangat kuat sehingga menjadi dasar bagi bentuk
pemerintahan, ketika negara-negara ini merdeka. Tonga mengambil bentuk
pemerintahan kerajaan atau monarki konstitusional yang didasarkan pada
keturunan. Sedangkan Samoa Barat menamakan dirinya sebagai Negara Merdeka Samoa
Barat, dengan sistem pemerintahan monarki konstitusiaonal yang bersandar pada
kepala-kepala keluarga aiga atau matai. Sejak kemerdekaan di tahun 1962, empat keluarga bangsawan (tamaa-a- ‘aiga) memegang posisi penting
di pemerintahan, seperti kepala negara dipegang secara bersama oleh Tupua
Tamasese Mea’ole dan Malietoa Tanumafili II, yang berkedudukan seumur hidup.
Kasus Fiji juga memerlukan perhatian.
Struktur politik tradisional juga sangat kuat, karena terlindungi dan
berkembang selama masa penjajahan Inggris. Akan tetapi karena masyarakat Fiji
terbagi atas dua ras besar, yaitu keturunan India dan anak negeri Fiji, maka
setelah kemerdekaan sampai tahun 1987, Fiji menganut sistem pemerintahan yang
sama dengan bekas kolonialnya, Inggris. Setelah dua kudeta militer di tahun
1987, sistem pemerintahan Fiji berbentuk Republik dengan presiden sebagai
kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
Di negara-negara bekas jajahan AS,
seluruh sistemnya menganut sistem yang berlaku di AS. Lembaga kepresidenan di
Kepulauan Marshall dan FSM bertindak sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan, demikian pula di Belau, yang status politiknya belum jelas.
Masalah yang juga dihadapi oleh pemerintahan kolonial dalam melaksanakan
dekolonisasi adalah bagaimana melegitimasikan proposal konstitusi tersebut.
Sementara di tonga dan Samoa Barat,
pemerintah-pemerintah kolonial Inggris dan Selandia Baru tidak begitu
kesulitan. Pemerintah kolonial Inggris dapat membicarakan proposal tersebut
dengan Raja Tonga, yang memiliki kekuasaan penuh terhadap rakyatnya.
Dalam pelaksanaan dekolonisasi di
Pasifik Selatan terdapat pula hambatan-hambatan yang bersifat etnis. Di PNG
misalnya, ketika Australia mengumumkan akan memberikan kemerdekaan bagi PNG di tahun
1972, rakyat PNG justru terpecah menjadi dua. Ada sebagian rakyat yang belum
mau medeka, dan sebagian lain menginginkan kemerdekaan. Dibalik perbedaan
pandangan ini terdapat permasalahan yang bersifta etnis bahwa tidak ada satupun
kelompok etnis di PNG yang dapat mendominasi kelompok etnis lainnya.
Persoalan serius juga terjadi di Fiji.
Konflik yang terjadi bukanlah antara penduduk Fiji dengan pihak penjajah
Inggris, melainkan antara dua kelompok ras utama yaitu antara anak negeri dan
keturunan India. Pada yahun 1965, ketika Konferensi mengenai Konstitusi Fiji
dilaksanakan, kaum anak negeri melihat jumlah keturunan India telah mencapai
51%, sedangkan anak negeri Fiji hanya berjumlah sekitar 43%, sisanya adalah
orang-orang Eropa, Cina dan Pasifik Lainnya. Mereka khawatir bahwa kaum anak
negeri akan didominasi oleh orang-orang keturunan India. Kekhawatiran kaum anak
negeri ini juga diperkuat oleh beberapa kondisi lainnya. Secara ekonomi,
kondisi perekonomian kaum anak negeri jauh dibelakang orang-orang keturunan
India.
Dalam penyelesaian masalah dekolonisasi,
sebagian besar wilayah jajahan memilih sebagai negaara merdeka, dengan berbagai
bentuk pemerintahan. Tongan dan Samoa Barat, sebagaimana telah dikatakan
diatas, memakai sistem monarki konstitusional, Fiji merupakan negara dominium
sebelum 1987, negara-negara seperti Kiribati, Nauru dan beberapa lainnya
menggunakan Republik.
Secara nominal, FSM dan Kepulauan
Marshall adalah negara merdeka. Namun, karena kepentingan AS sangat besar di
wilayah-wilayah tersebut, disamping kondisi perekonomian wilayah tersebut
sangat tergantung dari keberadaan pangkalan-pangkalan militer AS, maka wilayah
ini juga merupakan wilayah yang berasosiasi bebas dengan AS.
3.
Pengaturan
masalah-masalah lain
Banyak masalah
yang diatur dalam rangka dekolonisasi. Dalam hal ini, masalah-masalah yang
berkaitan dengan tradisi dan adat banyak diangkat dalam konstitusi. Satu
masalah yang penting dalam pembuatan konstitusi adalah masalah tanah anak
negeri. Bagi masyarakat paifik elatan, taah melibatka hal-hal yg emosioal magi
mereka. Hal ii tidk saja karea terbatasya lahan bagi masyarakat, da buka pula
hanya melbatkan tanaman, binatang, sungai-sungai dan segala sesuatu yang ada
diatasnya.
Masalah tanah di
Fiji memang pengecualian. Sejak masa kolonial, tanah tetap dikuasai oleh
kelompok komunal, sehingga konstitusi dapat menerima sebagian kecil tanah
komunal yang dikuasai oleh pemilik Eropa dan kerajaan Inggris. Selain di Fiji,
di Vanuatu dan PNG masalah tanah menjadi salah satu isue politik,
kadang-kandang menjelma dalam bentuk kekerasan fisik. Untuk mencegah terjadinya
pengalihan hak atas tanah anak negeri kepada pihak non-anak negeri, pasal 68
Konstitusi 1970 berfungsi sebagai “penjaganya”.
Negara-negara di
Pasifik Selatan setelah mendapatkan kemerdekaan masih diberi bantuan oleh
negara bekas koloninya. Hal yang hampir sama juga diterapkan Australia di bekas
wilayah Koloninya. Hanya kepada Nauru, Australia tidak memberikan budget suport. Hal ini terutama, karena
negara ini merupakan negara terkaya di Pasifik Selatan. Sampai saat ini, bantuan
anggaran dari bekas negara-negara kolonialnya sangat penting sebagai sumber
perekonomian negara-negara di Kepulauan Pasifik Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar