Selasa, 24 September 2013

Budaya Pasifik Selatan


PENGELOMPOKAN BUDAYA PASIFIK SELATAN

Berdasarkan beberapa persamaan budaya, para ahli Geografi membagi pulau-pulau kawasan Pasifik Selatan ke dalam tiga wilayah budaya, yaitu:
1.      Mikrosesia
Yang berarti pulau-pulau kecil, wilayah ini terletak di bagian utara kathulistiwa. Unit-unit politik yang termasuk dalam wilayah ini adalah Kep. Mariana, Kep. Marshall, FSM (Federated States of Mikrosesia), Nauru dan Rep. Palau/Belau.
2.      Melanesia
Yang berarti pulau-pulau hitam, wilayah ini terletak di selatan Khatulistiwa dari arah barat membentang menuju ke tengah samudera pasifik. Wilayah ini mencakup kawasan daratan yang paling luas di Pasifik Selatan. Unit-unit politik yang termasuk di dalam wilayah ini adalah: Papua Nugini, Solomon, Vanuatu, dan kaledonia Baru.
3.      Polinesia
Yang berarti banyak pulau. Wilayah ini mencakup wilayah yang berada di utara dan selatan Khatulistiwa. Berbentu segi tiga, bagian utara rucig (Hawai) kebawah kanan di Fiji dan sampai ke timur. Unit-unit politik yang tergabung dalam Polinesia adalah : Tuvalu, Samoa Barat, Tonga, Kepulauan Cook dan Fiji.

Masyarakat Pasifik Selatan yang diketegorikan dalam tig kelompok budaya besar sulit diberi batasan secara jelas dari ketiganya tersebut. Hal ini disebabkan dari berbagai element budaya saling bersinggungan dan berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Karena kehidupan mereka secara komunal, maka cara-cara berorganisasi mereka juga diatur oleh pemimpin kelompok yang berfungsi sebagai kepala suku. Dalam kehidupan kelompok ini prinsip senioritas sangat diutamakan.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka bergantung pada sistem pertanian yang subsisten, yang bergantung pada luasnya teritorial (tanah) yang dikuasai oleh komunal mereka. Cara-cara berorganisasi mereka dipimpin oleh kepala-kepala kelompok (keluarga luas). yang berfungsi sebagai: kepala keluarga luas atau kepala suku. Dalam ketiga kelompok komuniti tersebut, senioritas sangat berperan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Cara hidup yang demikianlah yang mewrnai kehidupan masyarakat Pasifik Selatan. Sekalipun demikian, para pemimpin Pasifik Selatan cukup bangga dengan kebudayaan dan tradisi yang dimilikinva. Terdapat beberapa istilah mengenai tradisi budaya di Pasifik Selatan, yang dijadikan basis ideologi bagi negara-negara merdeka di Pasifik Selatan. Di Fiji misalnya, terdapat istilah Vaka’ i Taukei, yang berarti "Cara Hidup orang Fiji," di Samoa Barat (termasuk Samoa Amerika) dikenal demean Fa'a Samoa, yang berarti "Dunia orang Samoa," dan di PNG terdapat budaya Wantok. Demikian pula di berbagai wilayah lainnya.
elemen-elemen tradisi dan budaya masyarakat Pasifik Selatan ifii banyak memiliki persamaan, seperti misalnya cara-cara berorganisasi. Salah satu yang menonjol, dan memiliki makna politik —karena berbeda dengan kebudayaan Barat (penjajahnya), adalah cara-cara pengambilan keputusan yang berlangsung secara "musyawarah untuk mufakat"Cara-cara pengambilan keputusan ini dipandang oleh para pemimpin Pasifik Selatan sebagai ciri khas dan merupakan identitas bangsa-bangsa merdeka di Pasifik Selatan. Oleh karenanya, mereka mengistilahkannya sebagai "Pacific Way." Hal ini sangat mewarnai perundingan-perundingan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa pasifik dalam berbagai forum regional mereka.
Dalam usaha membedakan ketiga kebudayaan Pasifik Selatan, para ahli melihat pada stratifikasi sosial yang membentuk kelompok-kelompok masyarakat Pasifik Selatan. Dalam budaya Melanesia, lapisan sosial yang kaku hampir dikatakan tidak ada. Status sosial ,asyarakat dapat dicapai melalui cara-cara tertentu, yang berarti masyarakat Melanesia menganut sistem achieved status.
Sebaliknya, ststatifikasi sosial pada masyarakat Polinesia dan disebagian besar masyarakat Mikronesia sangat tertutup. Lapisan-lapisan sosial hirarki kebangsawanan sangat menonjol. Oleh karena itu masyarakat Polinesia dan Mikronesia menganut sistem ascribed status, yang ditentukan oleh kelahiran. Walaupun demikian, dalam budaya Polinesia dan Mikronesia ada sejumlah kecil individu kelas bawah yang dapat mencapai status yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan seseorang tersebut mempunyai keahlian.
Berdasarkan stratifikasi sosial ini, terdapat ciri-ciri kepemimpinan yang berbeda antara masyarakat Melanesia di satu pihak, dan masyarakat Polinesia serta Mikronesia di lain pihak. Dalam masyarakat Melanesia, walopun memakai nama yang bermacam-macam, terdapat suatu jenis kepemimpinan yang disebut Bigman. Didalam masyarakat Polinesia dan Mikronesia, terdapat jensi kepemimpinan yang disebut “chief”  atau kepala suku. Tetapi lebih tepatnya adalah semacam “raja-raja kecil”. Dibeberapa wilayah lain di Polinesia dan Mikronesia, kelompok-kelompok bangsawan mempunyaisebutan tersendiri. Diwilayah jajahan Inggris, terutama Fiji dan Tonga, struktur kepemimpinan dan masyarakat tradisional mendapat perhatian penuh.
Dalam kaitannya dengan penyebaran kebudayaan Polinesia didalam wilayah Polinesia, kerajaan Tonga mempunyai peranan yang cukup besar. Nama Tonga sendiri berarti “Selatan” dalam bahasa Polinesia. Di tahun 1789, ketika orang-orang Eropa sudah berdatangan ke negeri ini, pecah perang diantara ketiganya, karena masing-masing raja memperebutkan wilayah kekuasaanya.
Setelah kemerdekaan, muncul semacam kekhawatiran bila para bigman di Melanesia maupun chief di Polinesia dan Mikronesia, memimpin bangsa-bangsa di Pasifik Selatan. Kekhawatiran ini tentunya dapat dipahami karena secara skultural kedua jenis kepemimpinan tersebut tentu saja bersifak otoriter. Diwilayah jajahan Inggris, terutama Fiji dan Tonga, struktur kepemimpinan dan masyarakat tradisional mendapat perhatian penuh.

BAB III
DEKOLONISASI DI PASIFIK SELATAN

Proses dekolonisasi di Pasifik selatan berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan dekolonisasi bagi bangsa-bangsa Asia. Ketika beberapa wilayah di Asia sudah merdeka setelah PD II ditahun 1945, wilayah-wilayah di kawasan Pasifik Selatan dikembalikan kepada negara penjajahnya.
1.      Kebijakan Dekolonisasi
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa setelah PD II wilayah Pasifik Selatan diserahkan kembali kepada negara penjajahnya. Negara-negara koloni mempunya kebijaksanaan dalam membangun sosial dan ekonomi di wilayah jajahannya di Pasifik Selatan. Berbeda dengan di Vanuatu, kebijaksanaan dekolonisasi Inggris memerlukan penyesuaian dengan Perancis. Hal ini disebabkan karena Vanuatu dijajah oleh satu-satunya sistem penjajahan di dunia, yang dinamakan Condominium. Dalam hal ini Vanuatu dijajah oleh dua kekuasaan kolonial Inggris dan Perancis.
2.      Kolonisasi dan Konstitusi
Salah satu masalah penting dalam proses dekolonisasiadalah pembuatan konstitusi. Konstitusi ini sangat penting bagi negara-negara baru merdeka di Pasifik Selatan. Konstitusi berfungsi sebagai pengatur lembaga-lembaga politik yang ada dan aturan-aturan main yang ditetapkan bagi suatu negara merdeka. Di hampir semua negara merdeka di Pasifik Selatan, gagasan untuk melakukan dekolonisasi berasal dari negara-negara penjajah. Sebagai pemrakarsa, tentu saja pihak penjajah memainkan peranan penting dalam pembuatan draft konstitusi bagi negara-negara baru di Pasifik Selatan. AS, Inggris, Australia, Selandia Baru dan suatu tingkat tertentu, Perancis, merupakan negara-negara penjajah yang berkepentingan dalam pembuatan konstitusi negara-negara merdeka di Pasifik Selatan.
Melalui cara ini, nampak hubungan konstitusional antara negara-negara bekas penjajahan dengan wilayah jajahannya tetap tercipta. Hal ini nampak dalam lembaga-lembaga politik yang dibentuk dalam sistem politik negara-negara merdeka di Pasifik Selatan. Gubernur Jenderal dan Perdana Menteri diadopsi, terutama di negara-negara bekas jajahan Inggris dan Selandia Baru. Terdapat beberapa kekhususan dalam pengaturan lembaga pemerintahan di beberapa negara bekas jajahan ketiga negara tersebut. Nauru misalnya, yang merupakan bekas negara perwakilan Australia merupakan kekecualian. Para pemimpin Nauru merasa sanggup untuk membentuk pemerintahan tanpa bantuan bekas penjajahnya, sehigga ketika merdeka pada 29 Januari 1968, negara ii membetuk pemeritaha Republik degan sistem pemeritahan presidesial, sistem hukumya megadopsi pada akta pareme dan sistem commo low Iggris.
Sistem yang berlaku di Vanuatu, yanng merupaka bekas daerah jajaha bersama Inggris dan Perancis, juga menunjukkan perbedaan. Sebagai negara merdeka, Vanuatu mengadopsi sistem parlemeter gaya Iggris da sistem presidesial gaya Peracis. Itu sebabya di Vauatu terdapat seorag preside yag bertidak sebagai Kepala Negara da seorag perdaa meteri yg bertug melaksaaka kegiata pemerintahan. Sekalipun demikian, kasus Tonga dan Samoa Barat perlu mendapat perhatian khusus. Dikedua negara ini, struktur politik tradisional sangat kuat sehingga menjadi dasar bagi bentuk pemerintahan, ketika negara-negara ini merdeka. Tonga mengambil bentuk pemerintahan kerajaan atau monarki konstitusional yang didasarkan pada keturunan. Sedangkan Samoa Barat menamakan dirinya sebagai Negara Merdeka Samoa Barat, dengan sistem pemerintahan monarki konstitusiaonal yang bersandar pada kepala-kepala keluarga aiga atau matai. Sejak kemerdekaan  di tahun 1962, empat keluarga bangsawan (tamaa-a- ‘aiga) memegang posisi penting di pemerintahan, seperti kepala negara dipegang secara bersama oleh Tupua Tamasese Mea’ole dan Malietoa Tanumafili II, yang berkedudukan seumur hidup.
Kasus Fiji juga memerlukan perhatian. Struktur politik tradisional juga sangat kuat, karena terlindungi dan berkembang selama masa penjajahan Inggris. Akan tetapi karena masyarakat Fiji terbagi atas dua ras besar, yaitu keturunan India dan anak negeri Fiji, maka setelah kemerdekaan sampai tahun 1987, Fiji menganut sistem pemerintahan yang sama dengan bekas kolonialnya, Inggris. Setelah dua kudeta militer di tahun 1987, sistem pemerintahan Fiji berbentuk Republik dengan presiden sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
Di negara-negara bekas jajahan AS, seluruh sistemnya menganut sistem yang berlaku di AS. Lembaga kepresidenan di Kepulauan Marshall dan FSM bertindak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, demikian pula di Belau, yang status politiknya belum jelas. Masalah yang juga dihadapi oleh pemerintahan kolonial dalam melaksanakan dekolonisasi adalah bagaimana melegitimasikan proposal konstitusi tersebut.
Sementara di tonga dan Samoa Barat, pemerintah-pemerintah kolonial Inggris dan Selandia Baru tidak begitu kesulitan. Pemerintah kolonial Inggris dapat membicarakan proposal tersebut dengan Raja Tonga, yang memiliki kekuasaan penuh terhadap rakyatnya.
Dalam pelaksanaan dekolonisasi di Pasifik Selatan terdapat pula hambatan-hambatan yang bersifat etnis. Di PNG misalnya, ketika Australia mengumumkan akan memberikan kemerdekaan bagi PNG di tahun 1972, rakyat PNG justru terpecah menjadi dua. Ada sebagian rakyat yang belum mau medeka, dan sebagian lain menginginkan kemerdekaan. Dibalik perbedaan pandangan ini terdapat permasalahan yang bersifta etnis bahwa tidak ada satupun kelompok etnis di PNG yang dapat mendominasi kelompok etnis lainnya.
Persoalan serius juga terjadi di Fiji. Konflik yang terjadi bukanlah antara penduduk Fiji dengan pihak penjajah Inggris, melainkan antara dua kelompok ras utama yaitu antara anak negeri dan keturunan India. Pada yahun 1965, ketika Konferensi mengenai Konstitusi Fiji dilaksanakan, kaum anak negeri melihat jumlah keturunan India telah mencapai 51%, sedangkan anak negeri Fiji hanya berjumlah sekitar 43%, sisanya adalah orang-orang Eropa, Cina dan Pasifik Lainnya. Mereka khawatir bahwa kaum anak negeri akan didominasi oleh orang-orang keturunan India. Kekhawatiran kaum anak negeri ini juga diperkuat oleh beberapa kondisi lainnya. Secara ekonomi, kondisi perekonomian kaum anak negeri jauh dibelakang orang-orang keturunan India.
Dalam penyelesaian masalah dekolonisasi, sebagian besar wilayah jajahan memilih sebagai negaara merdeka, dengan berbagai bentuk pemerintahan. Tongan dan Samoa Barat, sebagaimana telah dikatakan diatas, memakai sistem monarki konstitusional, Fiji merupakan negara dominium sebelum 1987, negara-negara seperti Kiribati, Nauru dan beberapa lainnya menggunakan Republik.
Secara nominal, FSM dan Kepulauan Marshall adalah negara merdeka. Namun, karena kepentingan AS sangat besar di wilayah-wilayah tersebut, disamping kondisi perekonomian wilayah tersebut sangat tergantung dari keberadaan pangkalan-pangkalan militer AS, maka wilayah ini juga merupakan wilayah yang berasosiasi bebas dengan AS.
3.        Pengaturan masalah-masalah lain
Banyak masalah yang diatur dalam rangka dekolonisasi. Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan tradisi dan adat banyak diangkat dalam konstitusi. Satu masalah yang penting dalam pembuatan konstitusi adalah masalah tanah anak negeri. Bagi masyarakat paifik elatan, taah melibatka hal-hal yg emosioal magi mereka. Hal ii tidk saja karea terbatasya lahan bagi masyarakat, da buka pula hanya melbatkan tanaman, binatang, sungai-sungai dan segala sesuatu yang ada diatasnya.
Masalah tanah di Fiji memang pengecualian. Sejak masa kolonial, tanah tetap dikuasai oleh kelompok komunal, sehingga konstitusi dapat menerima sebagian kecil tanah komunal yang dikuasai oleh pemilik Eropa dan kerajaan Inggris. Selain di Fiji, di Vanuatu dan PNG masalah tanah menjadi salah satu isue politik, kadang-kandang menjelma dalam bentuk kekerasan fisik. Untuk mencegah terjadinya pengalihan hak atas tanah anak negeri kepada pihak non-anak negeri, pasal 68 Konstitusi 1970 berfungsi sebagai “penjaganya”.
Negara-negara di Pasifik Selatan setelah mendapatkan kemerdekaan masih diberi bantuan oleh negara bekas koloninya. Hal yang hampir sama juga diterapkan Australia di bekas wilayah Koloninya. Hanya kepada Nauru, Australia tidak memberikan budget suport. Hal ini terutama, karena negara ini merupakan negara terkaya di Pasifik Selatan. Sampai saat ini, bantuan anggaran dari bekas negara-negara kolonialnya sangat penting sebagai sumber perekonomian negara-negara di Kepulauan Pasifik Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar