Senin, 14 Oktober 2013
Selasa, 24 September 2013
LAPORAN KLS PENDIDIKAN SEJARAH TAHUN '2008
Candi
Waringin Lawang
Kota Trowulan,
sekitar 60 kilometer arah barat Surabaya memang dipercaya sebagai bekas pusat
Kerajaan Majapahit, kerajaan besar di Nusantara sekitar abad XIII-XIV. Berbagai
bangunan kuno yang bentuknya menyerupai candi, tempat pemandian keluarga raja
ataupun gapura serta serta serakan batu bekas peninggalan Majapahit dapat
ditemui di Trowulan.
Trowulan terletak 12 km sebelah barat kota
Mojokerto, kira-kira satu jam naik kendaraan dari Surabaya. Peninggalan
Majapahit dapat dilihat pada koleksi benda-benda kuno dalam museum
kepurbakalaan Trowulan atapun candi-candi yang terdapat di sekitar Trowulan,
antara lain candi Waringin Lawang, candi Tikus, candi Tawon, candi Gentong,
candi Berahu, dan candi Menakjinggo, candi Sitinggil.
Juga pada
bangunan kuno lainnya seperti Bajang Ratu dan Makam Putri Campayang. Sisa-sisa
kejayaan Majapahit juga masih dapat ditemui di dalam masyarakat Trowulan, yakni
keahlian membuat kerajinan perunggu yang bermotifkan guratan ciri khas
Majapahit. Sayangnya, kegemilangan Majapahit -yang menurut cerita sejarah
sempat menguasai separuh wilayah Nusantara dan pengaruhnya sampai ke kawasan
Asia Tenggara— tak semuanya dapat terlihat utuh. Ada bangunan candi yang sudah
selesai dipugar, tapi sebagian lagi masih dalam pengerjaan proyek dinas
purbakala sehingga yang terlihat hanyalah batu-batu merah berserakan.
Berkunjung ke obyek wisata
Trowulan seakan diajak menerawang masa lalu kerajaan Majapahit yang pernah
mengalami kejayaan saat diperintah Hayam Wuruk dengan patihnya yang bernama
Gajahmada. Untuk bisa melihat gambaran utuh tentang kerajaan Majapahit di masa
silam, tentunya dibutuhkan daya imajinasi dalam merekonstruksi
peristiwa-peristiwa yang terjadi selama berdirinya Majapahit (1292-1528 Masehi)
seperti tertulis dalam buku-buku sejarah.
Semua diawali dari Gapura Wringin Lawang. Sebuah gapura megah yang terletak
di sisi paling utara dari bekas kompleks Majapahit. Gapura yang merupakan pintu
gerbang ke ibukota Majapahit, tersusun dari susunan bata yang kini menjadi
platform gapura di Jawa Timur. Sebuah ciri arsitektur vernakular yang bertahan
berabad-abad lamanya.
Gapura ini bernama Wringin Lawang (harafiahnya berarti “beringin pintu”),
karena dulunya terdapat pasangan beringin yang merangkai Gapura membentuk satu jejalur
lurus untuk mengarahkan orang-orang yang datang ke Majapahit.
Kini, hanya sisa dari Gapura yang telah direstorasi dengan bata merah dari
era modern mampu menceritakan keagungan Majapahit. Skala gigantis dari gapura
ini (yang mengakibatkan banyak orang menafsirkannya sebagai “candi”)
menunjukkan kredibilitas kerajaan yang memunculkan nama tenar seperti Hayam
Wuruk atau Tribuana Tungga Dewi tersebut. Namun penafsiran paling populer
justru menyebut bahwa gerbang ini merupakan jalan masuk ke kediaman mahapatih
Gajahmada.
Gapura Wringin Lawang
terletak di wilayah administrasi Dukuh Wringin Lawang, Desa Jatipasar,
Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Dalam tulisan
Raffles History of Java I, 1815, disebut dengan nama "Gapura Jati Paser",
sementara berdasar cerita Knebel dalam tulisannya tahun 1907 menyebutnya
sebagai Gapura Wringin Lawang. Gapura Wringin Lawang termasuk tipe ‘Gapura
Belah’ atau ‘Bentar’, yaitu gapura yang tidak memiliki atap. Gapura seperti ini
biasanya berfungsi sebagai gerbang luar dari suatu kompleks candi atau kompleks
bangunan lainnya. Sesuai dengan bentuknya, Gapura Wringin Lawang tentunya
mempunyai fungsi yang sama dengan fungsi candi bentar.
Gapura Wringin Lawang keseluruhannya terbuat dari bata merah dengan arah hadap timur-barat, bentuk dasar denanhnya segi empat dengan ukuran panjang 13 meter, lebar 11.50 meter dengan tinggi 13.70 meter (sebelum dipugar gapura sisi selatan masih utuh mempunyai tinggi 15.50 meter, sedangkan sisi utara masih tersisa 9 meter).
Gapura Wringin Lawang keseluruhannya terbuat dari bata merah dengan arah hadap timur-barat, bentuk dasar denanhnya segi empat dengan ukuran panjang 13 meter, lebar 11.50 meter dengan tinggi 13.70 meter (sebelum dipugar gapura sisi selatan masih utuh mempunyai tinggi 15.50 meter, sedangkan sisi utara masih tersisa 9 meter).
Candi Tikus
|
Candi Tikus
terletak di di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Dari
jalan raya Mojokerto-Jombang, di perempatan Trowulan, membelok ke timur,
melewati Kolam Segaran dan Candi
Bajangratu yang terletak di sebelah kiri jalan. Candi Tikus juga terletak di
sisi kiri jalan, sekitar 600 m dari Candi Bajangratu.
Candi Tikus yang
semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914. Penggalian
situs dilakukan berdasarkan laporan Bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo
Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat.
Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Nama
'Tikus' hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada
saat ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus.
Belum didapatkan
sumber informasi tertulis yang menerangkan secara jelas tentang kapan, untuk
apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Akan tetapi dengan adanya miniatur
menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad 13 sampai 14 M, karena
miniatur menara merupakan ciri arsitektur pada masa itu. Bentuk Candi Tikus
yang mirip sebuah petirtaan mengundang perdebatan di kalangan pakar sejarah dan
arkeologi mengenai fungsinya. Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini
merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga raja, namun sebagian pakar ada yang
berpendapat bahwa bangunan tersebut merupakan tempat penampungan dan penyaluran
air untuk keperluan penduduk Trowulan. Namun, menaranya yang berbentuk meru
menimbulkan dugaan bahwa bangunan candi ini juga berfungsi sebagai tempat
pemujaan.
Bangunan Candi Tikus menyerupai sebuah
petirtaan atau pemandian, yaitu sebuah kolam dengan beberapa bangunan di
dalamnya. Hampir seluruh bangunan berbentuk persegi empat dengan ukuran 29,5 m
x 28,25 m ini terbuat dari batu bata merah. Yang menarik, adalah letaknya yang
lebih rendah sekitar 3,5 m dari permukaan tanah sekitarnya. Di permukaan paling
atas terdapat selasar selebar sekitar 75 cm yang mengelilingi bangunan. Di sisi
dalam, turun sekitar 1 m, terdapat selasar yang lebih lebar mengelilingi tepi
kolam. Pintu masuk ke candi terdapat di sisi utara, berupa tangga selebar 3,5 m
menuju ke dasar kolam.
Di kiri dan kanan
kaki tangga terdapat kolam berbentuk persegi empat yang berukuran 3,5 m x 2 m
dengan kedalaman 1,5 m. Pada dinding luar masing-masing kolam berjajar tiga
buah pancuran berbentuk padma (teratai) yang terbuat dari batu andesit.
Tepat menghadap
ke anak tangga, agak masuk ke sisi selatan, terdapat sebuah bangunan persegi
empat dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m. Di atas bangunan ini terdapat sebuah
'menara' setinggi sekitar 2 m dengan atap berbentuk meru dengan puncak datar.
Menara yang terletak di tengah bangunan ini dikelilingi oleh 8 menara sejenis
yang berukuran lebih kecil. Di sekeliling dinding kaki bangunan berjajar 17
pancuran berbentuk bunga teratai dan makara. Hal lain yang menarik ialah adanya
dua jenis batu bata dengan ukuran yang berbeda yang digunakan dalam pembangunan
candi ini. Kaki candi terdiri atas susunan bata merah berukuran besar yang
ditutup dengan susunan bata merah yang berukuran lebih kecil. Selain kaki
bangunan, pancuran air yang terdapat di candi inipun ada dua jenis, yang
terbuat dari bata dan yang terbuat dari batu andesit.
Perbedaan bahan
bangunan yang digunakan tersebut menimbulkan dugaan bahwa Candi Tikus dibangun
melalui tahap. Dalam pembangunan kaki candi tahap pertama digunakan batu bata
merah berukuran besar, sedangkan dalam tahap kedua digunakan bata merah
berukuran lebih kecil. Dengan kata lain, bata merah yang berukuran lebih besar
usianya lebih tua dibandingkan dengan usia yang lebih kecil. Pancuran air yang
terbuat dari bata merah diperkirakan dibuat dalam tahap pertama, karena
bentuknya yang masih kaku. Pancuran dari batu andesit yang lebih halus
pahatannya diperkirakan dibuat dalam tahap kedua. Walaupun demikian, tidak
diketahui secara pasti kapan kedua tahap pembangunan tersebut dilaksanakan.
Candi
Minak Jinggo
a.sejarah
minak jinggo
Candi ini
terletak di Dukuh Unggah-Unggahan, Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan. Dilokasi
hanya tersisa batu-batu andesit yang merupakan reruntuhan candi tersebar di
pelataran dan di gundukan tanah seluas 2370 m2. Candi ini juga disebut Sanggar Pamelengan karena dahulu di
tempat ini terdapat sebuah arca seorang wanita yang berbadan seperti ikan dan
sebuah arca bersayap yang dikenal dengan Arca Minakjingga. Arca itu kini
ditempatkan di Gedung Arca Mojokerto (Museum). Di bulan Pebuari-Nopember 1977
diadakan penggalian dan diperoleh data adanya 3 lapisan fondasi lama.
Dari lokasi reruntuhan candi
ini telah ditemukan sebuah arca Garudha, namun oleh masyarakat
setempat dan berita-berita tradisi disebutkan sebagai arca Menak-Jinggo.
Ditilik dari motif dan model ragam hias pada relief-relief candi yang masih
tersisa, terlihat jelas bahwa candi tersebut adalah peninggalan kerajaan Majapahit.
Candi
Minakjinggo merupakan satu-satunya situs di kawasan Trowulan yang terbuat dari
batu andesit. Di tempat ini hanya tersisi bongkahan pondasi candi. Sisa
bangunan yang lain disimpan di Museum (Balai Penyelamatan Arca) Trowulan.
b.cerita tentanag minak jinggo
Konon disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Majapahit yang dipegang
oleh Ratu Ayu Kencana Wungu (Suhita) terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh
Minak Jinggo (Bhre Wirabumi )(Jengho mengacau lewat banyuwangi pintu belakang
untuk mengacau perhatian Majapahit menjaga pintu laut jawa sehingga sebagian
besar pasukan jenggho tidak diketahui telah masuk dari semarang).
Pokok
persoalan pemberontakan tersebut adalah karena Minak Jinggo ingin
memperistrikan Ratu Ayu Kencana Wungu tetapi ditolak karena wajah Minak Jinggo
seperti raksasa.( Wajahnya Bulat seperti TEmpeh khas mongoloid ). Hampir saja
Minak Jinggo memperoleh kemenangan karena ia sangat sakti sebab memiliki
senjata yang disebut gada wesi kuning ( Gada yang berisi Kotoran penderita
kholera yang diracunkan ke sumber-sumber oleh pasukan mongol). Akhirnya Ratu
Kencana Wungu membuka sayembara barangsiapa yang dapat mengalahkan Minak Jinggo
akan memperoleh hadiah yang luar biasa.
Tersebutlah seorang ksatria putra seorang pendeta bernama Raden
Damarwulan ( irojan_munira / Maulana Iskak ) ( Raja Pendeta aulia ) yang memasukiarena
sayembara.
Dalam peperangan dengan Minak Jinggo hampir saja Damarwulan dapat tersingkir( kerajaan karang asem dan kluingkung sampai sekarang dikuasai keturunan china/mongol bukti jenggho tak dapat masuk ke jawa dia bukan lah muslim tapi budhist bukti adalah tidak didirikannya mesjid tetapi kuil taou ). Akan tetapi atas bantuan dua orang selir Minak Jinggo yang bernama Dewi Waita dan Dewi Puyengan akhirnya Minak Jinggo dapat dikalahkan ( di blambangan saja ). Selanjutnya Dewi Waita dan Dewi Puyengan menjadi istri Damarwulan. Sebagai imbalan atas kemenangan itu maka Damarwulan akhirnya menjadi suami Ratu Ayu Kencana Wungu ( mempunyai putra yang dinamai raden paku/sayid ainul yaqin yang kelak menjadi raja di demak karena ibunya adalah ratu Majapahit/Blambangan dengan gelar Prabu Satmata ) dan bersama-sama memerintah di Majapahit ( Blambangan ).
Dalam peperangan dengan Minak Jinggo hampir saja Damarwulan dapat tersingkir( kerajaan karang asem dan kluingkung sampai sekarang dikuasai keturunan china/mongol bukti jenggho tak dapat masuk ke jawa dia bukan lah muslim tapi budhist bukti adalah tidak didirikannya mesjid tetapi kuil taou ). Akan tetapi atas bantuan dua orang selir Minak Jinggo yang bernama Dewi Waita dan Dewi Puyengan akhirnya Minak Jinggo dapat dikalahkan ( di blambangan saja ). Selanjutnya Dewi Waita dan Dewi Puyengan menjadi istri Damarwulan. Sebagai imbalan atas kemenangan itu maka Damarwulan akhirnya menjadi suami Ratu Ayu Kencana Wungu ( mempunyai putra yang dinamai raden paku/sayid ainul yaqin yang kelak menjadi raja di demak karena ibunya adalah ratu Majapahit/Blambangan dengan gelar Prabu Satmata ) dan bersama-sama memerintah di Majapahit ( Blambangan ).
Cerita Damarwulan-Minak Jinggo ini rupa-rupanya sangat populer di
Jawa Tengah terlebih-lebih di Jawa Timur peperangan
antara walisongo dengan majapahit adalah dengan prabu brawijaya ke VII yang
ketika itu majapahit sudah lemah karena negara mancanegarinya sudah dikalahkan
Mongol diduga kemarahan CHINA adalah di serang nya SRIWIJAYA - Budhist oleh
MAJAPAHIT- Hindhu dan pembalasan kekalahan Kubulaikhan . Hingga sekarang
kita masih dapat melihat peningggalan tersebut dalam bentuk makam kuno yang
terletak di Desa Troloyo, Trowulan, Mojokerto.
Di sana kita jumpai suatu
kompleks makam yang oleh penduduk dianggap sebagai makam Ratu Ayu Kencana Wungu
( ratu Blambangan ditinggal oleh maulana ISkak karena mungkin Jenggho sudah
masuk pasae/ Gresik..apakah beliau syahid di sana sehingga sunan Giri sejak kecil sudah
piatu??? tinggal di kepatihan diangkat putra oleh Nyai Bin Patih/ Pinatih:
Kampung kecil HaBaSA). Dewi Waita dan Dewi Puyengan serta beberapa orang
pengikutnya. Makam tersebut menurut penelitian para ahli yang sebenarnya adalah
makam-makam Islam yang awal ( Raden Asmara bangun artinya Kebangkitan putra
sulthan Ibrahim asmaraqondhi ). Dari angka tahunnya yang tertulis pada
nisan-nisan menunjuk angka 1295
M - 1457
M.
Tidak jauh dari Troloyo, masih di Desa Trowulan juga kita jumpai
sebuah candi yang oleh penduduk setempat dinamakan candi Minak Jinggo. Melihat
berbagai hiasan serta peninggalan lain yang terdapat di sekitar candi tersebut
dapat diperkirakan bahwa candi Minak Jinggo berasal dari zaman Majapahit
Makam Troloyo
Wisata
Religius Makam Troloyo - Dari puluhan situs yang ada di
Kab. Mojokerto, ada situs yang dari tahun ke tahun semakin ramai dikunjungi
peziarah, yakni Makam Troloyo. Situs ini letaknya di kompleks pemakaman Islam
zaman kerajaan Mojopahit di Desa Sentonorejo Kecamatan Trowulan Kab. Mojokerto.
Obyek
utamanya adalah Makam Sayyid Muhammad Jumadil Qubro (Syech Jumadil Kubro).
Syech Jumadil Kubro adalah kakek dari Sunan Ampel. Beliau adalah ulama dari
Persia yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Makamnya pertama kali diberi
cungkup oleh tokoh masyarakat setempat bernama KH Nawawi pada tahun 1940. Di
kompleks makam troloyo terdapat dua kelompok makam, yaitu kelompok makam bagian
depan, terdiri dari makam Wali Songo dan Kelompok Makam Syech Jumadi Kubro.
Kelompok makam inilah yang paling banyak dikunjungi peziarah. Dan kelompok
makam bagian belakang terdiri dari dua cungkup, yaitu cungkup pertama makam Raden
Ayu Anjasmara dan makam Raden sering disebut sebagai kubur pitu.
Para
peziarah itu datang dari dalam da luar Mojokerto, serta ada pula yang datang
dari luar Jawa. Peziarah datang ke makam itu berbagai tujuan. Ada yang datang
ingin tahu keberadaan Makam Troloyo, ada pula yang datang untuk memberikan doa
kepada leluhur Walisongo dengan membacakan ayat-ayat suci Al Quran. Ada pula
pezirah yang datang untuk mendapat ilmu relijius dari para leluhur yang berada
di makam itu.
Kahumas
Pemkab Mojokerto Dra Hj Alfiah Ernawati MM di kantornya mengatakan, Makam
Troloyo memang menjadi andalan Kab. Mojokerto sebagai relijius. Semakin tahun jumlah peziarah yang
datang ke lokasi itu semakin banyak. Untuk memberikan kenyamanan pada peziarah,
Pemkab Mojokerto dan Pemprop Jatim merenovasi komplek makam dan tempat parkir
yang ada di kawasan itu.
Menata
stan PKL juga telah dilakukan oleh Pemkab Mojokerto, sehingga kondisi itu bisa
membuat para peziarah di komplek makam itu terasa nyaman, dan aman. Sehingga
peziarah bisa menjalankan ritual religiusnya dengan khusuk.Pemkab berharap
dengan terciptanya kawasan yang nyaman ini nantinya bisa semakin meningkatkan
kunjungan wisata di Makam Troloyo terus berlanjut. “Dengan kondisi yang
kondusif, nyaman tentu wisatawan akan tertarik kembali mengunjungi Makam
Troloyo di lain hari nanti,” katanya,
Komplek Makam Troloyo ( Makam Komunitas Muslim Majapahit)
Sangat toleransinya Majapahit
terhadap agama Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam
kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam
Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu
nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf
Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit
tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa
para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar
beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat
kerajaan Demak.
Kepurbakalaan yang ada di Troloyo
adalah berupa makam Islam kuna yang berasal dari masa Majapahit. Adanya makam
kuna ini merupakan bukti adanya komunitas muslim di wilayah ibukota Majapahit.
Adanya komunitas muslim ini disebutkan pula oleh Ma-Huan dalam bukunya Ying Yai
- Sing Lan, yang ditulis pada tahun 1416 M. Dalam buku The Malay Annals of
Semarang and Cherbon yang diterjemahkan oleh HJE. de Graaf disebutkan bahwa
utusan-utusan Cina dari Dinasti Ming pada abad XV yang berada di Majapahit
kebanyakan muslim. Sebelum sampai di Majapahit, muslim Cina yang bermahzab
Hanafi membentuk masyarakat muslim di Kukang (Palembang), barulah kemudian
mereka bermukim di tempat lain termasuk wilayah kerajaan Majapahit.
Pada masa
pemerintahan Suhita (1429-1447 M), Haji Gen Eng Cu yang diberi gelar A Lu Ya
(Arya) telah diangkat menjadi kepala pelabuhan di Tuban. Selain itu, duta besar
Tiongkok bernama Haji Ma Jhong Fu ditempatkan di lingkungan kerajaan Majapahit.
Dalam perkembangannya, terjadi perkawinan antara orang-orang Cina dengan
orang-orang pribumi.
Adanya situs
makam ini menarik perhatian para sarjana untuk meneliti, antara lain P.J. Veth,
Verbeek, Knebel, Krom, dan L.C. Damais. Menurut L.C. Damais, Makam Troloyo
meliputi kurun waktu antara 1368–1611 M.Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, hanya diketahui nama seorang yang dimakamkan di kompleks Makam
Troloyo, yaitu Zainudin. Namun nisan dengan nama tersebut tidak lagi diketahui
tempatnya, sedangkan nama-nama tokoh yang disebutkan di makam ini berasal dari
kepercayaan masyarakat.
Kesimpulannya
bahwa ketika Majapahit masih berdiri orang-orang Islam sudah diterima tinggal
di sekitar ibu kota. Ada dua buah kelompok atau komplek pemakaman : sebuah
komplek terletak di bagian depan yakni di bagian tenggara dan sebuah lagi di
bagian belakang (barat laut).
Komplek makam yang terletak
di sebuah bagian depan berturut-turut sebagai berikut :
- Makam yang dikenal dengan nama Pangeran Noto Suryo, nisan kakinya berangka tahun dalam huruf Jawa Kuno 1397 Saka (= 1457 M) ada tulisan arab dan lambang ‘surya Majapahit”.
- Makam yang dikenal dengan nama Patih Noto Kusumo, berangka tahun 1349 Saka (1427 M) bertuliskan Arab yang tidak lengkap dan lambang surya.
- Makam yang dikenal dengan sebutan Gajah Permodo angka tahunnya ada yang membaca 1377 Saka tapi ada yang membaca 1389 Saka, hampir sama dengan atasnya.
- Makam yang dikenal dengan sebutan Naya Genggong, angka tahunnya sudah aus, pembacaan ada dua kemungkinan : tahun 1319 Saka atau tahun 1329 Saka serta terpahat tulisan Arab kutipan dari surah Ali Imran 182 (menurut Damais 1850).
- Makam yang dikenal sebagai Sabdo palon, berangka tahun 1302 Saka dengan pahatan tulisan Arab kutipan surah Ali Imran ayat 18.
- Makam yang dikenal dengan sebutan Emban Kinasih, batu nisan kakinya tidak berhias. Dahulu pada nisan kepala bagian luar menurut Damais berisi angka tahun 1298 Saka.
- Makam yang dikenal dengan sebutan Polo Putro, nisannya polos tanpa hiasan. Menurut Damais pada nisan kepala dahulu terdapat angka tahun 1340 Saka pada bagian luar dan tulisan Arab yang diambil dari hadist Qudsi terpahat pada bagian dalamnya.
Sebagian dari nisan-nisan pada Kubur Pitu tersebut
berbentuk Lengkung Kurawal yang tidak asing lagi bagi kesenian Hindu. Melihat
kombinasi bentuk dan pahatan yang terdapat pada batu-batu nisan yang merupakan
paduan antara unsur-unsur lama unsur-unsur pendatang (Islam) nampaknya adanya
akultrasi kebudayaan antara Hindu dan Islam. Sedangkan apabila diperhatikan
adanya kekurangcermatan dalam penulisan kalimah-kalimah thoyyibah dapat diduga
bahwa para pemahat batu nisan nampaknya masih pemula dalam mengenal Islam.
Dengan banyaknya peziarah yang datang ke kompleks
makam ini mempunyai nilai positif bagi masyarakat sekitar situs. Dampak
posistif itu dapat dilihat dari segi ekonomi, di mana pendapatan masyarakat
sekitar menjadi bertambah.
Hal ini menjadi perhatian dari pemerintah daerah untuk
membangun sarana dan prasarana yang ditujukan untuk menarik pengunjung. Namun
demikian terdapat juga sisi negatifnya, yaitu pembangunan yang mengabaikan
prinsip-prinsip pelestarian.Dari keadaan sekarang yang ada di situs Makam
Troloyo diketahui bahwa sarana-sarana bangunan yang ada menyimpang dari
penataan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian. Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 Pasal 27 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwapemugaran
sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan keaslian
bentuk, bahan, pengerjaan, dan tata letak, serta nilai sejarahnya. Pengrusakan
situs Troloyo dalam arti luas telah merubah bentuk secara keseluruhan, antara
lain denah halaman makam, serta benda cagar budayanya itu sendiri. Denah
halaman yang dimaksud adalah tambahan bangunan baru berbentuk lorong beratap,
serta jirat dan nisan diganti bahan keramik baru warna putih sehingga sangat
terlihat tidak asli. Perubahan tersebut jelas tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip pelestarian benda cagar budaya.Kasus pengembangan Makam Troloyo
ini dapat menjadi pelajaran bagi kita, agar dikelak kemudian hari tidak terjadi
lagi kasus-kasus serupa pada situs yang lain, mengingat dewasa ini semakin
maraknya perhatian Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap situs-situs
kepurbakalaan yang bersifat living monument
Kompleks makam Troloyo ada dua kelompok makam. Di
bagian depan (tenggara) dan di bagian belakang (barat laut). Makam di bagian
depan diantaranya: Kelompok makam petilasan Wali Sanga, Kemudian di sebelah
barat daya dikenali dengan sebutan Syech Mulana Ibrahim, Syech Maulana Sekah
dan Syech Abd, Kadir Jailani. Ada pula Syech Jumadil Kubro. Sedang di utara
Masjid terdapat makam Syech Ngudung atau Sunan Ngudung. Kompleks makam di
bagian belakang meliputi: Bangunan cungkup dengan dua makam yaitu Raden Ayu
Anjasmara Kencanawungu, kemudian terdapat pula kelompok makam yang disebut
Makam Tujuh atau Kubur Pitu yang dikenal sebagai Pangeran Noto Suryo, Patih
Noto Kusumo, Gajah permodo, Naya Genggong, Sabdo palon, Emban Kinasih dan Polo
Putro
Situs Makam Troloyo
Situs Makam Troloyo merupakan kompleks pemakaman
Islam jaman kerajaan Mojopahit. Situs ini terletek di Desa Sentonorejo,
Kecamatan Trowulan.Obyek utamanya adalah makam Sayyid Muhammad Jumadil Qubro
(biasa disebut Syech Jumadil Kubro). Syech Jumadil Kubro adalah kakek dari
Sunan Ampel. Beliau adalah ulama dari Persia yang menyebarkan agama Islam di
tanah Jawa. Makamnya pertama kali diberi cungkup oleh tokoh masyarakat setempat
bernama KH Nawawi pada tahun 1940.
Di kompleks makam troloyo terdapat dua kelompok makam, yaitu
:
- Kelompok makam bagian depan, terdiri dari makam wali songo dan
kelompok makam Syech Jumadi Kubro. Kelompok makam inilah yang paling banyak
dikunjungi peziarah.Kelompok makam bagian belakang terdiri dari dua cungkup, yaitu
: cungkup pertama makam Raden Ayu Anjasmara dan makam Raden. Banyak yang
mengatakan bahwa dengan berziarah ke makam Troloyo dapat membantu mempermudah
mencari ilmu.
Petilasan
Walisongo
Menurut cerita
rakyat, Troloyo merupakan tempat peristrirahatan bagi kaum niagawan muslim
dalam rangka menyebarkan agama Islam kepada Prabu Brawijaya V beserta para
pengikutnya. Di hutan Troloyo tersebut kemudian dibuat petilasan untuk menandai
peristiwa itu. Tralaya berasal dari kata setra dan pralaya. Setra berarti tegal/tanah
lapang tempat pembuangan bangkai (mayat), sedangkan berarti rusak/mati/kiamat.
Kata setra dan pralaya disingkat menjadai ralaya.
Situs Troloyo
terkenal sebagai tempat wisata religius semenjak masa pemerintahan Presiden
Abdurahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, saat mengadakan
kunjungan ziarah ke tempat tersebut. Sejak saat itu, tempat ini banyak
dikunjungi peziarah baik dari Trowulan maupun dari daerah lain, bahkan dari
luar Jawa Timur.
Ketenaran Makam
Troloyo ini juga disebabkan karena seringnya dikunjungi oleh para pejabat
tinggi. Selain itu, pada hari-hari tertentu seperti malam Jumat Legi, haul
Syekh Jumadil Qubro, dan Gerebeg Suro di tempat ini dilakukan upacara adat yang
semakin menarik wisatawan untuk datang ke tempat ini.
Situs Troloyo
merupakan salah satu bukti keberadaan komunitas muslim pada masa Majapahit.
Situs ini terletak di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto. Untuk mencapai situs ini dapat ditempuh dari perempatan
Trowulan kearah selatan sejauh ± 2 km.
Dahulu komplek makam Troloyo berupa sebuah hutan, seperti hutan
Pakis yang terletak lebih kurang 2 Km di sebelah selatannya. Peneliti pertama
kali P.J. Veth, hasil penelitiannya diterbitkan dalam buku Java II yang
diterbitkan dalam tahun 1878. Kemudian L.C. Damais seorang sarjana
berkebangsaan Perancis,hasil penelitiannya dibukukan dalam “Etudes Javanaises
I. Les Tombes Musulmanes datees de Tralaya” yang dimuat dalam BEFEO (Bulletin
de Ecole francaise D’extrement-Orient). Tome XLVII Fas. 2. 1957. Menurut Damais
angka-angka tahun yang terdapat di komplek makam Troloyo yang tertua berasal
dari abad XIV dan termuda berasal dari abad XVI.Puncak kunjungan wisatawan
terjadi pada saat malam Jumat Legi dan setiap malam tanggal 15 Suro (Muharram)
diadakan Haul Syech Jumadil Qubro.
Makam
Panjang
Makam atau kubur
panjang yang masih dikeramatkan penduduk ini secara administratif berada di
kawasan Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kab. Mojokerto. Letaknya kurang lebih 300
m dari sudut timur laut Kolam Segaran pada tanah yang agak tinggi dari daerah
sekitarnya. Kompleks makam panjang dengan bangunannya yang ada sekarang
merupakan bangunan baru. Demikian pula jirat makam panjangnya. Tinggalan
kunonya hanya berupa prasasti yang
dianggap nisan oleh penduduk tertulis pada batu dengan bentuk akolade. Prasasti
singkat tersebut menggunakan huruf dan tulisan jawa kuno.
Isi Prasati :
Pangadegning
boddhi
Isaka1230
Terjemahan :
Berdirinya
pohon boddhi
Pada
tahun saka 1230
Berdasarkan isi prasasti tersebut patut diragukan apakah
dahulu di tempat tersebut pernah dimakamkan seseorang. Yang pasti bahwa pada
tahun 1230 saka (1281) telah ditanam pohon boddhi. Dalam sejarah agama Budha
pohon boddhi dihubungkan dengan pencapaian pencerahan sang Buddha Gautama. Di Jawa
pohon boddhi disamakan dengan pohon beringin.Adapun maksud dari penanaman pohon
boddhi / bringin berdasar data sejarah tidak berubah dari dahulu sampai
sekarang yaitu untuk memperingati suatu peristiwa tertentu , dengan tujuan agar
tercapai segala keinginan yang menjadi maksud dalam peringatan tersebut.Angka
tahu 1230 saka (1281) juga menujukkan bahwa Trowulan telah dihuni sebelum
Majapahit berdiri.
Candi Brahu
Candi Brahu
terletak di Desa Bejijong,Kecamatan Trowulan,kabupaten Mojokerto. Seperti bangunan-bangunan
kuno yang terdapat di Trowulan,Candi Brahu terbuat dari bata merah yang di
rekatkan satu sama lain dengan sistem gosok. Peninggalan jaman Majapahit yang
relatif sudah dalam keadaan baik, setelah mengalami pemugaran pada tahun
1990-1991 dan tahun 1994-1995. Denah bangunan bujur sangkar dan arah hadapnya
ke barat dengan azimut 227. Ukuran bangunan : tinggi 25,7 m,serta lebar 20,70
m.
Struktur bangunan
candi terdiri dari kaki,tubuh dan atap. Kaki candi terdiri dari bingkai
bawah,tubuh serta bingkai atas. Bingkai tersebut terdiri dari pelipit rata,sisi
genta dan setengah lingkaran. Dari penelitian yang terdapat pada kaki candi
diketahui terdapat susunan bata yang strukturnya terpisah,di duga sebagai kaki
candi yang di bangun pada masa sebelumnya. Ukuran kaki candi lama ini 17 x 17
m. Dengan demikian struktur kaki yang tampak sekarang merupakan tambahan dari
bangunan sebelumnya. Kaki Candi Brahu terdiri dari dua tingkat dengan
selasarnya serta tangga di sisi barat yang belum di ketahui bentuknya dengan
jelas.
Bagian tubuh
Candi Brahu sebagian merupakan susunan bata baru yang di pasang pada masa
pemerintahan Belanda. Candi Brahu dengan bentuk badan lekuk bertingkat tiga dan
mengecil di bagian atas. Candi Brahu memiliki ciri khas bangunan gaya Majapahitan,
yang terbuat dari batu bata merah ini,cenderung lebih cepat tergerus zaman dari
pada candi yang terbuat dari batu gunung.
Denah Candi Brahu
berukuran 10 x 10,50 m dan tinggi 9,6 m. Di dalamnya terdapat bilik berukuran 4
x 4 m,namun kondisi lantainya telah rusak. Pada waktu pembongkaran struktur
bata pada bilik ini di temukan sisa-sisa arang yang kemudian dianalisa di Pusat
Penelitian Badan Tenaga Atom Nasional ( BATAN) Yogyakarta. Hasil analisa
menunjukkan bahwa pertanggalan radio carbon arang Candi Brahu berasal dari masa
antara tahun 1410 hingga 1646.Tampak muka Candi
Brahu dengan undakan relatif utuh yang menuju ke tingkat dasar pertama candi.
Undakan yang menuju tingkat dasar kedua Candi Brahu ini tampak tidak utuh lagi,
dan tidak terlihat ada undakan yang menuju ke sebuah lubang yang berada di
tengah bangunan candi.
Candi Brahu dilihat dari
sebuah sudut. Tidak terlihat adanya relief satu pun pada dinding Candi Brahu
yang seluruhnya terbuat dari susunan batu bata merah ini.
Atap Candi Brahu tingginya kurang lebih 6 m. Pada
sudut tenggara atap terdapat sisa hiasan berdenah lingkaran yang di duga
sebagai bentuk stupa. Berdasar gaya bangunan serta profil sisa hiasan berdenah
lingkaran pada atap candi yang di duga sebagai bentuk stupa,para ahli menduga
bahwa Candi Brahu bersifat Budhis. Candi Brahu di perkirakan di bangun pada
abad ke-15 Masehi, dan konon merupakan tempat pembakaran jenazah raja-raja
Majapahit, yaitu Brawijaya I, II, III, dan IV. Namun sayangnya tidak ditemukan
satu pun bekas abu jenazah di dalam bilik Candi Brahu ini.
Selain itu di perkirakan Candi Brahu umurnya lebih tua
di bandingkan dengan candi-candi yang ada di situs Trowulan. Dasar dugaan ini
adalah Prasasti Alasantan yang di temukan tidak jauh dari Candi Brahu. Prasasti
tersebut di keluarkan oleh Raja Mpu Sendok pada tahun 861 C atau 939 M,di
antara isinya menyebutkan nama sebuah bangunan suci yaitu waharu atau warahu.
Nama inilah yang di duga sebagai asal nama Candi Brahu sekarang.
Pura Bukit
Darma atau Pura Durga Kutri
Pura Bukit Darma di Kutri
Desa Buruan, Blahbatuh, Gianyar. Pura ini adalah sebagai istana (paDarman) dari
permaisuri Raja Udayana yang bergelar Gunapriya Darma Patni. Raja Udayana
berkuasa sebagai Raja di Bali sekitar abad X Masehi.
Permaisuri
Raja Udayana ini melahirkan tiga putra yaitu Airlangga, Marakata dan Anak
Wungsu. Perkawinan Mahendradata — nama asli dari Gunapriya Darma Patni —
sebagai permaisuri Raja Udayana banyak membawa perubahan kebudayaan Hindu di
Bali. Sejak Raja suami-istri ini memerintah Bali pengaruh kebudayaan Hindu Jawa
sangat kuat mempengaruhi kehidupan kebudayaan beragama Hindu di Bali.
Prasasti-prasasti Bali sejak Raja Udayana memerintah menggunakan bahasa Jawa
Kuno. Sebelum Raja Udayana memerintah prasasti Bali menggunakan bahasa Bali
Kuno.
Dalam
prasasti yang dikeluarkan saat Raja Udayana memerintah Bali, Gunapriya Darma
Patni selalu disebutkan mendahului nama Raja Udayana. Nampaknya Gunapriya Darma
Patni pengaruhnya sangat kuat dalam menetapkan kebijaksanaan kerajaan dalam
menata kehidupan berkebudayaan sebagai media pengamalan beragama Hindu di Bali
saat itu. Hal inilah yang mungkin menyebabkan Gunapriya Darma Patni demikian
dihormati di Bali oleh semua lapisan masyarakat Bali. Hal inilah mungkin
sebagai salah satu sebab Gunapriya Darma Patni diistanakan (diDarmakan) di Pura
Bukit Darma di Kutri, Desa Buruan.
Di pura
ini permaisuri Udayana ini dibuatkan arca perwujudan sebagai Dewi Durga
Maisasura Mardini. Sayang sementara masyarakat umat Hindu di Bali memiliki persepsi
yang sedikit kurang tepat tentang keberadaan Dewi Durga dalam sistem pantheon
Hindu. Sesungguhnya Dewi Durga dalam sistem pantheon Hindu bukan sebagai
dewanya ilmu hitam atau black magic.
Dewi Durga
sebagai Saktinya Dewa Siwa adalah simbol dari kemahakuasaan Tuhan dalam
fungsinya sebagai Dewi Kasih Sayang yaitu Dewi Pelebur niat buruk dan membangun
niat suci. Untuk membangun niat baik dengan melebur niat buruk memang tidak
mudah. Karena sulitnya mencapai upaya tersebutlah disebut Dewi Durga. Kata ”durga”
dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata ”dur” artinya sulit dan ”ga” artinya
dilalui atau dijalani. Karena itu kata ”durga” artinya sulit dicapai atau sulit
dilalui. Niat itu sesuatu gerak diri yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata
oleh orang lain. Karena sulitnya itu disebut Durga.
Sangat
besar kemungkinannya Gunapriya Darma Patni dalam kedudukannya sebagai
permaisuri raja demikian besar kasih sayangnya pada rakyat. Karena kasih
sayangnya itu Gunapriya Darma Patni sangat berwibawa, tetapi rakyat tidak takut
pada ratunya itu. Rakyat demikian cinta dan hormat pada ratunya bukan karena ia
diktator, tetapi karena prilakunya yang demikian banyak berbuat bijaksana untuk
mensejahterakan rakyat dan memberikan rasa aman pada suasana kehidupan
kerajaan.
Gunapriya
Darma Patni setelah menjadi Dewa Pitara dalam wujud niskala dibuatkanlah tempat
pemujaan di Pura Bukit Darma tersebut. Karena kasih sayangnya pada rakyat
beliau dibuatkan arca perwujudan sebagai Dewi Durga Mahisasura Mardini. Arca
ini diwujudkan sebagai seorang dewi yang langsing bertangan delapan.
Setiap
tangannya membawa berbagai senjata. Ada yang memegang senjata trisula, perisai,
busur/ panah, pedang, cakra, gada, ujung tombak (anak panah) dan ada tangannya
memegang ekor lembu Mahisa. Semuanya itu sebagai simbol yang mengandung makna
keagamaan. Senjata di tangan arca Durga tersebut sesungguhnya bukanlah lambang
dari kekerasan haus perang. Misalnya senjata Cakra Sudharsana.
Menurut
Swami Satya Narayana, senjata Cakra Sudharsana bukanlah lambang senjata perang
untuk membunuh. Kata Cakra artinya bulat simbol alam semesta. Sudharsana
artinya pandangan atau wawasan. Dengan demikian Cakra Sudharsana itu artinya
wawasan yang menyeluruh tentang keberadaan alam semesta ini. Barang siapa yang
mampu memiliki wawasan yang menyeluruh atau wawasan global tentang keberadaan
alam semesta ini dialah yang akan dapat memenangkan kehidupan di bumi yang
bulat ini.
Hidup yang
menang bukan berarti ada yang dikalahkan. Hidup menang adalah hidup yang aman
sejahtera dan bahagia sekala dan niskala. Arca Durga ini diistanakan pada
bangunan pelinggih di arah ersania yaitu arah timur laut Pura Bukit Darma ini.
Arah ersania adalah arah tersuci menurut kepercayaan Siwa Sidhanta. Ersania di
Bali disebut kaja kangin. Kaja kangin adalah arah gunung dan matahari terbit.
Perpaduan
dua sumber alam ini melahirkan sumber kehidupan. Gunung menjadi sumber air dan
matahari sumber bio-energi. Tujuan penempatan pelinggih utama di ersania
sebagai simbol untuk memohon selalu terpadunya dua sumber alam itu sebagai
anugerah Tuhan kepada makhluk hidup ciptaan-Nya. Salah satu tangan arca Durga
Kutri ini memegang ekor lembu. Ini melukiskan bahwa dunia ini hendaknya
dikendalikan dengan kasih sayang Tuhan yang dilambangkan oleh arca Durga
tersebut.
Di sebelah
kiri arca Durga ini terdapat dua Lingga berpasangan. Lingga ini lambang
pemujaan pada Dewa Siwa dengan Dewi Parwati atau Dewi Durga. Pemujaan Tuhan
sebagai Dewa dan Dewi bertujuan untuk menuntun umat agar mengembangkan diri
dalam hidupnya ini secara seimbang. Tuhan itu adalah Esa, namun tujuan manusia
memuja Tuhan adalah untuk menguatkan spiritualitasnya dalam menopang
kehidupannya di bumi ini.
Kehidupan ini banyak aspeknya. Karena itu Tuhan Yang Esa itu
dipuja dalam berbagai aspeknya dengan sebutan Dewa. Nama-nama Tuhan yang banyak
ini menurut Rgveda diberikan oleh para resi atau para Vipra. Demikianlah
pemujaan Tuhan sebagai Dewa dan Dewi bertujuan untuk menguatkan dan
menyeimbangkan aspek rohani dan jasmani dari umat pemuja Tuhan itu.
Gunapriya Darma Patni yang roh sucinya (Dewa Pitara)
distanakan di pura ini berasal dari Jawa Timur. Permaisuri Raja Udayana ini
sangat besar pengaruhnya pada sang Raja sehingga namanya selalu disebutkan di
depan nama Raja Udayana. Pelinggih utama pura ini juga disebut Gedong
Pajenengan, tempat distanakan arca Durga Mahisasura Mardini. Upacara piodalan
di pura ini setiap purnama sasih Kasa bersamaan dengan pujawali di Pura Semeru
Agung di Lumajang, Jawa Timur.
Pura ini letaknya di puncak Bukit Kutri, Desa Buruan. Di
areal bawah pura ini terdapat dua buah pura lagi. Pura yang paling bawah di
pinggir jalan menuju kota Gianyar adalah Pura Puseh Desa Adat Buruan. Di
atasnya Pura PeDarman. Naik dari Pura PaDarman inilah letak Pura Bukit Darma
atau Pura Durga Kutri. Yang menarik dari keberadaan pura ini adalah
diistanakannya permaisuri Raja sebagai Dewi Durga.
Sejak Raja berpermaisurikan putri dari Jawa Timur ini
pengaruh kebudayaan Hindu dari Jawa sangat kuat masuk ke Bali. Tanpa proses
tersebut mungkin kebudayaan Hindu di Bali tidak semarak dan kaya dengan
nilai-nilai kehidupan yang adiluhung seperti sekarang ini. Fakta sejarah
menyatakan bahwa budaya agama Hindu masuk ke Jawa dari India telah berhasil
menjadikan Jawa sebagai Jawa yang ada nilai plusnya.
Dari Jawa budaya agama Hindu masuk ke Bali menyebabkan
Bali menjadi Bali yang plus. Agama Hindu telah berhasil menjiwai budaya
setempat. Dengan demikian agama Hindu dapat menghasilkan kebudayaan Bali yang
adiluhung. Hal itu dimulai dari masuknya bahasa Jawa Kuno ke Bali. Dengan demikian
bahasa dan kesusastraan Jawa Kuno sangat kuat pengaruhnya membentuk kebudayaan
Bali seperti sekarang ini.
Ramayana, Mahabharata dan berbagai cerita dan
tutur-tutur dalam bahasa Jawa Kuno masuk dengan kuat dan halus ke Bali.
Derasnya bahasa Jawa Kuno masuk ke Bali nampaknya disebabkan kesusastraan Jawa
Kuno itu muatannya adalah ajaran agama Hindu. Di lain pihak masyarakat Bali
saat itu sudah memeluk agama Hindu yang saat itu disebut agama Tirtha atau
agama Siwa Budha. Agama Tirtha tersebut sumber ajarannya adalah kitab suci Weda
dan kitab-kitab susastranya. Seni budaya Hindu yang berbahasa Jawa Kuno
demikian digemari oleh masyarakat Bali.
Sampai saat ini orang awam akan menganggap
kesusastraan Jawa Kuno itu sudah kesusastraan Bali. Sejak itulah Bali mengenal
adanya seni sastra dari Jawa Kuno seperti Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar
Agung. Andaikata Raja Udayana saat itu bersikap kaku tidak membolehkan budaya
luar masuk Bali, keadaan Bali dapat dibayangkan. Mungkin orang Bali tidak kenal
geguritan, kidung maupun kekawin.
Geguritan memang berbahasa Bali pada umumnya, tetapi
tembang-tembang seperti Semarandhana, Dhurma, Sinom, Ginanti, Megatruh dll. itu
semuanya berasal dari kesusastraan Jawa Kuno atau sering disebut bahasa Kawi.
Apalagi kekawin sepenuhnya adalah berbahasa Jawa Kuno. Lewat seni sastra Jawa
Kuno inilah menjadi media untuk menanamkan ajaran agama Hindu melalui seni
budaya. Dengan seni budaya itu umat Hindu di Bali dapat menyerap ajaran agama
Hindu secara halus.
Derasnya pengaruh Hindu Jawa ke Bali sangat menonjol
sejak zaman Raja Udayana memerintah Bali sampai zaman Kerajaan Majapahit
berkuasa di Jawa sampai ke Bali. Keberadaan Gunapriya Darma Patni itu
dinyatakan dalam Prasasti Bebetin sbb: Aji
Anak Wungsu nira kalih Bhatari lumahing Burwan Bhatara lumahing banyu weka.
Yang dimaksud Bhatari Lumahing Burwan tiada lain
adalah ibunya Anak Wungsu yaitu Gunapriya Darma Patni yang wafat dan distanakan
roh sucinya di Burwan yaitu di Bukit Kutri, Desa Buruan. Prasasti ini berbahasa
Jawa Kuno diperkirakan berada pada abad X Masehi. Seandainya Raja saat itu
tidak berpikir luas dan melakukan proteksi pada kebudayaan asli Bali yang
berlaku pada saat itu, mungkin di Bali kita tidak mengenal adanya Pesantian
yang demikian marak sampai pada saat ini.
Keberadaan Arca Durga Mahisasura Mardini ini sangat
erat kaitannya dengan cerita-cerita Purana dari India. Cerita ini memang sangat
populer di kalangan umat Hindu di India dan di Bali. Diceritakan Dewi Parwati
atau Dewi Uma berperang melawan raksasa. Raksasa itu sangatlah sakti dan sulit
ditaklukkan. Karena itulah disebut Durga. Artinya sulit dicapai, karena raksasa
itu sampai bisa bersembunyi di dalam tubuh seekor lembu atau Mahisa. Karena ada
raksasa atau Asura di dalam tubuh lembu itu, maka ia disebut Mahisasura.
Dewi Parwati adalah Saktinya Dewa Siwa juga sangat
sakti. Raksasa yang sulit ditaklukkan (Durga) itu karena kesaktian Dewi Parwati
akhirnya dapat juga menaklukkan raksasa tersebut dengan pedangnya. Sejak dapat
ditaklukannya Asura yang bersembunyi di tubuh Mahisa atau lembu itulah Dewi
Parwati disebut Dewi Durga. Kemenangan Dewi Durga ini dirayakan setiap hari
raya Dasara atau Wijaya Dasami sebagai hari raya Durgha Puja. Durgha Puja ini
lebih menonjol di India Selatan.
Hari suci Wijaya Dasami umumnya dirayakan pada bulan
April dan Oktober di India. Hari raya Wijaya Dasami juga merayakan kemenangan
Sri Rama melawan Rahwana. Wijaya Dasami ini diperingati selama sepuluh hari.
Seperti Galungan di Bali. Tiga hari melakukan Durga Puja, tiga hari berikutnya
memuja Dewi Saraswati dan tiga harinya lagi memuja Laksmi.
Pada hari kesepuluh barulah dirayakan dengan perayaan
yang meriah. Pada hari kesepuluh ini dipuja Dewa Ganesia dan Dewi Laksmi. Ini
melambangkan bahwa kemenangan itu adalah terwujudnya rasa aman dan sejahtera.
Dewa Ganesia lambang pemujaan Tuhan untuk mencapai rasa aman. Sedangkan
pemujaan Dewi Laksmi lambang kesejahteraan.
Senjata-senjata yang dipegang oleh tangan Arca Durga Kutri
itu adalah lambang senjata spiritual. Bukan lambang senjata untuk membunuh
badan jasmaniah secara kejam dalam perang duniawi. Senjata itu adalah lambang
senjata spiritual untuk membasmi kegelapan hati nurani membangun kesadaran
rohani menuju kehidupan yang cerah.
Museum
Denpasar
Perhatian
terhadap keberadaan peninggalan purbakala (cagar budaya) di wilayah Indonesia
secara formal ditandai dengan berdirinya Oudheidkundige Dienst in Nederland-Indie (Jawatan Purbakala) yang mempunyai
tugas menyusun, mendaftar dan mengawasi peninggalan purbakala di seluruh
wilayah kepulauan Indonesia. Pendirian Jawatan Purbakala didasari dengan
Keputusan Pemerintah Hindia-Belanda Nomor: 62, tanggal 14 Juni 1913.
Selama
kurun waktu penjajahan Belanda dan Jepang (Nipon), dalam melaksanakan
tugasnya Jawatan Purbakala telah berhasil mengungkap, melindungi, dan
merekonstruksi peninggalan purbakala, khususnya yang berada di wilayah pulau
jawa.
Setelah
masa kemerdekaan jawatan Purbakala mulai membuka kantor di daerah,
diantaranya di Jogjakarta, Prambanan dan Makasar. Pada awal tahun 1951
Jawatan Purbakala dilebur menjadi dinas
purbakala dibawah naungan Administrasi Jawatan Kebudayaan Kementerian
P.P dan K. Bersamaan dengan itu di Provinsi BALI dibentuk Dinas Purbakala Seksi Bangunan Cabang
Makasar yang berlokasi di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh,
Kabupaten Gianyar dibawah pimpinan J.C
Krijgsman. Pertimbangan pemilihan Desa Bedulu sebagai lokasi kantor
didasari hasil inventarisasi dan pendokumentasian yang dilakukan Jawatan
Purbakala yang menunjukkan keberadaan peninggalan purbakala menyebar di
seluruh wilayah Bali dengan populasi paling padat terdapat di daerah Gianyar
yaitu di Desa bedulu dan Desa Pejeng. Peninggalan purbakala di tempat ini
ditemukan pada Pura, tanah tegalan, dan areal persawahan berupa peninggalan
dari masa Pra-Sejarah hingga masa Sejarah yang meliputi: Sarkofagus, Candi,
Arca, Prasasti, dan lain-lain.
Dinas
Purbakala Seksi Bangunan Cabang Makasar inilah yang menjadi cikal
bakal Suaka Peninggalan Sejarah dan
Purbakala Bali (SPSP), yang kemudian setelah keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Nomor : 0767/O/1989.
tanggal 7 Desember 1989 berubah menjadi Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali-NTB-NTT dan Timtim
setelah Provinsi TimTim lepas dari Republik Indonesia dan menjadi negara
timor leste maka wilayah kerja SPSP hanya sampai Nusa Tenggara Timur dan
selanjutnya sejak Januari 2003 berubah nama lagi menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali-Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
sampai saat sekarang.
|
Visi dan
misi balai pelestarian peninggalan purbakala bali wilayah kerja provinsi
bali, nusa tenggara barat, dan nusa tenggara timurBalai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Bali wilayah kerja Propinsi Bali, NTB, dan NTT adalah
unit pelaksana teknis (UPT) dilingkungan Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata. Sesuai dengan SK.Menbudpar No.KM.51/OT/MKP/2003 Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Bali Wilayah Kerja Propinsi Bali, NTB, dan NTT berada
dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala.
Dipimpin oleh seorang kepala yang melaksanakan tugasnya secara teknis
bertanggungjawab kepada Direktur Peninggalan Purbakala.Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Bali Wilayah Kerja Propinsi Bali, NTB dan NTT mempunyai
tugas pokok :melaksanakan pemeliharaan, perlindungan, pemugaran,
pendokumentasian, bimbingan dan penyuluhan mengenai peninggalan sejarah dan
purbakala beserta situs-situsnya.
Untuk
melaksanakan tugas-tugas tersebut Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Bali Wilayah Kerja Propinsi Bali, NTB dan NTT mempunyai fungsi :
KEGIATAN
Perlindungan
: Perlindungan peninggalan sejarah dan purbakala adalah usaha menanggulangi
kerusakan peninggalan sejarah dan purbakala dari gejala atau akibat yang
disebabkan oleh perbuatan manusia maupun proses alam. Kegiatan ini
dimaksudkan untuk mencegah kerugian dan atau kemusnahan nilai, manfaat dan
keutuhan Benda Cagar Budaya/situs, melalui : pengamanan, penyelamatan, dan
perijinan.
Arapemelihan
: Pemeliharaan peninggalan sejarah dan purbakala adalah usaha untuk
melestarikan peninggalan sejarah dan purbakala dari kerusakan-kerusakan yang
diakibatkan baik oleh faktor boitis dan abiotis seperti kerusakan yang
disebabkan oleh alam, manusia, dan binatang, contoh: terjadinya penggaraman
pada permukaan bahan Benda Cagar Budaya, tumbuhnya berbagai jenis lumut
(moss), ganggang (algai), jamur kerak (lichen) pada permukaan Benda Cagar
Budaya berhan batu dan lain-lain.
Pemugaran
: Pemugaran bangunan peninggalan sejarah dan purbakala adalah serangkaian
kegiatan yang bertujuan untuk
Menyelamatkan
warisan budaya bangsa.Mengembangkan dan merangsang kembali gairah kebudayaan
Nasional untuk dapat dijadikan sumber inspirasi daya cipta kehidupan bangsa
dan sekaligus menjadi tumpuan kesadaran, kesatuan serta ketahanan nasional
yang mantap dalam rangka mepupuk, membina dan mengembangkan keperibadian
bangsa.
Pendokumentasian
peninggalan sejarah dan purbakala : Yang dimaksud dengan pendokumentasian
peninggalan sejarah dan purbakala adalah serangkaian kegiatan penyelenggaraan
pendokumentasian atau perekaman data/fakta yang dapat memberikan informasi
atau pembuktian akan kenyataan mengenai keadaan, proses, kejadian dan lain-lain
tentang peninggalan sejarah dan purbakala dalam bentuk visual, registrasi dan
penetapan.
Bimbingan
dan penyuluhan peninggalan sejarah dan purbakala : Kegiatan bimbingan dan
penyuluhan peninggalan sejarah dan purbakala meliputi : cultural edukatif
yakni meningkatkan aspirasi masyarakat tentang warisan budaya bangsa untuk
memperkukuh keperibadian nasional, utuhnya wawasan nusantara serta ketahanan
nasional. Disamping itu agar masyarakat memahami dan dapat melaksanakan
pelestarian Benda Cagar Budaya/situs sesuai dengan amanat Undang-undang No.5
Tahun 1992 tentang "Benda Cagar Budaya", adapun sasaran kegiatan
adalah : Pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum.
Gambar barang peningalan:
Gambar
peti batu yang besar memanjang.di temukan di gianyar
Gambar
peti batu bulat.di temukan didesa taman bali bangli
|
Pura Kebo Edan
Pura Kebo Edan
adalah tempat pemujaan Hindu Tantrayana yang memfokuskan pemujaan Sakti sebagai
Ista Dewatanya. Hal ini disimpulkan oleh para ahli ilmu purbakala seperti De.
W.F. Stuttwerheim dari negeri Belanda. Kesimpulan tersebut diambil dari
beberapa peninggalan purbakala di Pura Kebo Edan. Seperti apakah konsep dan
nilai-nilai yang terdapat dalam simbol-simbol peninggalan purbakala di Pura
Kebo Edan itu?
Dalam kitab Maha
Nirwana Tantra dinyatakan bahwa menghadapi kemelut hidup di zaman Kali ini
dengan memprioritaskan pemujaan Sakti sebagai manifestasi Tuhan. Sakti itu juga
disebut Dewi. Karena pada zaman Kali ini semakin kuat sinergi antara Guna Rajah
dan Guna Tamas. Hal ini menyebabkan manusia itu hidup dengan gaya hedonis
artinya ingin hidup enak dan bersenang-senang, tetapi dengan bermalas-malasan.
Artinya gaya hidup enak tanpa kerja.
Sementara
Tantrayana itu mengajarkan hidup enak ini baik tetapi jangan seenaknya.
Capailah hidup enak tetapi dengan kerja keras. Seseorang akan bisa kerja keras
apabila potensi yang ada dalam dirinya benar-benar bangkit. Beragama dengan
menguatkan potensi diri itulah yang disebut dengan Niwrti Marga sebagai konsep
beragama yang ditekankan dalam ajaran Hindu Tantrayana.
Pura Kebo Edan
adalah pura sebagai tempat untuk melakukan ajaran Tantrayana. Tuhan dalam
ajaran Tantrayana dipuja sebagai Dewi atau Sakti. Istilah Sakti ini sampai saat
ini masih ada kesalahpahaman dalam masyarakat Hindu pada umumnya. Sakti
diartikan sangat negatif. Kalau ada orang bisa menjadi siluman monyet, ular,
kambing, nyala api (endih) atau rangda, dan lain-lain. itu disebut orang
sakti.
Dalam kitab
''Wrehaspati Tattwa'' rumusan Sakti dinyatakan sebagai berikut: Sakti ngarania
sang sarwa jnyana muang sang sarwa karya. Artinya: Sakti adalah orang banyak
ilmunya dan banyak kerjanya. Jadi orang sakti itu adalah orang yang rajin
belajar dan banyak kerja mengamalkan ilmu yang didapatkan dari rajin belajar itu.
Karena ajaran Tantrayana itu Ista Dewatanya adalah Sakti atau Dewi seperti Dewi
Uma atau Dewi Durgha, maka timbulah kesalahpahaman tentang pengertian Sakti
dalam ajaran Hindu Tantrayana.
Sakti itu
dikait-kaitkan dengan ajaran ilmu hitam. Orang-orang yang menganut ajaran Hindu
Tantrayana sering dipojokkan negatif dalam masyarakat. Demikian juga praktik
upacara Tantrayana dengan konsep Maka Kama Pancaka atau lebih terkenal dengan
Panca Ma atau Malima yang juga salah artikan.
Panca Ma itu
adalah mamsa, mada, maituna, mudra dan matsarya. Mamsa diartikan makan daging
bagaikan hewan buas. Mada diterjemahkan mabuk-mabukan. Maituna diterjemahkan
melakukan hubungan seks secara erotis, dan seterusnya. Padahal ajaran tersebut
bukanlah demikian artinya. Misalnya: Mamsa maksudnya mendayagunakan tubuh yang
dibangun oleh darah, daging, tulang, otot, saraf, kelenjar dan lain-lain. itu
untuk mendukung Guna Sattwam dan Rajah untuk membangun niat baik dan melakukan
perbuatan baik.
Demikian juga
Mada, bukanlah untuk mabuk minum alkohol. Mada itu adalah membangun jiwa yang
bersemangat bagaikan orang mabuk melakukan kegiatan belajar dan bekerja untuk
melakukan kebenaran dan kebaikan. Dan di Bali sering disebut buduh melajah tur
buduh megae. Maituna adalah sikap meditasi dengan melengkungkan lidah ke
langit-langit mulut. Mudra bukan untuk melakukan gerak-gerik tangan untuk
belajar ngeleak atau ilmu hitam.
Mudra adalah
menggunakan tangan dengan serasi dengan gerak kosmik untuk melakukan kerja
keras dalam melakukan kebenaran dan kebaikan. Demikian seterusnya.
Kesalahpahaman tentang ajaran Tantrayana itu sampai saat ini masih banyak yang
terjadi. Mungkin zaman Kerajaan Singosari saat Raja Kertanegara memerintah
ajaran Maha Kama Pancaka itu pernah dipraktikkan secara keliru sampai
mentradisi. Dari tradisi yang keliru itulah menimbulkan kesalahpahaman sampai
saat ini.
Meskipun di
beberapa tempat di India dan juga di Bali kesalahpahaman tentang ajaran
Tantrayana pelan-pelan sudah mulai berubah ke arah konsep yang benar sesuai dengan
ajaran Tantrayana. Adanya berbagai kesalahpahaman beberapa aspek ajaran Hindu
memang bisa saja terjadi. Seperti ajaran Catur Varna menjadi ajaran Kasta.
Adanya main judi justru di pura atau saat ada upacara agama.
Demikian juga
tentang kedudukan wanita diposisikan sebagai subordinasi laki-laki. Hal itu
sangat terbalik dengan konsep kitab suci Hindu yang mendudukkan laki dan wanita
secara setara. Karena itu sangatlah perlu ada upaya-upaya pengkajian pada
beberapa tradisi Hindu yang sudah menyimpang jauh dari konsep awalnya.
Tentang ajaran
Bhairawa dalam hubungannya dengan Tantrayana ada tiga aliran yaitu: Bhairawa
Hala Cakra merupakan pertemuan ajaran Buddha dengan ajaran Tantrayana. Bhairawa
Heru Cakra merupakan ajaran yang muncul dari tradisi kepercayaan Indonesia
bercampur dengan Hala Cakra. Bhairawa Bima Sakti adalah pertemuan antara ajaran
Bhairawa dengan ajaran Siwa.
Raja Patih Kebo
Parud di Bali menganut ajaran Bhairawa Bima Sakti. Ajaran Tantrayana yang
dipraktikkan di Pura Kebo Edan adalah Bhairawa Bima Sakti. Atribut dari
Bhairawa Bima Sakti di Pura Kebo Edan itu perlu direnungkan lebih dalam agar
jangan mudah terpeleset pada penafsiran yang keliru. Misalnya adanya alat vital
laki-laki dari Arca Bhairawa Bima Sakti itu. Alat vital tersebut kelihatan
keluar ke samping kiri. Keberadaan alat vital arca tersebut bukanlah sebagai
ekspresi porno. Hal itu melukiskan kesuburan sebagai simbol Purusa.
Sementara
munculnya ke samping kiri sebagai simbol Pradana. Kalau Purusa dan Pradana itu
bertemu dengan sinergis akan munculah kemakmuran. Demikianlah cara umat zaman
dahulu memotivasi rakyat sehingga terdorong secara spiritual untuk mengusahakan
kemakmuran tersebut secara nyata. Arca Bhairawa Bima Sakti itu wajahnya
menggunakan masker. Hal ini melambangkan bahwa ajaran Tantrayana itu adalah
ajaran rahasia.
Maksudnya
hendaknya ajaran Tantrayana itu diajarkan secara didaktik dan metodik. Artinya
mengajarkan hal-hal yang bersifat magis religius itu tidaklah boleh
sembarangan. Kalau orang yang belajar itu tidak begitu berminat belajar,
hendaknya jangan diajarkan ajaran yang rahasia tersebut, karena dapat
disalahgunakan. Ajaran ilmu-ilmu duniawi saja tidak boleh diajarkan
sembarangan, seperti ilmu kimia. Dapat saja ilmu itu disalahgunakan, seperti
membuat bom untuk melakukan tindakan teroris, dan seterusnya. Marilah lewat
Pura Kebo Edan kita luruskan ajaran Sakti memuja Tuhan untuk membangun kasih
sayang merupakan potensi suci dalam diri manusia.
Tampak Siring
Nama
Tampaksiring berasal dari dua buah kata bahasa Bali, yaitu "tampak"
dan "siring", yang masing-masing bermakna telapak dan miring. Konon,
menurut sebuah legenda yang terekam pada daun lontar Usana Bali, nama itu
berasal dari bekas tapak kaki seorang raja yang bernama Mayadenawa. Raja ini
pandai dan sakti, namun sayangnya ia bersifat angkara murka. Ia menganggap
dirinya dewa serta menyuruh rakyatnya menyembahnya. Akibat dari tabiat
Mayadenawa itu, Batara Indra marah dan mengirimkan bala tentaranya. Mayadenawa
pun lari masuk hutan. Agar para pengejarnya kehilangan jejak, ia berjalan
dengan memiringkan telapak kakinya. Dengan begitu ia berharap para pengejarnya
tidak mengenali jejak telapak kakinya.
Namun
demikian, ia dapat juga tertangkap oleh para pengejarnya. Sebelumnya, ia dengan
sisa kesaktiannya berhasil menciptakan mata air yang beracun yang menyebabkan
banyak kematian para pengejarnya setelah mereka meminum air dari mata air
tersebut. Batara Indra kemudian menciptakan mata air yang lain sebagai penawar
air beracun itu yang kemudian bernama "Tirta Empul" ("air
suci"). Kawasan hutan yang dilalui Raja Mayadenawa dengan berjalan sambil
memiringkan telapak kakinya itu terkenal dengan nama Tampaksiring.
Istana ini berdiri atas
prakarsa Presiden Soekarno yang menginginkan adanya tempat peristirahatan yang
hawanya sejuk jauh dari keramaian kota, cocok bagi Presiden Republik Indonesia
beserta keluarga maupun bagi tamu-tamu negara.
Arsiteknya
adalah R.M. Soedarsono dan istana ini dibangun secara bertahap. Komplek Istana
Tampaksiring terdiri atas empat gedung utama yaitu Wisma Merdeka seluas 1.200
meter persegi dan Wisma Yudhistira seluas 2.000 meter persegi dan Ruang
Serbaguna. Wisma Merdeka dan Wisma Yudhistira adalah bangunan yang pertama kali
dibangun yaitu pada tahun 1957. Pada 1963 semua pembangunan selesai yaitu
dengan berdirinya Wisma Negara dan Wisma Bima.
Istana
Tampak Siring dibangun di areal berbukit dengan ketinggian sekitar 700 meter di
atas permukaan laut (DPL). Para pelancong yang mengunjungi tempat ini dapat
menyaksikan riwayat dan fungsi gedung bersejarah yang pernah digunakan oleh
para presiden Republik Indonesia. Pada Wisma Merdeka yang memiliki luas 1.200
m2, misalnya, pengunjung dapat melihat Ruang Tidur I dan Ruang Tidur II
Presiden, Ruang Tidur Keluarga, Ruang Tamu, serta Ruang Kerja dengan penataan
yang demikian indah. Di gedung ini wisatawan juga dapat melihat hiasan-hiasan
berupa patung serta lukisan-lukisan pilihan.
Sementara
di Wisma Negara, para turis dapat menyaksikan sebuah bangunan dengan luas
sekitar 1.476 m2 yang merupakan bangunan untuk menjamu para tamu negara. Antara
Wisma Merdeka dan Wisma Negara terdapat celah sedalam + 15 meter yang
memisahkan dua wisma tersebut. Oleh sebab itu, dibangunlah sebuah jembatan
sepanjang 40 meter dengan lebar 1,5 meter untuk menghubungkan dua wisma itu.
Para tamu negara biasanya akan diantar melalui jembatan ini untuk menuju Wisma
Negara, sehingga jembatan ini juga dikenal dengan nama Jembatan Persahabatan.
Para tamu kehormatan yang pernah melewati jembatan ini antara lain, Kaisar
Hirihito dari Jepang, Presiden Tito dari Yugoslavia, Ho Chi Minh dari Vietnam,
serta Ratu Juliana dari Nederland.
Wisma
Yudhistira merupakan tempat menginap rombongan kepresidenan maupun rombongan
tamu negara. Wisma yang terletak di tengah kompleks Istana Tampak Siring ini
memiliki luas sekitar 1.825 m2. Sedangkan Wisma Bima dengan luas bangunan
sekitar 2.000 m2 biasanya digunakan sebagai tempat istirahat para pengawal
presiden maupun pengawal tamu negara. Gedung lain yang tak kalah penting adalah
Gedung Konferensi. Gedung ini sengaja dibangun untuk keperluan rapat kabinet,
jamuan makan malam tamu kenegaraan, serta konferensi-konferensi penting,
seperti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN XIV yang diselenggarakan pada
tanggal 7—8 Oktober 2003 silam.
Masih
dalam kawasan istana ini, para turis juga dapat menikmati obyek wisata lainnya
yang cukup terkenal di Pulau Bali, yaitu Pura Tampak Siring yang berada tepat
di bawah Istana Tampak Siring. Pura ini juga dikenal dengan nama Pura Tirta
Empul karena di pura ini terdapat sumber mata air suci (“tirta empul”). Di
tempat ini, para turis dapat melakukan meditasi maupun meraup berkah dengan
cara mandi di kolam khusus yang dialiri oleh air dari Tirta Empul. Mata air
yang disakralkan ini konon sudah digunakan untuk penyucian dan pengobatan sejak
seribu tahun yang lalu.
Pura Tirta Empul
Bali telah dikenal sebagai
pulau seribu pura. Di antaranya adalah pura Tirta Empul. Dalam perjalanan
menuju Kintamani, kami menyinggahi Istana Negara Tampaksiring terlebih dahulu.
Tepat di bawah kawasan istana negara inilah pura Tirta Empul berada.
Tirta Empul
bermakna air suci yang menyembur dari dalam tanah. Pura ini terletak
sebelah timur di bawah Istana Tampaksiring tepatnya.
Pura Tirta Empul
terkenal karena terdapat sumber air yang hingga kini dijadikan air suci
untuk melukat oleh masyarakat dari seluruh pelosok Bali, tak
jarang wisatawan yang berkunjung pun tertarik untuk ikut melukat.
Makna ritual
adalah perlambang pembersihan manusia dari hal negatif. Air adalah media untuk
membersihkan diri. Mereka melakukan ritual berdo’a dan menceburkan diri di kolam, kemudian membasuh dengan air dari mata
air Tirta Empul.
Pura Tirta Empul
ini juga merupakan salah satu situs peninggalan sejarah di Bali khususnya
Gianyar. Sehingga, presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno mendirikan
sebuah Istana Presiden tepat di sebelah barat Pura Tirta Empul, Tampak Siring.
Para presiden
Indonesia yang datang ke Bali biasanya menyempatkan diri singgah ke Istana
Presiden Tampak Siring tersebut. Saat ini pura Tirta Empul dan lokasi tempat
melukat tersebut merupakan salah satu lokasi wisata unggulan di kabupaten
Gianyar.
Layaknya
pura-pura lain di Bali, pura ini memiliki 3 bagian yang merupakan jaba pura
(halaman muka), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan (bagian dalam).
Pada Jabe Tengah
terdapat dua buah kolam persegi empat panjang, dan kolam tersebut mempunyai 30
buah pancuran yang berderet dari timur ke barat menghadap ke selatan.
Masing-masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri,
diantaranya pancuran pengelukatan, pebersihan sidamala, dan pancuran cetik
(racun).Ceritanya menarik bukan? Tentu akan lebih menarik lagi kalau
segera berkunjung ke tempat wisata ini sambil mengunjungi Istana Negara Tampak
Siring.
Pura Tirta Empul dan
permandiannya Pura Tirta Empul terletak di Desa Tampak Siring
yang berjarak sekitar 36 kilometer dari kota Denpasar. Pura Tirta Empul adalah
peninggalan purba kala yang yang sangat menarik untuk dikunjungi. Sekedar
informasi di sebelah barat daya pura ini terdapat istana Presiden Soekarno.
Tirta Empul
sendiri berasal dari sumber mata air yang terdapat di dalam pura ini. Tirta
Empul berarti mata air yang menyembur dari tanah. Air dari Tirta Empul ini
mengalir ke Sungai Pakerisan. pura tirta empul didirikan pada tahun 960 A.D.
Pura
tirta empul sendiri sama seperti pura di bali terbagi dalam 3 bagian yang
merupakan jabe Pura (halaman muka), Jabe Tengah (halaman tengah), dan Jeroan
(bagian dalam). Pada Jabe Tengah pura tirta empul terdapat dua buah kolam
persegi empat panjang, dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang
berderet dari timur ke barat menghadap ke selatan. Masing-masing pancuran itu
menurut tradisi mempunyai nama tersendiri, diantaranya pancuran Pengelukatan,
Pebersihan Sidamala, dan pancuran Cetik (racun).
Pesona Pulau
Dewata memang tidak pernah habis untuk dinikmati dan tak akan lekang di makan
waktu. Berbagai warisan budaya di Bali masih kokoh bertahan walau digempur arus
globalisasi. Tak heran jika pulau seluas 5.634 km persegi tersebut selalu menjadi
lokasi tujuan wisata baik wisatawan mancanegara maupun turis lokal.
Salah satu warisan budaya dari pulau kelahiran Untung
Suropati ini adalah Pura Tirta Empul Tampak Siring. Pura yang masuk dalam
wilayah Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar dimaksud
berada tepat di sebelah Istana Presiden di Tampak Siring. Secara etimologi,
Tirta Empul berarti air suci yang menyembul keluar dari tanah. Air tersebut
kemudian mengalir ke sungai Pakerisan. Sumber air ini kerap digunakan untuk
Upacara Melukat oleh ribuan penduduk Bali dengan makna sebagai perlambang
pembersihan manusia dari berbagai hal-hal negatif.
Berdasarkan situs Parisada, pemandian Tirta Empul
dibangun pada Sasih Kapal tahun Icaka 884 atau sekitar 962 Masehi pada zaman
pemerintahan Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa. Sementara Pura Tirta Empul
sendiri dibangun pada zaman Raja Masula Masuli, sesuai dengan yang tertoreh
dalam lontar Usana Bali. Menurut prasasti Sading, Raja Masula Masuli berkuasa
pada tahun Icaka 1100 atau 1178 Masehi.
Seperti pura lainnya di Bali, Pura Tirta Empul terdiri
dari tiga bagian, Jaba Pura (Halaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah), dan
Jeroan (Halaman Dalam). Pada Jaba Tengah terdapat dua kolam persegi panjang
yang memiliki 30 buah pancuran, berderet dari Timur ke Barat menghadap ke
Selatan. Masing -masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri
diantaranya pancuran Pengelukatan, Pebersihan, Sudamala, dan Pancuran Cetik
(Racun).
Pancuran Cetik dan nama Tirta Empul terkait erat
dengan mitologi pertempuran Mayadenawa Raja Batu Anyar (Bedahulu) dengan
Bhatara Indra. Dikisahkan, Raja Mayadenawa bersikap sewenang-wenang dan tidak
mengijinkan rakyat melaksanakan upacara keagamaan untuk memohon keselamatan
dari Tuhan Yang Maha Esa. Perbuatannya diketahui para Dewa yang dipimpin oleh
Bhatara Indra yang kemudian menyerang Mayadenawa.Diperkirakan nama Tampaksiring
berasal dari (bahasa Bali) kata tampak yang berarti “telapak” dan siring yang
bermakna “miring”. Makna dari kedua kata itu konon terkait dengan sepotong
legenda yang tersurat dan tersirat pada sebuah daun lontar, yang menyebutkan
bahwa nama itu berasal dari bekas jejak telapak kaki seorang raja bernama
Mayadenawa.Menurut lontar “Mayadanawantaka”, raja ini merupakan putra dari
Bhagawan Kasyapa dengan Dewi Danu. Namun sayang, raja yang pandai dan sakti ini
memiliki sifat durjana, berhasrat menguasai dunia dan mabuk akan kekuasaan.
Terlebih ia mengklaim dirinya sebagai Dewa yang mengharuskan rakyat untuk
menyembahnya.
Alkisah, lantaran
tabiat buruk yang dimilikinya itu, lantas Batara Indra marah, kemudian menyerbu
dan menggempurnya melalui bala tentara yang dikirim. Sembari berlari masuk
hutan, Mayadenawa berupaya mengecoh pengejarnya dengan memiringkan telapak
kakinya saat melangkah. Sebuah tipuan yang ia coba tebar agar para pengejar tak
mengenali jejaknya. Konon dengan kesaktian yang dimilikinya, ia bisa
berubah-ubah wujud atau rupa.
Namun,
sepandai-pandai ia menyelinap, tertangkap juga oleh para pengejarnya, kendati sebelumnya ia sempat menciptakan mata air beracun, yang
menyebabkan banyak bala tentara menemui ajal usai mandi dan meminum air itu.
Lantas sebagai tandingan, Batara Indra menciptakan mata air penawar racun itu.
Air penawar itulah yang kemudian disebut dengan Tirta Empul (air suci). Sedangkan
kawasan hutan yang dilewati Mayadenawa
dengan berjalan memiringkan telapak kakinya dikenal dengan sebutan Tampak siring.
Lalu, bagaimana dengan
keberadaan arsitektur Pura Tirta Empul beserta permandiannya itu?
Ktut Soebandi,
dalam buku “Sejarah Pembangunan Pura-Pura di Bali” menyebutkan, Permandian
Tirta Empul dibangun pada zaman pemerintahan Raja Sri Candrabhaya Singha
Warmadewa, dan hal ini dapat diketahui dari adanya sebuah piagam batu yang
terdapat di desa Manukaya yang memuat tulisan dan angka yang menyebutkan bahwa
permandian Tirta Empul dibangun pada Sasih Kapat tahun Icaka 884, sekitar
Oktober tahun 962 Masehi. Lantas, bagaimana pula
dengan Pura Tirta Empul-nya, apakah dibangun bersamaan dengan permandiannya?
Ternyata (masih
dalam buku tersebut) antara lain dinyatakan bahwa Pura Tirta Empul dibangun
pada zaman pemerintahan Raja Masula Masuli berkuasa dan memerintah di Bali. Hal
ini dapat diketahui dari bunyi lontar Usana Bali. Isi dari lontar itu
disebutkan artinya sebagai berikut: “Tatkala itu senang hatinya orang Bali
semua, dipimpin oleh Baginda Raja Masula Masuli, dan rakyat seluruhnya merasa
gembira, semua rakyat sama-sama mengeluarkan padas, serta bahan bangunan
lainnya, seperti dari Blahbatuh, Pejeng, Tampaksiring”.
Dalam Prasasti
Sading ada disebutkan, Raja Masula Masuli bertahta di Bali mulai tahun I€aka
1100 atau tahun 1178 M, yang memerintah selama 77 tahun. Berarti ada perbedaan
waktu sekitar 216 tahun antara pembangunan permandian Tirta Empul dengan
pembangunan puranya.
Jika dikaji dari
perbedaan waktu dan fungsi dari ruang arsitektural, menunjukkan bahwa ruang
telah mendahului kesadaran visual manusianya. Dalam hal ini setiap objek
memiliki suatu hubungan dengan ruang. Objek selaku sumber mata air berhubungan
dengan ruang, yakni ruang untuk mandi, citra ruang sebagai tempat religius
untuk membersihkan diri secara alam sekala (nyata) maupun niskala (tak nyata).
Dalam suatu
tatanan spasial, jika suatu objek tempat
mandi berdaya guna secara optimal, terciptalah suatu tatanan dari Ruang-Waktu.
Permandian adalah ruang. Hubungan-hubungan yang dibangun oleh bentuk dan ruang
akan menentukan ritme, nilai estetika, dan religius dari bangunan itu. Di mana
ruang mandi ini bukan semata membersihkan badan-ragawi, namun juga rohani, yang
dalam bahasa-spiritual-Bali disebut juga ngelukat.
Ruang sebagai
suatu ide spiritual telah menjadi dorongan hakiki bagi ekspresi dalam
pernyataan-pernyataan artistik, filosofis, etis, dan ritual. Kesatuan antara
ruang dan waktu memberi kepada arsitektur tampilan yang wadahnya menampung
kegiatan-kegiatan di dalamnya secara optimal. Ruang estetis-religius dari
permandian dan puranya boleh dikata seni pembentukan ruang abstrak dan
pengalaman ruang, lantaran ruang yang terbentuk penuh “daya hidup”, salah
satunya muncul melalui kucuran air yang diyakini punya vibrasi suci dari dalam
pancurannya.
Hal lain bila
lebih dicermati lagi dari nilai historisnya, menurut Bernard M Feilden dalam
buku “Conservation of Historic Buildings”, bahwa ada beberapa nilai pada
prinsipnya terkandung dalam arsitektur yang bernilai sejarah yakni (1)
nilai-nilai emosional seperti keajaiban, identitas, kontinyuitas, spiritual dan
simbolis; (2) nilai-nilai kultural yang meliputi pendokumentasian, sejarah,
arkeologi, usia dan kelangkaan, estetika dan simbolis, arsitektural, tata kota,
pertamanan dan ekologikal; dan (3) nilai-nilai penggunaan seperti fungsional,
ekonomi, sosial dan politik.
Bagaimana
pemandangan di sekitar pura? Jika mengamati lingkungannya dari sisi tebing yang
menghubungkan Istana Tampaksiring dengan Pura Tirta Empul dan permandiannya, di
kejauhan utara terlihat kebiruan Gunung Batur dan keelokan panorama Gunung
Agung di sebelah timur. Di sekitarnya juga nampak permukiman penduduk serta
pemandangan persawahan berterasering di kemiringan pebukitan. Di sela-sela
bangunan terhampar lansekap yang bernas oleh rimbun dedaunan dan tanaman hias,
dengan rerumputan hijau berpaut pepohonan-pepohonan tua, menambah suasana
keteduhan dan ketenangan di kawasan pura ini.
Secara
arsitektural, Permandian dan Pura Tirta Empul ini memiliki nilai sejarah,
bervibrasi spiritual, berkarakter khas, serta akrab dan ramah terhadap
lingkungan.Tampilan arsitekturnya bernafaskan tradisi, serta menyatu terhadap
kondisi alam di sekitarnya. Ruang-ruangnya pun menyiratkan makna yang religius.
Pura Gunung kawi
Candi Gunung Kawi,
atau biasa juga dijuluki Candi Tebing Kawi. Meskipun merupakan salah satu situs
purbakala yang dilindungi di Bali, tempat ini tetap menjadi tempat
bersembahyang umat Hindu hingga sekarang. Nama Gunung Kawi sendiri konon
berasal dari kata gunung (=gunung
atau pegunungan) dan kawi(=pahatan).
Jadi, nama gunung kawi seolah menyiratkan
makna bahwa di tempat inilah sebuah gunung dipahat untuk menjadi sebuah candi.
Kompleks candi yang unik ini pertama kali ditemukan oleh peneliti Belanda
sekitar tahun 1920. Sejak itu, candi ini mulai menarik minat para peneliti,
terutama para peneliti arkeologi kuno Bali. Menurut perkiraan para ahli, candi
ini dibuat sekitar abad ke-11 M, yaitu pada masa pemerintahan Raja Udayana
hingga pemerintahan Anak Wungsu. Candi Gunung Kawi terletak di Sungai
Pakerisan, Dusun Penangka, Desa Sebatu, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten
Gianyar, Provinsi Bali, Indonesia. Jalur menuju Candi Gunung Kawi merupakan
jalur yang sama menuju Istana Tampak Siring. Lokasi candi terletak
sekitar 40 kilometer dari Kota Denpasar dengan perjalanan sekitar 1 jam
menggunakan mobil atau motor. Sementara dari Kota Gianyar berjarak sekitar 21
kilometer atau sekitar setengah jam perjalanan. Apabila tidak membawa kendaraan
pribadi, dari Denpasar maupun Gianyar wisatawan dapat memanfaatkan jasa taksi,
bus pariwisata, maupun jasa agen perjalanan. Obyek wisata Candi Gunung Kawi
telah dilengkapi berbagai fasilitas, seperti tempat parkir yang cukup memadai,
para pemandu yang siap menjelaskan sejarah dan nilai budaya Candi Gunung Kawi,
serta warung-warung yang menjual makan dan minuman di sekitar kompleks candi.
Setelah melewati Gapura dan 315 anak tangga di pinggir sungai Pakerisan yaitu
sebuah sungai yang mempunyai nilai sejarah yang sangat tinggi, terletak komplek
Candi Gunung Kawi. Obyek wisata ini termasuk didalam wilayah Tampaksiring ,
kabupaten Gianyar kira-kira 40 km dari Denpasar. Disebelah tenggara dari
komplek candi ini terletak Wihara (tempat tinggal atau asrama para
Biksu/pendeta Budha). Peninggalan Candi dan Wihara di Gunung Kawi ini
diperkirakan pada abad 11 masehi dan juga wujud toleransi hidup bergama pada
waktu itu yang patut menjadi contoh dan tauladan bagi kita di masa ini, belajar
dari kearifan masa lalu. Berkunjung ke situs Pura Gunung Kawi ini,
memberikan anda wawasan serta keindahan alam yang menawan. Selamat berwisata di Bali , Gunung kawi kami
merupakan salah satu cagar budaya bali yang berupa pahatan candi lokasinya objek wisata bali yang satu tidak jauh dengan objek
wisata tampak siring yang
dikenal sebagai sumber air suci yang di percaya sebagai tempat penyucian diri.
Mengenai nama Gunung Kawi ini belum diketahui secara pasti asal muasalnya.
Namun secara etimologi (bahasa kerennya) dikatakan berasal dari kata Gunung dan
Kawi yang berarti Gunung adalah daerah pegunungan dan Kawi adalah pahatan, jadi
maksudnya ialah pahatan yang terdapat di pegunungan atau di atas batu padas.
Menurut sejarahnya bahwasanya diantara raja-raja Bali yang memerintah Bali,
yang paling terkenal adalah dari dinasti Warmadewa, Raja Udayana adalah berasal
dari dinasti ini dan beliau adalah anak dari Ratu Campa yang diangkat anak oleh
Warmadewa. Setelah dewasa beliau menikah dengan putri dari empu sendok dari
jawa timur(kediri) yang bernama Gunapriya Dharma Patni, dari perkawinan ini
beliau menurunkan Erlangga dan Anak Wungsu. Akhirnya setelah Erlangga wafat
tahun 1041, kerajaannya di jawa timur dibagi 2(dua). Pendeta budha yang bernama
Mpu Baradah dikirim ke Bali agar pulau Bali
diberikan kepada salah satu putra Erlangga, tetapi ditolak oleh Mpu Kuturan.
Selanjutnya Bali diperintah oleh Raja Anak Wungsu antara tahun 1049-1077 dan
dibawah pemerintahanya Bali merupakan daerah yang subur dan tentram. Setelah
beliau meninggal dunia abunya disimpan dalam satu candi dikomplek Candi Gunung
Kawi. Tulisan yang terdapat di pintu masuk situs ini berbunyi ” Haji Lumah Ing
Jalu” yang berarti Sang Raja dimakamkan di “Jalu” sama dengan “susuh” dari
(ayam jantan) yang bentuknya sama dengan Kris, maka perkataan ” Ing Jalu” dapat
ditafsirkan sebagai petunjuk ” Kali Kris” atau Pakerisan. Raja yang dimakamkan
di Jalu dimaksud adalah Raja Udayana, Anak Wungsu, dan 4 orang permaisuri Raja
serta Perdana Mentri raja.
Candi Gunung Kawi adalah bangunan yang berfungsi sebagai
tempat memuliakan roh Raja Udayana beserta keluarganya. Tafsiran ini
dihubungkan dengan pahatan prasasti pada salah satu candi. Candi Gunung Kawidibagi
empat kelompok. Kelompok candi lima berada di sebelah timur Tukad Pakerisan.
Semua bangunan mengarah ke barat. Candi Gunung
Kawi memiliki fungsi
sebagai tempat memuliakan roh suci Raja Udayana Warmadewa, Marakata, dan Anak Wungsu.
Di sebelah barat Sungai Pakerisan terdapat kelompok candi empat. diperkirakan
empat candi dimaksud sebagai “ padharman ” empat selir Raja Anak Wungsu. Di
sebelah barat daya, ada satu candi yang dikenal dengan candi ke-10 (sepuluh).
Pada pintu masuk candi gunung
kawi terdapat tulisan “ rakryan ”. Mencermati tulisan huruf Kadiri
Kwadrat tersebut, besar kemungkinan kelompok candi ke-10 sebagai tempat
padharman pejabat atau perdana menteri pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu. Bentuk bangunan
arsitektur Bali tidak hanya terbatas pada bangunan komersial atau hunian. Pura
sebagai bangunan peribadahan merupakan bentuk bangunan yang bisa menjadi daya
tarik wisatawan yang datang ke Bali. Keberadaan pura di Bali memang jamak. Meskipun wisatawan
tak bisa masuk ke dalam pura, memandang keelokan bentuk pura dari luar sudah
cukup memikat wisatawan. Dari sekian pura yang ada di Bali, Pura Gunung Kawi
adalah salah satu pura yang patut Anda kunjungi. Banyak alasan mengapa pura
yang lokasinya berada di wilayah Banjar (Dusun) Penaka, Desa Tampaksiring,
Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali, harus Anda datangi. Setidaknya ada dua alasan yang bisa memicu Anda untuk
datang ke tempat ini. Pertama karena letaknya berada di lembah bukit, dan kedua
karena letaknya dikelilingi oleh candi yang dipahat langsung di dinding.
Menuruni sekitar 320 anak tangga Memasuki
kawasan Pura Gunung Kawi harus menyiapkan tenaga ekstra. Pura ini hanya bisa
dijangkau dengan berjalan kaki dengan jarak yang relatif jauh dari parkiran
mobil. Dari pintu gerbang, tempat pengunjung harus membeli karcis masuk seharga
Rp 6.000, kita harus menuruni sekitar 320 anak tangga. Ini tak lain karena
letak pura terdapat di dasar lembah. Perjalanan
menuruni sekitar 320 anak tangga ini tak terasa melelahkan karena di sekeliling
tangga Anda bisa melihat hamparan hijaunya sawah yang bentuk lahannya
bertingkat. Selain itu, jika lelah, Anda bisa beristirahat di warung-warung
yang ada di sebelah anak tangga. Sesampainya
di dasar lembah, Anda akan memasuki lorong panjang yang konon dibuat dengan
cara membelah batu besar. Lorong ini adalah pintu masuk menuju kawasan Pura
Gunung Kawi. Kawasan yang ditemukan sekitar
awal tahun 1910 ini terpisah menjadi dua bagian oleh Sungai/Tukad Pakerisan,
bagian di sebelah barat dan bagian di sebelah timur Sungai Pakerisan. Di kedua
bagian ini, Anda bisa melihat candi yang melekat langsung di dinding tebing.
Candi yang dipahat langsung di dinding tebing inilah yang menjadi daya tarik
mengapa Anda harus datang ke tempat ini. Empat gugusan Pahatan
candi yang ada di dinding tebing batu ini memiliki beberapa makna dan fungsi,
baik yang berada di sisi barat, maupun timur Sungai Pakerisan. Menurut beberapa
sumber literatur, adanya pahatan ini mengilhami penamaan kawasan ini. Ada yang
menyebutkan bahwa kata ukiran dalam bahasa Jawa Kuno adalah Kawi. Karena adanya
candi yang diukir di dinding tebing dan berada di pegunungan, maka pura yang
ada di kawasan ini disebut Pura Gunung Kawi. Secara keseluruhan, pahatan candi di dinding tebing yang
ada di kawasan Pura Gunung Kawi ini terbagi menjadi empat gugusan. Gugusan
pertama terdiri dari 5 candi yang dipahat berderet dari arah utara ke selatan
pada tebing yang ada di sisi timur sungai. Pada
pahatan candi yang ada di sisi paling utara terdapat tulisan "Haji Lumah
Ing Jalu". Dari tulisan ini, ada yang menyebutkan bahwa candi di sisi
paling utara ini digunakan untuk istana pemujaan roh suci Raja Udayana.
Sementara itu, candi di sebelahnya adalah istana untuk permaisurinya dan
anak-anak Raja Udayana, Marakata dan Anak Wungsu. Gugusan kedua terdiri dari empat candi yang dipahat
berderet dari arah utara ke selatan pada tebing yang ada di sisi barat sungai.
Dr R Goris, arkeolog dari Belanda, dalam beberapa literaturya menyebutkan bahwa
keempat deretan candi ini berfungsi sebagai kuil (padharman) bagi keempat permaisuri raja. Gugusan ketiga adalah bangunan biara dan ceruk (rongga
besar) yang dipahatkan pada tebing yang terletak di sebelah selatan gugusan
pertama. Adapun gugusan keempat merupakan sebuah candi dan ceruk yang digunakan
sebagai tempat pertapaan. Letaknya berada sekitar 220 meter dari gugusan kedua.
Lantas, di mana letak puranya? Pura ini sendiri
letaknya berada di samping gugusan candi pertama. Di dalamnya terdapat
bangunan-bangunan pelengkap pura, seperti pelinggih dan bale
perantenan. Pura Gunung Kawi biasa digunakan pada saat upacara
Piodalan. Upacara yang dilakukan setiap bulan purnama tiba ini adalah upacara
pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya melalui
sarana pemerajan, pura, dan kahyangan. Di ukur dengan jari. Jika ditilik ke masa lalu, keberadaan pura ini tidak
terlepas dari gugusan-gugusan pahatan yang ada. Tulisan-tulisan yang ada di
setiap pahatan yang berfungsi sebagai data arkeologi menunjukkan bahwa Pura
Gunung Kawi di buat pada abad ke11. Hal ini terlihat dari tulisan "Haji
Lumah Ing Jalu". Bentuk tulisan ini adalah bentuk tulisan kadiri kuadrat
yang lazim digunakan di kerajaan yang ada di Jawa Timur pada abad ke-11.
Pada masa itu, pemerintahan yang sedang berkuasa
adalah Raja Marakatapangkaja. Oleh karena itu, banyak pihak yang mengatakan
bahwa kompleks Aura Gunung Kawi ini dibangun oleh Raja Marakatapangkaja dan
diselesaikan oleh Raja Anak Wungsu.
Salah satu bukti bahwa Raja Anak Wungsu yang
menyelesaikan pembangunan ini adalah adanya makam abu Raja Anak Wungsu. Selain
itu, di sini juga terdapat makam Raja Udayana, raja dari dinasti Warmadewa yang
memimpin kerajaan terbesar di Bali.
Makam abu kedua raja ini berada di balik pahatan
candi dinding. Dengan adanya makam ini, tak heran bila kompleks pura ini
disebut sebagai makam Dinasti Warmadewa. Beberapa
sumber literatur dan warga di sekitar Pura Gunung Kawi menyebutkan bahwa
pahatan candi di tebing dibuat oleh Kebo Iwa, tokoh legenda rakyat Bali yang memiliki
kekuatan besar. Ia membuat pahatan candi di tebing batu ini menggunakan kuku
tangannya. Keelokan pahatan dinding dan
pura yang ada di sini menawan dilihat dan harus dijaga keberadaannya. Oleh
karena itu, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali menetapkan bahwa
kawasan ini adalah aset purbakala yang harus selalu dilestarikan. Menurut catatan sejarah,
Raja Udayana merupakan salah satu raja terkenal di Bali yang berasal dari
Dinasti Marwadewa. Melalui pernikahannya dengan seorang puteri dari Jawa yang
bernama Gunapriya Dharma Patni, ia memiliki anak Erlangga dan Anak Wungsu.
Setelah dewasa, Erlangga kemudian menjadi raja di Jawa Timur, sementara Anak
Wungsu memerintah di Bali. Pada masa inilah diperkirakan candi tebing kawi
dibangun. Salah satu bukti arkeologis untuk menguatkan asumsi tersebut adalah
tulisan di atas pintu-semu yang menggunakan huruf Kediri yang berbunyi “haji lumah ing jalu”yang bermakna
sang raja yang (secara simbolis) disemayamkan di Jalu. Raja yang dimaksud
adalah Raja Udayana. Sedangkan kata jaluyang
merupakan sebutan untuk taji (senjata) pada ayam jantan, dapat diasosiasikan
juga sebagai keris atau pakerisan.
Nama Sungai Pakerisan atau Tukad Pakerisan inilah yang kini dikenal sebagai
nama sungai yang membelah dua tebing Candi Kawi tersebut.
Versi lainnya yang berasal dari cerita rakyat setempat menyebutkan bahwa
pura atau candi Tebing Kawi ini dibuat oleh orang sakti bernama Kebo Iwa. Kebo
Iwa merupakan tokoh legenda masyarakat Bali yang dipercaya memiliki tubuh yang
sangat besar. Dengan kesaktiannya, konon Kebo Iwa menatahkan kuku-kukunya yang
tajam dan kuat pada dinding batu cadas di Tukad Pakerisan itu. Dinding batu
cadas tersebut seolah dipahat dengan halus dan baik, sehingga membentuk gugusan
dinding candi yang indah. Pekerjaan yang seharusnya dikerjakan orang banyak
dengan waktu yang relatif lama itu, konon mampu diselesaikan oleh Kebo Iwa
selama sehari semalam. Candi Gunung Kawi memang unik dan mengesankan. Kesan itu
setidaknya dimulai sejak Anda menuruni sejumlah 315 anak tangga di tubir Sungai
Pakerisan. Suasana asri yang nampak dari rerimbunan pohon di tepi sungai, juga
gemericik air dari sungai yang dikeramatkan di Bali ini membuat pengunjung
seolah disambut oleh simfoni alam. Anak tangga-anak tangga untuk menuju Candi Gunung
Kawi ini terbuat dari batu padas yang dibingkai dengan dinding batu.
Sesampainya di kompleks candi, wisatawan akan menyaksikan dua kelompok
percandian yang dipisahkan oleh aliran Sungai Pakerisan. Candi pertama terletak
di sebelah barat sungai, menghadap ke timur, yang berjumlah empat buah.
Sedangkan candi kedua terletak di sebelah timur sungai, menghadap ke barat,
yang berjumlah lima buah. Pada kompleks candi di sebelah barat, juga dilengkapi
kolam pemandian serta pancuran air. Menyaksikan dua kompleks candi ini, Anda
akan dibuat takjub oleh pemandangan dinding-dinding batu cadas yang dipahat
rapi membentuk ruang-ruang lengkung yang di dalamnya terdapat sebuah candi.
Candi-candi ini sengaja dibuat di dalam cekungan untuk melindunginya dari
ancaman erosi. Pada kompleks candi di sebelah barat terdapat semacam “ruang”
pertapaan yang juga disebut wihara. Wihara tersebut dipahat di dalam tebing
yang kokoh dan dilengkapi dengan pelataran, ruangan-ruangan kecil (seperti
kamar) yang dilengkapi dengan jendela, serta lubang sirkulasi udara di bagian
atapnya yang berfungsi juga untuk masuknya sinar matahari. Ruangan-ruangan di
dalam wihara ini kemungkinan dahulu digunakan sebagai tempat meditasi maupun
tempat pertemuan para pendeta atau tokoh-tokoh kerajaan lainnya. Ruangan yang
digunakan sebagai tempat pertapaan atau meditasi. Situs lainnya yang masih satu
kompleks dengan Candi Gunung Kawi adalah gapura dan tempat pertapaan yang
disebut Geria Pedanda. Di tempat ini wisatawan dapat menyaksikan beberapa
gapura dan tempat pertapaan. Para ahli menyebut tempat ini sebagai “Makam
ke-10”. Penamaan oleh para ahli ini didasarkan pada tulisan singkat dengan
huruf Kediri yang berbunyi “rakryan”, yang
jika ditafsirkan merupakan tempat persemayaman seorang perdana menteri atau
pejabat tinggi kerajaan. Sementara di bagian lain, agak jauh ke arah tenggara
dari kompleks Candi Gunung Kawi, melewati persawahan yang menghijau, terdapat
beberapa ceruk tempat pertapaan dan sebuah wihara yang nampaknya sebagian belum
terselesaikan secara sempurna oleh pembuatnya. Kompleks Candi Gunung Kawi
memang sengaja dibuat untuk persemayaman Raja Udayana dan anak-anaknya. Namun
makna persemayaman di sini bukan sebagai kuburan untuk badan sang Raja dan
keluarganya, melainkan dalam pengertian simbolis, yakni untuk penghormatan
kepada sang raja. Oleh sebab itu, mengunjungi tempat ini Anda akan mendapatkan
suasana tenang dan damai. Kompleks Candi Gunung Kawi memang merupakan tempat
ideal untuk bermeditasi, sembahyang, atau untuk sekedar berwisata. Lokasinya
yang sejuk dan terletak persis di tepi sungai membuat kompleks percandian ini
menawarkan aura ketenangan batin yang dalam.
Pura Panataran Sasih
Pura Penataran Sasih
merupakan salah satu pura yang memiliki jejak sejarah yang sangat panjang. Pura
kahyangan jagat yang terletak di Banjar Intaran, Desa Pejeng, Tampaksiring,
Gianyar ini juga lebih banyak diketahui dari berbagai mitos yang ada. Salah
satunya adalah ''bulan Pejeng'' di Pura Penataran Sasih.
Dari beberapa
referensi dan sumber yang ada menyebutkan bahwa Pura Penataran Sasih adalah
pura tertua yang merupakan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno. Bahkan seorang
arkeolog R. Goris dalam buku ''Keadaan Pura-pura di Bali'' juga menyebutkan
bahwa pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno terletak di Bedulu, Pejeng. Dari
hasil penelitian terhadap peninggalan benda-benda kuno di areal pura, diduga
Pura Penataran Sasih telah ada sebelum pengaruh Hindu masuk ke Bali, satu era
dan zaman Dongson di China, sekitar 300 tahun Sebelum Masehi. Jauh sebelum
Hindu masuk ke Bali sekitar abad ke-8 Masehi.
Di Pura yang
terletak di Pejeng ini terdapat Nekara perunggu berukuran 186,5 cm, pura ini
dikaitkan dengan Kebo Iwa, seorang Mahapatih Kerajaan Bali Kuno sebagai subang
(anting-anting), yang konon dikalahkan oleh Gajah Mada dengan taktik licik guna
menguasai Bali. Selain itu, keberadaan nekara perunggu tersebut dikaitkan
dengan mitos keberadaan ''bulan Pejeng'' tersebut dengan kisah kencing maling
meguna. di Pura Penataran Sasih mengandung nilai simbolis magis yang sangat tinggi.
Pada nekara tersebut terdapat hiasan kodok muka sebagai sarana penghormatan
pada leluhur sebagai pelindung. Dalam kaitannya ini simbolis magis tersebut
berfungsi sebagai media untuk memohon hujan.
Di samping nekara
perunggu, di Pura Penataran Sasih juga terdapat peninggalan berupa pecahan
prasasti yang ditulis pada batu padas. Hanya tulisan yang mempergunakan bahasa
Kawi dan Sansekerta itu tidak bisa dibaca karena termakan usia. Namun, dari
hasil penelitian yang dilakukan, ada kemungkinan pecahan prasasti tersebut
berasal dari abad ke-9 atau permulaan abad ke-10. Di Pura Penataran Sasih juga
tersimpan pula beberapa peninggalan masa Hindu masuk ke Bali, seperti prasasti
dari batu yang berlokasi di jeroan di bagian selatan. Prasasti tersebut
berkarakter huruf dari abad ke-10. Di bagian jaba pura, di sebelah tenggara ada
fragmen atau bekas bangunan memuat prasasti beraksara kediri kwadrat (segi
empat) yang menyebutkan Parad Sang Hyang Dharma yang artinya bangunan suci.
Pura Penataran
Sasih sendiri terdiri atas lima palebaan, meliputi Pura Penataran Sasih sebagai
pura induk. Bagian utara terdapat Pura Taman Sari, Pura Ratu Pasek, dan Pura
Bale Agung. Sedangkan untuk bagian selatan terdapat Pura Ibu. Untuk areal Pura
Penataran Sasih terutama di jeroan terdapat beberapa pelinggih. Dari pintu
masuk, pada sisi jaba tengah terdapat bangunan Padma Kurung sebagai tempat
penyimpanan Sang Hyang Jaran.
Deretan bagian
timur terdapat bangunan pengaruman yang biasanya difungsikan sebagai tempat
menstanakan simbol-simbol Ida Batara dari Pura Kahyangan Tiga di seluruh
Pejeng. Pada bagian utara balai pengaruman terdapat pelinggih Ratu Sasih. Di
samping itu, ada pula pesimpangan Ida Batara Gana dan gedong pasimpangan Ida
Batara Brahma di deret selatan. Sementara itu, pada bagian utara terdapat
gedong pasimpangan Batara Wisnu, dan di bagian barat terdapat gedong
pasimpangan Batara Mahadewa. Untuk piodalan di Pura Penataran Sasih terbagi
dalam dua bagian. Tiap 210 hari tepatnya Redite Umanis, wuku Langkir,
berlangsung upacara yang dinamakan upacara panyelah yang berlangsung selama
tiga hari. Sedangkan untuk karya agung berlangsung pada purnama kesanga, nemu
pasah.
Di samping,
sebagai pura yang menyimpan benda-benda purbakala, Pura Penataran Sasih juga
terkenal dengan tarian sakralnya yakni tarian Sang Hyang Jaran. Tarian Sang Hyang adalah suatu tarian sakral yang berfungsi
sebagai pelengkap upacara untuk mengusir wabah penyakit yang sedang melanda
suatu desa atau daerah. Selain untuk mengusir wabah penyakit, tarian ini juga
digunakan sebagai sarana pelindung terhadap ancaman dari kekuatan magi hitam
(black magic). Tari yang merupakan sisa-sisa kebudayaan pra-Hindu ini biasanya
ditarikan oleh dua gadis yang masih kecil (belum dewasa) dan dianggap masih
suci. Sebelum dapat menarikan sanghyang calon penarinya harus menjalankan
beberapa pantangan, seperti: tidak boleh lewat di bawah jemuran pakaian, tidak
boleh berkata jorok dan kasar, tidak boleh berbohong, dan tidak boleh mencuri.
Ada
satu hal yang sangat menarik dalam kesenian ini, yaitu pemainnya akan mengalami
trance pada saat pementasan. Dalam keadaan seperti inilah mereka menari-nari,
kadang-kadang di atas bara api dan selanjutnya berkeliling desa untuk mengusir
wabah penyakit. Biasanya pertunjukan ini dilakukan pada malam hari sampai
tengah malam.
Macam-macam Tari Sanghyang
Tarian
sanghyang yang menjadi ciri khas orang Bali ini sebenarnya terdiri dari
beberapa macam, yaitu:
Sanghyang
Dedari, adalah tarian yang dibawakan oleh satu atau dua orang gadis kecil.
Sebelum mereka dengan musik gending pelebongan, hingga mereka menjadi trance.
Dalam keadaan tidak sadar itu, penari Sanghang diarak memakai peralatan yang
lazimnya disebut joli (tandu). Di Desa Pesangkan, Karangasem, penari sanghyang
menari di atas sepotong bambu yang dipikul, sedang di Kabupaten Bangli penari
sanghyang menari di atas pundak seorang laki-laki. Jenis tari Sanghyang seperti
ini juga dikenal dengan nama tari Sanghyang Dewa.
Sanghyang
Deling, adalah tarian yang dibawakan oleh dua orang gadis sambil membawa deling
(boneka dari daun lontar) yang dipancangkan di atas sepotong bambu. Sanghyang
deling dahulu hanya terdapat disekitar daerah Danau Batur, namun saat ini sudah
tidak dijumpai lagi di tempat tersebut. Tarian yang hampir sama dengan
sanghyang deling dapat dijumpai di Tabanan dan diberi nama sanghyang dangkluk.
Sanghyang
Penyalin, adalah tarian yang dibawakan oleh seorang laki-laki sambil
mengayun-ayunkan sepotong rotan panjang (penyalin) dalam keadaan tidak sadar
(trance). Di Bali bagian utara tarian ini bukan dibawakan oleh seorang
laki-laki, melainkan oleh seorang gadis (daha).
Sanghyang
Cleng (babi hutan), adalah tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki
yang berpakaian serat ijuk berwarna hitam. Ia menari berkeliling desa sambil
menirukan gerakan-gerakan seekor celeng (babi hutan), dengan maksud mengusir
roh jahat yang mengganggu ketenteraman desa.
Sanghyang
Memedi, adalah tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang
berpakaian daun atau pohon padi sehingga menyerupai memedi (makhluk halus).
Sanghyang
Bungbung, adalah tarian yang dimainkan oleh seorang perempuan sambil membawa
potongan bambu yang dilukis seperti manusia. Tari sanghyang bungbung ini
terdapat Di Desa Sanur, Denpasar, dan hanya dipergelarkan pada saat bulan
purnama.
Sanghyang
Kidang, yang hanya dijumpai di Bali utara, ditarikan oleh seorang perempuan.
Dalam keadaan tidak sadar, penari menirukan gerakan-gerakan seekor kidang
(kijang). Tarian ini diiringi dengan nyanyian tanpa mempergunakan alat musik.
Sanghyang
Janger. Dahulu tarian ini dimainkan dalam keadaan tidak sadar dan bersifat
sakral. Namun kemudian mengalami perubahan dan menjadi tari Janger dengan
iringan cak. Tari ini tersebar luas di seluruh pelosok Pulau Bali dengan makna
yang sudah berbeda.
Sanghyang
Sengkrong, adalah tarian yang dimainkan oleh oleh seorang anak laki-laki dalam
keadaan tidak sadar (trance) sambil menutup rambutnya dengan kain putih
(sengkrong). Sengkrong adalah kain putih panjang yang biasa digunakan oleh para
leyak di Bali untuk menutup rambut yang terurai.
Sanghyang
Jaran, adalah tarian yang dimainkan oleh dua orang laki-laki sambil menunggang
kuda-kudaan yang terbuat dari rotan dan atau kayu dengan ekor yang terbuat dari
pucuk daun kelapa. Di Bali utara, penari sanghyang jaran sambil menunggang
kuda-kudaan juga mengenakan topeng dan diiringi dengan kecak. Sedangkan, di
Desa Unggasan, Kuta, Kabupaeten Badung, Tari sanghyang jaran ditarikan secara
berkala (lima hari sekali) pada bulan November sampai dengan Maret, dimana pada
bulan-bulan tersebut diperkirakan wabah penyakit sedang berkecamuk. Selain itu,
sanghyang jaran juga sering ditarikan sebagai kaul setelah sembuh dari suatu
penyakit. Bentuk tari sanghyang jaran yang meniru gerakan kuda, hampir mirip
tarian kuda lumping atau kuda kepang yang ada di Jawa.
Goa Gajah
Pura Goa Gajah itu terletak di Desa Bedaulu Kecamatan
Blahbatuh, Gianyar. Pura ini memiliki banyak peninggalan purbakala. Karena itu
pura ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan asing maupun domestik. Pura ini
dapat dibagi menjadi tiga bagian. Ada bangunan-bangunan suci Hindu yang amat
tua sekitar abad ke-10 Masehi. Ada bangunan suci Hindu berupa
pelinggih-pelinggih yang dibangun setelah abad tersebut. Sedangkan yang ketiga
ada bangunan peninggalan agama Buddha yang diperkirakan oleh para ahli sudah
ada sekitar abad ke-8 Masehi sezaman dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah.
Di Pura Goa Gajah terdapat
ceruk di mana di dalam salah satu ceruknya di arah timur goa terdapat tiga buah
Lingga berjejer dalam satu lapik. Masing-masing Lingga di kelilingi oleh
depalan Lingga kecil-kecil. Dalam tradisi Hindu Lingga itu adalah bangunan suci
simbol pemujaan pada Dewa Siwa sebagai salah satu manifestasi Tuhan. Tiga
Lingga ini mungkin sebagai salah satu peninggalan Hindu dari sekte Siwa
Pasupata.
Tiga Lingga itu sebagai simbol sakral sebagai sarana
pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa. Tuhan dipuja
sebagai Sang Hyang Tri Purusa itu dalam fungsinya sebagai jiwa agung alam
semesta. Siwa sebagai jiwa Bhur Loka. Sada Siwa sebagai jiwa agung Bhuwah Loka
dan Parama Siwa sebagai jiwa Swah Loka. Tujuan pemujaan Tuhan sebagai Siwa jiwa
agung Bhur Loka adalah untuk mencapai suka tanpa wali duhkha. Sebagai Sada Siwa
untuk mencapai kebahagiaan yang tiada berpangkal dan tiada berujung. Sebagai
Parama Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang bersifat niskala yang tidak dapat
dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak mungkin diberikan ciri-cirinya.
Demikian dinyatakan dalam pustaka suci Wrehaspati Tattwa.
Masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga
kecil-kecil itu sebagai simbol delapan dewa di delapan penjuru dari
masing-masing bhuwana tersebut. Delapan dewa itu disebut Astadipalaka, artinya
delapan kemahakuasaan Tuhan sebagai pelindung seluruh penjuru alam. Memuja
Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa bertujuan untuk
menguatkan jiwa untuk mencapai kesuksesan hidup di Tri Bhuwana.
Di ceruk bagian timur goa terdapat tiga Lingga besar
berjejer di atas satu lapik, sedangkan di bagian baratnya terdapat arca Ganesa
di goa berbentuk T. Jadinya di bagian hulu atau keluwan goa ada tiga Lingga
simbol Siwa atau Sang Hyang Tri Purusa. Sedangkan di bagian teben adalah arca
Ganesa yaitu putra Siwa dalam sistem pantheon Hindu. Karena adanya arca Ganesa
inilah menurut Miguel Covarrubias goa ini bernama Goa Gajah.
Fungsi Dewa Ganesa dalam sistem pemujaan Hindu adalah
sebagai Wighna-ghna Dewa dan sebagai Dewa Winayaka. Wighna artinya halangan
atau tantangan. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Ganesa adalah pemujaan untuk
mendapatkan tuntunan spiritual agar memiliki ketahanan diri dalam menghadapi
berbagai halangan atau tantangan hidup. Ganesa dipuja sebagai Dewa Winayaka
adalah untuk mendapatkan tuntunan Tuhan dalam mengembangkan hidup yang
bijaksana. Kemampuan menghadapi tantangan dan mengembangkan kebijaksanaan ini
sebagai langkah awal untuk meraih hidup yang damai dan sejahtera di bumi ini.
Di depan goa terdapat arca Pancuran dalam sebuah kolam
permandian sakral yang karena zaman tertimbun tanah. Saat Kriygsman menjabat
kepala kantor Prbakala di Bali, maka tahun 1954 permandian itu digali. Di
permandian itu terdapat arca Widyadara dan Widyadhari. Arca pancuran ini ada
enam buah. Tiga berjejer di bagian utara dan tiga di bagian selatan. Arca
bidadari ini diletakkan di atas lapik teratai atau padma. Padma adalah simbol
alam semesta stana Hyang Widhi.
Di tengahnya ada
arca laki simbol Widyadhara. Enam arca Widyadhari ini mengalirkan air dari
pusat arca dan ada yang dari susu arca. Air yang mengalir di kolam itu sebagai
simbol kesuburan. Tujuan pemujaan Tuhan dengan simbol Lingga sebagai media
untuk memotivasi munculnya kesuburan. Lingga itu dibagi menjadi dua bagian
yaitu alasnya disebut Yoni simbol Predana dan yang berdiri tegak di atas yoni
itu disebut Lingga. Bagian bawah lingga berbentuk segi empat simbol Brahma
Bhaga, di atasnya berbentuk segi delapan simbol Wisnu Bhaga.
Di atas segi delapan berbentuk bulat panjang. Inilah
puncaknya sebagai Siwa Bhaga. Dalam upacara pemujaan Lingga ini disiram air
atau dengan susu. Air atau susu itu ditampung melalui saluran yoni. Air itulah
yang dipercikan ke sawah ladang memohon kesuburan pertanian dan perkebunan.
Arca pancuran itu lambang air mengalir untuk membangun
kesuburan pertanian dalam arti luas. Dalam Canakya Nitisastra, air itu
dinyatakan salah satu dari tiga Ratna Permata Bumi.
Tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan obat-obatan serta
kata-kata bijak sebagai dua Ratna Permata lainnya. Bangunan suci Hindu di Pura
Goa Gajah di samping ada bangunan peninggalan Hindu pada zaman eksisnya Hindu
Siwa Pasupata pada zaman berikutnya ada pura sebagai pemujaan Hindu pada zaman
Hindu Siwa Siddhanta telah berkembang. Karena itu di sebelah timur agak ke
selatan Goa Gajah itu ada beberapa pelinggih. Ada Pelinggih Limas Catu dan
Limas Mujung sebagai Pelinggih Pesimpangan Batara di Gunung Agung dan Gunung
Batur.
Ada Pelinggih Gedong sebagai pelinggih leluhur para
gusti di Bedaulu. Ada pelinggih Ratu Taman sebagai pemujaan Batara Wisnu
sebagai dewanya air. Sebagaimana pura pada umumnya terdapat juga beberapa
bangunan pelengkap. Seperti pelinggih Pengaruman sebagai tempat sesaji untuk
persembahan saat ada upacara, baik upacara piodalan maupun karena ada hari raya
Hindu lainnya.
Peninggalan yang lebih kuno dari peninggalan Hindu di
Pura Goa Gajah adalah adanya peninggalan agama Buddha. Di luar goa di sebelah
baratnya ada arca Buddhis yaitu Dewi Hariti di Bali disebut arca Men Brayut.
Arca ini dilukiskan sebagai seorang wanita yang memangku banyak anak. Dalam
mitologi agama Buddha, Hariti ini pada mulanya seorang wanita pemakan daging
manusia terutama daging anak-anak. Setelah Hariti ini mempelajari ajaran Sang
Budsha, Hariti akhirnya menjadi seorang yang sangat religius dan penyayang
anak-anak.
Di sebelah selatan Goa Gajah melalui parit diketemukan
arca Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba. Buddha dalam sikap Dhyani Buddha
Amitaba ini dalam sistem pantheon Buddha Mahayana sebagai Buddha pelindung arah
barat alam semesta. Demikian tiga wajud bangunan keagamaan Hindu dan Buddha di
Pura Goa Gajah.* I Ketut Gobyah
Toleransi
Beragama di Pura Goa Gajah Di Pura Goa Gajah ada tiga tipe bangunan keagamaan
yang berbeda-beda. Ada bangunan keagamaan Hindu pada saat berkembangnya Hindu
Siwa Pasupati. Dengan bukti-bukti adanya Arca Tiga Lingga yang masing-masing
Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil. Ada bangunan keagamaan yang
bercorak Siwa Siddhanta dengan adanya pelinggih-pelinggih di sebelah timur agak
keselatan dari Goa Gajah. Di samping itu ada bangunan keagamaan Buddha yang
bercorak Buddha Mahayana. Apa dan bagaimana konsep dan misi pembangunan Pura
Goa Gajah tersebut?
Tiga bentuk bangunan keagamaan di Pura Goa Gajah ini
sungguh sangat menarik untuk dijadikan bahan renungan di zaman modern dengan
teknologi hidup yang serba canggih. Yang patut dikaji adalah sikap toleransi
leluhur orang Bali pada zaman lampau itu. Agama Hindu sekte Siwa Pasupati
memang ada perbedaannya dengan agama Hindu Siwa Siddhanta. Tetapi substansi
keagamaan Hindu tersebut adalah sama bersumber pada Weda. Hakikat sejarah
munculnya agama Buddha pun berasal dari proses pengamalan ajaran suci Weda.
Ajaran Hindu Siwa Pasupata menekankan pada arah beragama ke dalam diri sendiri.
Arah beragama Hindu itu ada dua yaitu Niwrti Marga dan Prawrti Marga. Niwrti
Marga adalah arah beragama dengan memprioritaskan penguatan hati nurani,
sedangkan Hindu Siwa Siddhanta lebih menekankan pada Prawrti Marga dengan
orientasi beragama ke luar diri. Namun bukan berarti tidak menggunakan cara
Niwrti. Hanya perbedaan pada penekanannya saja.
Cara Niwrti ditempuh untuk mencapai keadaan yang
”Pasupata”. Pasu artinya hawa nafsu kebinatangan. Sedangkan kata Pata berasal
dari kata Pati artinya Raja atau penguasa. Pasupata atau Pasupati artinya
proses pemujaan Tuhan untuk dapat menguasai nafsu yang identik dengan
sifat-sifat hewan. Barang siapa yang mampu menguasai nafsu yang identik dengan
sifat-sifat hewan itu dialah yang akan dapat mencapai Siwa secara bertahap
seperti yang dinyatakan dalam Wrehaspati Tattwa 50. Kalau sudah dapat menguasai
diri sendiri maka proses hidup selanjutnya akan lebih lancar dalam menempuh
cara Prawrti Marga.
Agama Hindu sekte Siwa Siddhanta seperti yang dianut
oleh umat Hindu di Bali pada umumnya memiliki tujuan yang sama dengan Hindu
Siwa Pasupata itu. Bedanya hanya penekanannya saja. Kata Siwa Siddhanta berarti
sukses mencapai Siwa yang terakhir atau tertinggi. Jadinya dalam satu sekte
saja agama Hindu memberikan kebebasan pada umatnya untuk memilihnya. Di Pura
Goa Gajah, kedua cara itu dapat hidup berkelanjutan dan umat tidak dipaksa
harus ikut ini atau itu.
Umat dipersilakan secara mandiri untuk memilihnya atau
memadukan semua cara tersebut. Ini artinya penganut Siwa Siddhanta tidak
menganggap penganut Siwa Pasupata sebagai penganut sesat. Mereka menyadari
substansi ajaran agama Hindu yang mereka anut sama yaitu berdasarkan Weda.
Demikian juga sebaliknya yang menganut Siwa Pasupata tidak menganggap penganut
Siwa Siddanta sebagai orang lain. Ini artinya umat Hindu pada zaman dahulu itu
benar-benar menghormati privasi beragama sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi.
Sikap keagamaan umat Hindu yang dicerminkan oleh umat
Hindu di masa lampau di Pura Goa Gajah dan sesungguhnya pada peninggalan Hindu
kuno yang lainnya di Indonesia. Tentunya akan sangat janggal kalau pada zaman
sekarang ada misalnya umat yang bersifat negatif pada orang lain yang berbeda
sistem penekanan beragamanya.
Umat Hindu di masa lampau terutama para pemimpinnya
benar-benar sudah memiliki jiwa besar dalam mengelola perbedaan. Karena
perbedaan itu merupakan suatu kenyataan yang universal. Artinya, perbedaan itu
akan selalu ada sepanjang masa, di mana pun dan kapan pun. Akan menjadi sesuatu
yang tidak produktif kalau ada yang memaksakan agar mereka yang berbeda ditekan
dengan cara-cara pendekatan kekuasaan. Menyikapi perbedaan seperti itu sangat
tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu dan nilai-nilai universal yang dianut
oleh dunia dewasa ini.
Demikian juga halnya dengan peninggalan keagamaan
Buddha Mahayana di Pura Goa Gajah yang jauh lebih awal berada di Bali.
Munculnya Sidharta Gautama sebagai Buddha diawali oleh adanya dua aliran Hindu
yaitu Tithiyas dan Carwakas. Aliran Tithiyas dan Carwakas sama-sama meyakini
bahwa penderitaan itu karena keterikatan manusia pada kehidupan duniawi yang
tidak langgeng ini. Mereka berbeda dalam hal cara mengatasi keterikatan nafsu
tersebut.
Carwakas memandang agar nafsu tidak mengikat maka
nafsu itu harus dituangkan bagaikan menuangkan air di gelas. Dengan nafsu itu
terus dipenuhi sesuai dengan gejolaknya maka nafsu itu akan habis dan lenyap
maka manusia pun akan bebas dari ikatan hawa nafsu. Sebaliknya aliran Tithyas
berpendapat bahwa nafsu itu harus dimatikan dengan menghentikan fungsi
alat-alatnya. Agar mata tidak ingin melihat yang baik-baik dan indah-indah saja
maka mata dibuat buta dengan cara melihat mata hari yang sedang terik. Lidah
dibuat sampai tidak berfungsi. Ada yang sampai membakar kemaluannya agar nafsu
seksnya hilang.
Kedua aliran itu membuat umat menderita. Dalam keadaan
seperti itulah muncul Sidharta Gautama yang telah mencapai alam Buddha
memberikan pentunjuk praktis beragama. Ajarannya adalah Sila Prajnya dan
Samadhi. Sila berbuat baik sesuai dengan suara hati nurani. Suara hati nurani
adalah suara Atman. Atman adalah bagian dari Brahman. Teknis berbuat baik itu
didasarkan pada Prajnya artinya ilmu pengetahuan. Dalam berbuat baik hendaknya
bersikap konsisten dengan konsentrasi yang prima. Itulah Samadhi. Inilah inti
wacana Sidharta Gautama dalam menyelamatan umat dari perbedaan yang
dipertentangkan itu.
Setelah seratus tahun Sidharta mencapai Nirwana barulah
wacana sucinya itu dikumpulkan menjadi tiga keranjang sehingga bernama Tri
Pitaka. Jadinya keberadaan agama Buddha di Pura Goa Gajah substansinya tidaklah
berbeda apalagi berlawanan dengan ajaran Hindu Siwa Pasupata maupun Siwa
Siddhanta. Tiga corak keagamaan yang ada di Pura Goa Gajah itu memang berbeda
tetapi perbedaan itu terletak pada cara atau metodenya saja. Substansi ketiga
corak keagamaan Hindu dan Buddha yang ada di Pura Goa Gajah itu sama-sama
menuntun umat manusia untuk mencapai hidup bahagia dan sejahtera di dunia dan
mencapai alam ketuhanan di dunia niskala.
Keberadaan ciptaan Tuhan ini memang Sama Beda. Namun
yang penting adalah bagaimana cara memposisikan persamaan dan perbedaan
tersebut. Kalau persamaan dan perbedaan itu dimanajemen dengan baik maka
semuanya akan lebih produktif mendambakan hidup rukun dan damai mencapai
kehidupan yang bahagia dan sejahtera berdasarkan kebenaran dan kesucian.
Trunyan
Lokasi
|
|
Trunyan adalah sebuah desa yang
terletak di bagian lekukan tepi timur danau Batur yang datar dan melandai. Danau Batur pada
masa lampau merupakan sebuah kawah dari bagian kepundan gunung berapi gunung
Batur purba yang telah meletus beberapa ratus ribu tahun yang lalu yaitu ketika
jaman pleistosin bawah atau pleistosin awal. Kawah tersebut kemudian terisi air
berubah menjadi danau yang kini bernama danau Batur. Pada bagian barat lubang
kepundan tersebut kemudian muncul anak gunung berapi yang disebut gunung Batur
dengan ketinggian 1717 meter.
Desa Trunyan hawa udaranya sejuk karena
berada pada alam daerah pegunungan yang berada pada ketinggian 1038 meter dari
permukaan laut dengan suhu udara rata-rata diantara 18-19 derajat celcius.
Untuk mencapai desa Trunyan tersebut dapat ditempuh dengan jalan darat dari
Penelokan hanya sampai di suatu tempat di desa Kedisan lebih kurang sejauh 2
km. Selanjutnya untuk tiba di desa Trunyan harus menyeberang Danau Batur dengan
perahu motor sejauh kira-kira 5 km.
Danau Batur merupakan danau yang
terbesar di pulau Bali, bentuknya memanjang ke arah utara-selatan sepanjang
kurang lebih 9 km dengan lebar dari arah barat-timur sekitar 5 km. Dalamnya
danau Batur pada bagian tengah di depan desa Trunyan diantara 65 m-70 m. Riak
air danau Batur tenang, namun juga dapat memunculkan gelombang yang besar.
Menurut raja Purana Pura Batur, di
danau Batur terdapat Buka yaitu tempat munculnya mata air dan mengalirnya air
danau Batur menuju daerah-daerah dataran yang lebih rendah pada beberapa sungai
yang mengaliri persawahan di daerah Bali. Salah satu diantara Buka tersebut
ialah “ Tirta Mas Mampeh “ merupakan mata air yang terletak di sebelah barat
danau Batur, tempat mohon air suci pada waktu upacara keagamaan. Buka lain yang
merupakan tempat mengalirnya air danau Batur keluar namanya “ Pelisan “
tempatnya di sebelah barat danau Batur dekat desa Kedisan. Air yang keluar
tersebut menimbulkan pusaran-pusaran yang dapat menyedot siapa saja bila kurang
hati-hati.
Selain desa Trunyan, ada 4 desa
lainnya yang juga terletak di tepi danau Batur yaitu desa Songan di tepi bagian
utara, desa Abang, desa Buahan, desa Kedisan terletak di tepi bagian selatan.
Kelima desa tersebut dinamakan “ Desa Bintang Danu “. Dalam prasasti Batur Pura
Abang tahun saka 933 ( 1011 M ) yang dikeluarkan oleh raja Udayana disebutkan
dengan nama “ Karaman I Wingkang Ranu “ yang berarti penduduk desa di tepi
danau.
Pada
masa sekarang wilayah desa Trunyan termasuk bagian kecamatan Kintamani
daerah kabupaten Bangli. Dari Kintamani jauhnya sekitar 7 km dan dari Bangli
jaraknya sekitar 70 km. Daerah Trunyan terdiri dari 5 tempek ( sejenis banjar
), yaitu tempek Trunyan, tempek Madya-pangkungan, tempek Bunut, tempek Puseh,
dan tempek Mukus. Tempek Madya-pangkungan terletak di timur desa Trunyan,
demikian pula tempek Bunut, sedangkan tempek lainnya terletak di tenggara.
Nama
Nama Trunyan dan asal-usulnya dapat
diketahui berdasarkan data yang terdapat dalam beberapa sumber antara lain:
data prasasti, data mitos, dan data dalam legenda.
Prasasti yang menyebutkan nama
Trunyan antara lain terdapat dalam prasasti Trunyan AI dan Trunyan B. Prasasti
Trunyan AI yang berangka tahun saka 813 ( 891 M ) menyebutkan nama Trunyan
antara lain: banwa di Turunyan dan sanghyang di Turunyan. Prasasti Trunyan B
bertahun saka 833 ( 911 M ) juga menyebutkan beberapa kali nama Trunyan
seperti: banwa di Turunyan, sanghyang di Turunyan dan bhatara di Turunyan.
Mitos dan legenda yang menceritakan
tentang asal-usul nama Trunyan antara lain terdapat dalam cerita sebagai
berikut:
a.
Dewi
turun dari langit.
Mitos tersebut menceritakan bahwa pada jaman dahulu
ada seorang dewi turun dari sorga ke bumi karena terpikat oleh adanya bau harum
yang datang dari suatu tempat di bumi. Dewi tersebut menemukan tempat bau harum
itu yang berasal dari suatu pohon yaitu “ Taru Menyan “ yang berarti pohon
menyan. Tempat itu kemudian di beri nama Trunyan.
b.
Patung
Ratu Sakti Pancering Jagat.
Patung tersebut adalah gambaran dari wujud dewa
tertinggi yang disebut “ Ratu Sakti Pancering Jagat “. Patung dewa tertinggi
tersebut dipandang bukan dibuat oleh manusia, tetapi merupakan sebuah “ piturun
“. Piturun dimaksudkan sebagai yang “ turun “ atau yang diturunkan dari langit
ke bumi oleh para dewa. Dewa tertinggi merupakan “ Hyang Piturun “ yang
kemudian menjadi “ Turun Hyang “ dan selanjutnya menjadi nama Trunyan.
Sejarah
Sejarah desa Trunyan dapat ditelusuri berdasarkan
sumber-sumber antara lain:
1. Peninggalan
dari masa Paleolitik.
Peninggalan tersebut antara lain: kapak genggam, kapak
perimbas, pahat genggam, dan alat serut. Artefak-artefak itu diperkirakan
berasal dari masa akhir pleistosin tengah atau awal pleistosin akhir sekitar
600.000-300.000 tahun yang lalu. Peralatan tersebut digunakan untuk berburu dan
meramu serta kasar pembuatannya.
Selain di Trunyan peralatan jenis tersebut, baik tipe
maupun bahannya yang dibuat dari batu-batu vulkanik juga ditemukan di desa
Sembiran, Buleleng. Meskipun di desa Trunyan dan Sembiran tidak ditemukan
fosil, namun berdasarkan analisis perbandingan dengan temuan-temuan sejenis di
daerah lain seperti di daerah Pacitan ( Jawa Timur ) manusia pendukungnya
adalah “ Pithecanthropus Erectus”.
2. Peninggalan
dari masa Megalitik.
Peninggalan yang berasal dari tradisi Megalitik di
desa Trunyan antara lain terdapat unsur-unsurnya pada:
a.
Patung
Ratu Sakti Pancering Jagat.
Menurut para ahli seperti R.Goris dan A.J Bernet
Kempers, patung tersebut menunjukkan seni patung gaya megalitik, wajahnya lebih
menyerupai wajah patung kuno asli dan dibuat dari batu berukuran besar,
tingginya hampir 4 meter.
Meskipun demikian, bukanlah berarti bahwa patung itu
berasal dari jaman Megalitik.
b.
Pura
Bali desa Pancering Jagat Bali.
Unsur kebudayaan Megalitik yang terdapat di pura ini
adalah struktur denah pura yang berbentuk teras, yang terdiri dari 11 teras
atau halaman dan dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yang melajur dari selatan
ke utara yaitu: Tempek Semangen, Tingkih Tengah, dan Penaleman.
Tempek Semangen yang merupakan halaman luar letaknya
lebih rendah dari Tingkih Tengah yang merupakan halaman tengah. Untuk naik ke
Tingkih Tengah terdapat tangga dari batu. Penaleman yang merupakan halaman
dalam merupakan bagian utama, karena pada halaman itulah terdapat Palinggih
Meru Tumpang Pitu yang merupakan sthana dari Ratu Sakti Pancering Jagat. Pada
halaman itu, terdapat Meru Tumpang Telu yang merupakan sthana Ratu Ayu Pingit
Dalam Daa yang dipandang sebagai istri dari Ratu Sakti Pancering Jagat.
c.
Jalan
Batu Gede.
Jalan Batu Gede adalah jalan berupa tangga batu yang
disusun dari bongkahan-bongkahan batu besar yang dibuat sebagai jalan setapak
yang menghubungkan desa Trunyan dengan Tempek yang berada disebelah timurnya.
Menurut legenda, pembuatan jalan tersebut dapat
diselesaikan dalam waktu singkat berkat bantuan dari seorang yang memiliki
kekuatan yang luar biasa yang bernama Kebo Iwa.
3. Peninggalan
dari masa sejarah.
Dari masa sejarah terdapat prasasti yang terkait
dengan desa Trunyan seperti:
a.
Prasasti
Trunyan AI
Prasasti tersebut bertahun saka 813 ( 891 M ), berisi
perintah kepada penduduk desa Trunyan untuk membangun tempat suci bagi “
Bhatara Da Tonta “. Penduduk desa Trunyan diwajibkan memelihara tempat suci
tersebut dan kepada mereka dibebaskan membayar beberapa jenis pajak.
b.
Prasasti
Trunyan AII
Prasasti tersebut bertahun saka 971 ( 1049 M ),
dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu. Isinya pengukuhan kembali Prasasti Trunyan
AI yang dikeluarkan oleh pemerintah kerajaan pada tahun saka 813 ( 891 M ).
c.
Prasasti
Buahan A
Prasasti tersebut berangka tahun saka 916 ( 994 M ),
isinya menyebutkan bahwa penduduk desa Buhan wajib ambil bagian dalam
memperbaiki tempat suci di desa Trunyan.
d.
Prasasti
Trunyan B
Prasasti Trunyan B berangka tahun saka 833 ( 911 M ),
isinya yaitu kewajiban bagi penduduk
desa Air Rawang agar turut serta pada setiap bulan Bhadrawada dalam upacara
pemujaan bagi “ Bhatara Da Tonta “ dewa tertinggi di Trunyan.
Pada upacara pemujaan tersebut pemukan Air Rawang (
Sahayan Padang ) harus mensucikan Sanghyang di Trunyan dengan mengambil air
suci danau, kemudian menghiasnya dengan cincin dan permata.
e.
Prasasti
Trunyan C
Prasasti Trunyan C bertahun saka 971 ( 1049 M )
dikeluarkan pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu, isinya antara lain
menyebutkan ketentuan batas-batas wilayah desa Trunyan.
Legenda
Legenda merupakan cerita lisan yang dapat membantu dan
menambah bahan sebagai data sekunder di
dalam mengungkapkan sejarah desa Trunyan. Legenda-legenda yang berhubungan
dengan sejarah desa Trunyan, yaitu:
a.
Mitos
seorang dewi turun dari langit.
Pada jaman
dahulu turunlah seorang dewi dari langit karena tergiur oleh bau harum yang
datang dari suatu tempat di bumi. Setelah ditelusuri, bau harum tersebut
bersumber dari sebatang pohon menyan yang dinamakan “ Taru Menyan “. Semenjak
itu tempat tersebut di namakan Trunyan. Dewi tersebut selanjutnya berdiam di
Trunyan. Suatu ketika dewi itu marah dan merasa jengkel karena setiap saat
selalu dilihat dan diamati oleh sang Surya, kemudian dewi itu menungging serta
memperlihatkan alat kelaminnya. Akibatnya, secara gaib dewi itu mengandung dan
lahirlah sepasang anak kembar buncing yaitu seorang laki-laki dan adiknya
perempuan.
Setelah
anak-anaknya dewasa, dewi itu kembali ke sorga dan kedua kakak beradik itu
tinggal di Trunyan.
b.
Legenda
penemuan patung Ratu Sakti Pancering Jagat.
Penduduk di desa
Trunyan meyakini bahwa patung Ratu Sakti Pancering Jagat merupakan perwujudan
dewa Tertinggi ( Bhatara Da Tonta ). Kata Da Tonta berasal dari akar kata tu
dan awalan da ( ra ) serta akhiran nta yang berarti “ Dewa Tertinggi “ milik
kita. Patung tersebut merupakan “ piturun “ yang diturunkan dari sorga oleh
para dewa bukan dibuat oleh manusia.
Pada mulanya
patung dewa tertinggi tersebut ditemukan oleh seorang petani desa Trunyan yang
sedang berburu kijang di desa Trunyan yang waktu itu masih berupa hutan
belantara. Anjing yang menyertainya berburu secara tiba-tiba menggonggong
dengan keras ke suatu tempat dan ketika didekati ternyata yang digonggong bukan
seekor binatang mmelainkan sebuah patung berukuran kecil sekitar 10 cm
tingginya. Sungguh ajaib ketika mau diambil patung tersebut tidak dapat
terangkat oleh petani itu karena begitu kuat melekat di tanah. Segera patung
itu ditutupi dan ia pulang kembali ke desanya.
Ia segera
menceritakan kisah penemuan patung ajaib itu kepada penduduk desa lainnya. Esok
harinya banyak yang datang ke tempat penemuan ingin melihat sendiri patung
tersebut. Ajaib sekali ternyata patung tersebut sudah bertambah besar. Setiap
kali diperiksa, patung itu bertambah besar dan tinggi hingga mencapai ukuran
sekitar 4 m tingginya.
Patung ajaib itu
kemudian dibuatkan tempat khusus, semula berbentuk gedong kemudian diganti
dengan meru karena atap gedong tersebut bolong akibat ditembus kepala patung
tersebut. Awalnya meru yang dibuat
sebagai pengganti gedong beratap tumpang 11, namun 4 tingkat dari atas roboh
dan setelah diperbaiki menjadi meru bertumpang 7. Selanjutnya dibangun pura
Bali desa Pancering Jagat Bali dan di pura itulah di puja dewa Tertinggi desa
Trunyan yang disebut Bhatara Da Tonta atau Sanghyang di Trunyan.
c.
Legenda
putra Dalem Solo mencari sumber bau harum.
Bau harum yang
berasal dari desa Trunyan luar biasa harum sehingga tercium sampai ke keratin
Dalem Solo. Harumnya bau itu amat menggiurkan sehingga 4 putra-putri Dalem Solo
tertarik untuk melacaknya. Putra-putri Dalem Solo yang terakhir atau ke 4
adalah seorang perempuan.
Setelah lama
menelusuri bau harum tersebut maka tibalah mereka di daerah Bali. Bau harum itu
makin tajam tercium setelah mereka tiba di kaki selatan gunung Batur. Putri
Dalem Solo memutuskan untuk tetap tinggal di daerah itu yang sekarang bernama
Pura Batur atau Pura Ulun Danu Batur. Setelah menjadi dewi, putrid Dalem Solo
dinamakan “ Ratu Ayu Mas Maketeg “.
Ketiga anak
laki-laki putra Dalem Solo melanjutkan
perjalannya menyisir pinggir danau Batur. Setelah mereka tiba di suatu daerah
pinggir barat daya danau Batur, tiba-tiba terdengar suara burung berkicau
dengan merdunya sehingga daerah itu dinamakan Kedisan, dari asal kata kedis
yang berarti burung. Putra Dalem Solo yang termuda berteriak kegirangan karena
mendengar merdunya kicau burung tersebut. Kakak tertuanya menjadi sangat marah
dan memaksa adiknya untuk tetap tinggal disana. Adiknya menolak dan karena
emosi maka adiknya itu disepak sampai duduk bersila. Di desa Kedisan kini
terdapat sebuah pura yaitu pura Dalem
Pingit, di pura itu terdapat Meru Tumpang Pitu sthana dari “ Ratu Sakti Sang
Hyang Jero “. Di pura Pingit juga terdapat patung dalam sikap duduk bersila
yang dipandang sebagai Bhatara, yaitu putra Dalem Solo yang ketiga.
Putra Dalem Solo
yang tertua beserta adiknya yang kedua melanjutkan perjalannya, mereka menyisir
tepi sebelah timur danau Beratan kemudian tiba di suatu daerah. Di tempat itu
mereka melihat dua perempuan sedang
duduk-duduk sambil mencari kutu. Putra Dalem Solo yang kedua lalu menyapanya
dengan ramah serta merta kegirangan karena lama tidak pernah berjumpa dengan
seseorang. Tingkah laku adiknya tersebut menimbulkan kemarahan kakaknya dan
menyuruh adiknya untuk diam di tempat tersebut. Adiknya menolak perintah
kakaknya itu lalu kakaknya amat marah dan kemudian menendang adiknya sampai
jatuh tertelungkup atau melingkuh. Kemudian kakaknya melanjutkan perjalannya
sendirian dan membiarkan adiknya tinggal di tempat tersebut yang nantinya
menjadi kepala desa disana. Desa itu kemudian disebut Dukuh Abang yang berasal
dari kata melingkuh. Dahulu di tempat tersebut terdapat sebuah tempat suci yang
diperuntukkan bagi putra Dalem Solo yang kedua tersebut yang setelah menjadi
dewa dinamakan “ Ratu Sakti Dukuh “ dan di tempat suci itu juga terdapat sebuah
patung Bhatara dari batu dalam sukap melingkuh yang dipandang sebagai
perwujudan putra Dalem Solo yang kedua tersebut. Teramat sayang karena patung
bersama tempat sucinya telah tertimbun tanah akibat tersapu banjir lahar pada
tahun 1963 ketika gunung Agung meletus.
Putra Dalem Solo
yang tertua kini sendirian menyusuri tepi danau Batur menuju kearah utara.
Setelah menempuh perjalanan yang teramat sulit, maka tibalah ia di suatu daerah
yang merupakan sumber dari adanya bau harum. Sumber bau tersebut ternyata
berasal dari sebatang pohon menyan “ taru menyan “. Putra Dalem Solo tersebut
berjumpa dengan seorang dewi yang cantik jelita sedang sendirian di bawah pohon
menyan itu. Putra Dalem Solo tergerak hatinya melihat kemolekan dewi itu, ia
merasakan ada asmara dan cinta. Mereka berdua saling merasakan rasa rindu,
cinta, dan akhirnya memadu kasih seperti layaknya orang yang sudah berkeluarga.
Setelah itu, putra Dalem Solo datang ke tempat kakak dewi tersebut serta
menyatakan bahwa dirinya jatuh cinta pada adiknya dan akan melamar untuk
dikawininya.
Lamaran putra
Dalem Solo tersebut dapat diterima asalkan ia bersedia diangkat menjadi “
Pancer ing Jagat “ Trunyan yang berarti menjadi pemimpin ( pancer ) di desa (
jagat ) Trunyan. Persyaratan itu disanggupi oleh putra Dalem Solo dan segara
dilaksanakanlah upacara perkawinannya. Dewi yang dikawini putra Dalem Solo
tersebut ialah dewi yang merupakan kembar buncing yang terlahir dari seorang
ibu yaitu dewi yang turun dari langit yang secara gaib dibuahi oleh dewa
Matahari. Semenjak itu putra Dalem Solo disebut Abiseka sebagai seorang raja
yaitu “ Ratu Sakti Pancering Jagat “. Istrinya disebut “ Ratu Ayu Pingit Dalem
Dasar “ dan dianggap sebagai penguasa danau Batur yaitu sebagai “ dewi Danu “.
Beliau menguasai danau Batur bersama putranya yang bernama “ Ratu Gede Dalem
Dasar “.
Bau harum yang
keluar dari pohon menyan masih saja tercium dan dapat memikat perhatian
orang-orang diluar desa Trunyan untuk datang kesana. Ratu Sakti Pancering Jagat
sangat kuatir akan hal tersebut karena orang-orang luar sewaktu-waktu bisa saja
menyerbu desa Trunyan, iri, terpesona oleh adanya bau harum itu.
Untuk
menetralisir adanya bau harum tersebut, Ratu Sakti Pancering Jagat segera
mengambil tindakan, yaitu melarang jasad atau mayat penduduk desa dikebumikan.
Orang yang meningggal mayatnya harus ditempatkan dalam lubang kuburan tanpa
ditutupi atau ditimbun dengan tanah serta membiarkannya membusuk dalam alam
terbuka.
Semenjak itu,
desa Trunyan tidak lagi mengeluarkan bau yang harum dan sebaliknya mayat orang
Trunyan yang ditempatkan dalam lubang kuburan yang terbuka tidak mengeluarkan
bau busuk.
Di pura Bali
desa Pancering Jagat Bali pada halaman jeroan terdapat meru tumpang 7
dengan sebuah patung peninggalan tradisi
Megalitik. Patung tersebut dipandang sebagai wujud dari Ratu Sakti Pancering
Jagat. Dari segi kebudayaan tampak wujud patung tersebut identik dengan konsep
phallus atau lingga. Adapun lubang yang terdapat di dalam meru tumpang 3 pada
halaman jeroan yang merupakan sthana dari Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar identik
dengan konsep vulva atau yoni. Bila lingga dan yoni dipersatukan dalam upacara,
maka akan menjadi kesuburan atau kemakmuran.
Sistem
Religi
Salah satu unsur pokok dalam sistem religi orang-orang Trunyan adalah
mengenai sistem kepercayaannya. Diantara
sistem kepercayaan tersebut terdapat kepercayaan yang sangat unik yang
merupakan ciri khas kebudayaan Trunyan, yaitu:
a.
Cara
penguburan orang Trunyan.
Berdasarkan
tradisi, orang Trunyan mempunyai dua jenis cara penguburan, yaitu:
1.
Mepasah.
Yaitu penguburan mayat dengan cara meletakkan jenasah pada lubang
kuburan yang dalamnya sekitar 20 cm tanpa ditimbun dengan tanah.
2.
Metanem.
Yaitu penguburan mayat dengan cara meletakkan
jenasah dalam lubang kuburan dengan ditimbuni tanah.
Berdasarkan
faktor-faktor tersebut, maka di desa Trunyan terdapat tiga jenis kuburan yang disebut sema atau sentra, yaitu:
1. Sema Wayah.
Sema
wayah letaknya 400 meter disebelah utara desa Trunyan yang dapat dicapai hanya
dengan pedau atau sampan. Di bagian utara sema wayah tersebut terdapat pura
Dalem yang dipandang sebagai gerbang menuju sorga, bagi roh seseorang yang
telah disucikan melalui upacara ngaben. Sema itu hanya digunakan untuk jenasah
yang dikuburkan dengan cara mepasah. Mepasah dilakukan bagi orang-orang yang
ketika matinya telah bersuami atau beristri, masih bujangan, dan anak-anak yang
telah meketus ( anak yang gigi susunya telah tanggal ). Mereka harus mati
secara wajar.
Cara
penguburan mepasah juga disebut dengan istilah lain yaitu exposure, penguburan dengan menaruh jenasah di atas tanah dalam
alam terbuka. Di sema wayah terdapat 7
liang lahat untuk para pedulu atau penghulu, letaknya disebelah luar dan 5
liang lahat lagi berjejer terletak di belakangnya yaitu untuk orang biasa.
Liang-liang lahat tersebut dibatasi dengan ancak saji ( sejenis bagar bamboo
yang ujung-ujungnya meruncing ).
Bila
liang lahat tersebut sudah penuh dengan mayat lama kemudian ada jenasah baru
yang akan dikubur, maka jenasah yang lama dinaikkan dari liang lahat dan
diletakkan pada pinggir lubang yang berisi jenasah baru. Oleh karena itulah
terlihat banyak tengkorak berjejer bagaikan sedang dipamerkan. Hal tersebut
justru merupakan hal yang menarik bagi para pengunjung, khususnya bagi para
wisatawan.
2. Sema Bantas.
Sema
bantas terletak di sebelah selatan desa Trunyan, yaitu pada suatu daerah yang
terletak diantara lekukkan atau Belongan Cimelandung dan desa Abang. Jenasah
yang dimakamkan disana diletakkan dalam lubang kuburan dan selanjutnya diurug
atau ditimbun dengan tanah.
Sema
bantas digunakan bagi jenasah seseorang yang mati secara tidak wajar seperti
salah pati ( dibunuh, kecelakaan, jenasah tidak utuh atau terdapat luka yang
belum sembuh karena penyakit cacar atau lepra ). Demikian juga bagi jenasah
yang mati karena angulah pati, yaitu mati karena bunuh diri.
Sema
bantas selain digunakan untuk mengubur jenasah orang mati karena mati tidak
wajar tersebut juga dipakai untuk mengubur jenasah bayi yang belum meketus
dengan cara tidak ditimbuni tanah, akan tetapi ditimbuni dengan batu.
3. Sema Nguda.
Sema
nguda terdapat di suatu lekukan yang agak sempit di daerah antara sema wayah
dan belongan Trunyan. Sema tersebut digunakan untuk dua jenis penguburan baik
dengan cara mepasah maupun metanem.
Jenasah yang dikubur dengan cara
mepasah di sema nguda adalah khusus untuk orang-orang yang belum kawin dan
anak-anak yang sedah meketus. Sedangkan bagi jenasah anak-anak yang belum
meketus dikubur dengan cara metanem.
b.
Kepercayaan
terhadap Betara Berutuk.
Betara Berutuk diyakini sebagai simbol atau wujud
nyata dari Ratu Sakti Pancering Jagat, permaisurinya yaitu Ratu Ayu Pingit
Dalem Dasar, kakak Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar serta tokoh-tokoh lainnya yang
tidak lagi diketahui identitasnya.
Dari
segi seni pentas Betara Berutuk termasuk seni drama suci karena dipentaskan
pada saat upacara “ Saba Gede “ yang merupakan upacara terbesar di desa Trunyan
yang dipersembahkan kepada “ Ratu Sakti
Pancering Jagat “. Saba Gede tersebut
dilaksanakan pada bulan purnama Sasih Kapat, sehingga upacara Saba Gede
dinamakan pula upacara Purnama Kapat yang jatuh pada bulan Oktober. Adapun
Purnama Kapat yang digunakan dalam pementasan drama suci tersebut, yaitu
Purnama Kapat yang dinamakan “ Kapat Lanang “.
Selain Kapat Lanang dalam Purnama Kapat terdapat pula
upacara yang disebut “ Kapat Wadon “. Kapat Lanang dan Kapat Wadon dilakukan
secara bergilir dalam putaran waktu setahun sekali dengan mengutamakan
palaksanaan Kapat Lanang.
Pembagian Purnama Kapat menjadi Kapat Lanang dan Kapat
Wadon sesuai dengan konsep rwa bhineda ( dualisme ) yang melandasi pola hidup
orang Trunyan, sehingga struktur desa Trunyan dibagi menjadi dua bagian yang
tak terpisahkan yang terdiri dari dua Sibak atau Paruh yang disebut Sibak Luh
atau Sibak Istri ( Paruh Perempuan ) dan Sibak Muani atau Sibak Lanang ( Paruh
Laki-laki ). Dalam hubungannya dengan kepercayaan terhadap Betara Berutuk,
penduduk desa Trunyan yang tergolong kedalam Sibak Muani menjadi iringan Betara
Lanang yaitu Ratu Sakti Pancering Jagat dan yang termasuk Sibak Luh menjadi
iringan Betara Istri yaitu Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar.
Pada upacara Kapat Wadon tidak diadakan pementasan
drama suci Betara Berutuk dan pada saat tersebut hanya diadakan upacara member
warna wastra ( kain tenun asli Trunyan )
yang aslinya berwarna putih agar menjadi oranye. Bila pementasan drama suci
Betara Berutuk pelakunya terutama para teruna atau remaja laki-laki, maka pada
upacara pewarnaan wastra dilakukan oleh debunga yaitu remaja perempuan.
Bila fungsi pementasan drama suci Betara Berutuk
bertujuan untuk mendatangkan kesuburan, maka fungsi pewarnaan wastra bertujuan
untuk menguji keperawanan seorang debunga.
Aspek kesuburan yang merupakan fungsi pementasan drama
suci Betara Berutuk ternyata secara simbolik dibeberkan dalam puncak
pementasan, yaitu ketika Ratu Sakti Pancering Jagat berusaha memegang Ratu Ayu
Pingit Dalem Dasar yang kemudian dalam posisi berdiri memeluk tubuhnya serta
kaki kanannya menjepit pinggulnya sehingga Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar berdiri
dalam posisi seperti mengangkang. Posisi yang sedemikian itu tampak seperti
ingin menggambarkan adanya suatu persentuhan erotis antara seorang suami dengan
istrinya.
Persentuhan erotis secara simbolik antara Ratu Sakti
Pancering Jagat dengan Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar dalam pementasan drama suci
Betara Berutuk diyakini dapat mendatangkan kesuburan karena hujan akan turun,
pertanian berhasil sehingga penduduk desa Trunyan akan hidup makmur. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa pementasan drama suci Betara Berutuk merupakan
kelanjutan dari tradisi Megalitik, yaitu
upacara pemujaan ternadap potensi kesuburan yaitu phalus ( simbol potensi
laki-laki ) dan vulva ( simbol potensi
perempuan ).
Nama Betara Berutuk berasal dari perpaduan kata Betara
dan baru tuwuk. Kata tuwuk berarti sentuh, senggol, temu, sehingga baru tuwuk
berarti bersentuhan, bersenggolan atau bertemu. Kata baru tuwuk itu kemudian
menjadi kata Berutuk. Kata Betara menunjukkan bahwa pementasan drama suci
Betara Berutuk disebut Ilen-ilen Betara.
Sehubungan
dengan pelaksanaan upacara Saba
Gede tersebut terdapat sebuah legenda yang menceritakan tugas suci yang
sepatutnya dilaksanakan oleh penduduk desa Trunyan, yaitu tugas untuk
melaksanakan meurup-urup.
Agar dapat diketahui dasarnya mengapa penduduk desa
Trunyan melakukan tugas suci itu, berikut akan diuraikan mengenai legenda
tersebut.
Legenda Tentang Tugas Meurup-urup
Dalem Solo selain mempunyai 4 orang
anak yang tinggal di desa Trunyan dan desa-desa disekitarnya, beliau juga
mempunyai putra lainnya yang tinggal di Tirta Empul, Tampak Siring, dan
Gianyar. Konon pada suatu hari putranya itu pergi ke Majapahit untuk meminta
agar Dalem Solo memberikan seperangkat gamelan kepadanya. Oleh karena gamelan
yang diinginkan tidak ada, maka ayahnya tersebut akan menitipkan gamelan yang
diinginkan kemudian. Mendengar ucapan tersebut, putra Dalem Solo akhirnya
kembali ke Tirta Empul.
Selanjutnya putra Dalem Solo yang telah menjadi penguasa di desa
Trunyan,
yaitu Da Tonta dengan gelar Ratu Sakti Pancering Jagat mengirim utusan
ke Majapahit untuk maksud yang sama,
yaitu mohon bantuan seperangkat gamelan kepada ayahandanya. Utusan tersebut
kemudian dititipi gamelan yang baru selesai dibuat dengan pesan agar gamelan
tersebut diberikan kepada putranya yang di Tirta Empul, sedangkan gamelan untuk
Da Tonta belum tersedia dan akan segera disusul. Untuk Da Tonta hanya diberikan
labu kuning sebagai oleh-oleh yang katanya di dalamnya ada kerbau-kerbau yang
baru boleh dibelah bila tiba di Trunyan dan kerbau-kerbaunya dapat digunakan
untuk disembelih pada upacara Odal.
Setelah cukup lama dalam perjalanan,
utusan Da Tonta yang bernama Ki Pasek Trunyan tiba di daerah Mengwi. Merasa
penasaran ingin segera mengetahui apa betul buah labu kuning yang berukuran
kecil di dalamnya dapat menampung kerbau-kerbau yang ukurannya berlipat ganda
besarnya jika dibandingkan dengan besarnya sebuah labu kuning. Maka dibelahlah labu kuning tersebut dan
betapa herannya Kii Pasek Trunyan, sebab
kerbau-kerbau yang dimaksud segera keluar dari dalam labu tersebut lari
berhamburan tanpa dapat ditangkap.
Ki Pasek Trunyan merasa bersalah, sehingga
ia tidak menyerahkan gamelan titipan Dalem Solo kepada putranya di Tirta Empul
akan tetapi menyerahkannya kepada Da Tonta di Trunyan.
Putra Dalem Solo yang di Tirta Empul
merasa risau karena sudah cukup lama menunggu gamelan yang dipesan dahulu. Kemudian
beliau pergi ke Majapahit untuk menanyakan mengapa ia belum diberi gamelan oleh
ayahnya. Dalem Solo merasa ada kejanggalan karena gamelan tersebut telah
dititipkan dengan perantara seorang utusan yang diutus oleh putranya Da Tonta.
Agar masalah gamelan menjadi jelas,
maka Dalem Solo bersama putranya itu langsung menanyakan masalah gamelan
tersebut ke Trunyan. Setelah tiba di Trunyan, Dalem Solo menanyakan masalah
gamelan yang dititipkannya kepada Ki Pasek Trunyan. Ki Pasek Trunyan menjawab
bahwa gamelan yang dititipkan padanya telah jatuh di danau Batur. Mendengar
pengakuan tersebut Dalem Solo menjadi sangat marah dan mengatakan bahwa
putranya Da Tonta harus ikut bertanggung jawab seraya member hukuman kepada
rakyat Da Tonta, yaitu orang Trunyan agar setiap menjelang Saba Gede melakukan tugas
meurup-urup ke daerah-daerah di luar desa Trunyan.
Pura Besakih
Pura
Besakih terletak di Barat Daya Gunung Agung, desa Besakih, Kecamatan Rendang,
Kabupaten Karangasem. Kira-kira 90 km arah Timur Laut kota Denpasar. Di
ketinggian 1000 m dari permukaan air laut, dengan 298 buah bangunan dalam 18
buah komplek pura, merupakan pura terbesar di Bali, bahkan di Indonesia.
Terhampar di kaki Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali yang tingginya
mencapai 3142 m.Kata "Besakih" berasal dari kata "Basuki"
yang berarti 'selamat' berkembang menjadi Basukir dan Basukih, trus menjadi
Besakih. Nama tersebut terdapat dalam 2 prasasti yang disimpan di Gedong
Penyimpenan di Natar Agung, sebuah prasasti di Merajan Selonding dan sebuah
lagi di Pura Gaduh Sakti di desa Selat. Sejarah Pura Besakih berhubungan dengan
perjalanan Sri Markandeya (seorang Brahmana Siwa) dari Gunung Raung, daerah
Basuki, Jawa Timur. Rombongan beliau terpaksa kembali ke Jawa karena banyak
yang meninggal terserang penyakit.
Setelah mendapat petunjuk di Gunung Raung, beliau
kembali ke Bali dan mengadakan penanaman Panca Datu (5 jenis logam yaitu emas,
perak, besi, tembaga dan permata) di lereng Gunung Agung yang kemudian dikenal
dengan Pura Basukian.Pada zaman dahulu, Pura Besakih langsung ditangani oleh
penguasa daerah Bali. Disebutkan Sri Wira Dalem Kesari yang membuat Merajan
Selonding (sekitar tahun 250 M), kemungkinan beliau adalah Raja Kesari
Warmadewa yang memerintah sekitar tahun 917. Prasastinya terdapat di Malet
Gede, di Pura Puseh Panempahan dan di Belanjong. Pada zaman pemerintahan Sri
Udayana Warmadewa, pura ini mendapat perhatian besar, seperti terdapat dalam
prasasti Bradah, dan prasasti Gaduh Sakti. Dalam lontar Jaya Kesunu disebutkan
Raja Sri Jayakesunu memerintahkan memasang penjor pada Hari Raya Galungan
sebagai lambang Gunung Agung. Pada zaman Sri Kresna Kepakisan, seperti terdapat
dalam lontar raja Purana Besakih tentang upacara, nama pelinggih, tanah wakaf
(pelaba), susunan pengurus, tingkatan upacara diatur dengan baik.
Fungsi umum pura ini adalah sebagai tempat bagi
umat Hindu untuk memohon keselamatan (sesuai dengan nama pura). Pada waktu
Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada setiap Bulan Purnama sasih kedasa (bulan
Oktober) setiap tahunnya, seluruh umat Hindu datang berduyun-duyun untuk
menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Di pura ini juga diadakan upacara Panca
Wali Krama setiap 10 tahun sekali, dan yang terbesar adalah upacara Eka Dasa
Ludra setiap 100 tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir dilaksanakan
tahun 1973, sayangnya saya belum lahir dan mungkin seumur hidup saya tak akan
bisa menyaksikan upacara ini secara langsung.
Terdapat 18 komplek pura yaitu :
1.Pura
Pesimpangan
2.Pura Dalem Puri
3.Pura Manik Mas
4.Pura Bangun Sakti
5.Pura Ulun Kulkul
6.Pura Merajan Selonding
7.Pura Gua
8.Pura Banua
9.Pura Merajan Kanginan
10.Pura Hyang Haluh
11.Pura Basukian
12.Pura Kiduling Kreteg
13,Pura Batu Madeg
14.Pura Gelap
15.Pura Penataran Agung
16.Pura Pengubengan
17.Pura Tirtha
18.Pura Peninjoan
2.Pura Dalem Puri
3.Pura Manik Mas
4.Pura Bangun Sakti
5.Pura Ulun Kulkul
6.Pura Merajan Selonding
7.Pura Gua
8.Pura Banua
9.Pura Merajan Kanginan
10.Pura Hyang Haluh
11.Pura Basukian
12.Pura Kiduling Kreteg
13,Pura Batu Madeg
14.Pura Gelap
15.Pura Penataran Agung
16.Pura Pengubengan
17.Pura Tirtha
18.Pura Peninjoan
Selain ke-18 komplek pura tersebut, juga ada komplek Pura Padharman untuk pemujaan kelompok keturunan tertentu di Besakih. Komplek Pura Besakih sangat luas, dengan pemandangan Gunung Agung yang hijau, sangat indah. Kita benar-benar kagum dengan warisan leluhur kita serta semua anugerah Tuhan. Tempat ini benar-benar bagus untuk mencari ketenangan serta mendekatkan diri dengan Tuhan.
Secara Filosofi
Keberadaan fisik
bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat bersemayamnya Tuhan,
menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di
dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah
gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam
Arwah, Alam Para Dewata, yang
menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah
kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat
manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis.
Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam
perkembangannya mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi:
1.
Sistem pengetahuan,
2.
Peralatan hidup dan teknologi,
3.
Organisasi sosial kemasyarakatan,
4.
Mata pencaharian hidup,
5.
Sistem bahasa,
6.
Religi dan upacara, dan
7.
Kesenian.
Ketujuh unsur kebudayaan itu
diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya
material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang
sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap
fungsional.
Fungsi
Pura Besakih
PURA
Besakih, pura terbesar di Bali, memiliki kedudukan amat utama dalam kehidupan
beragama Hindu di Bali. Pura tempat dilangsungkannya upacara Panca Bali Krama
tiap 10 tahun dan upacara Eka Dasa Rudra tiap 100 tahun ini memiliki banyak
fungsi. Ada lima fungsinya yang paling utama.
Pertama, sebagai huluning Bali Rajya. Dalam Lontar Padma
Bhuwana, Pura Besakih dinyatakan sebagai huluning Bali Rajya, hulunya daerah
Bali. Pura Besakih sebagai kepalanya atau menjadi jiwanya pulau Bali. Hal ini
sesuai dengan letak Pura Besakih di bagian timur laut Pulau Bali. Timur laut
adalah arah gunung dan arah terbitnya matahari dengan sinarnya sebagai salah
satu kekuatan alam ciptaan Tuhan yang menjadi sumber kehidupan di bumi. Pura
Besakih adalah hulunya berbagai pura di Bali.
Pura Penataran Agung hulunya Pura Desa di desa pakraman.
Pura Basukian hulunya Pura Puseh, Pura Dalem Puri hulunya Pura Dalem di tiap
desa pakraman di Bali. Pura Pesimpangan dengan Pelinggih Limas Catu yaitu
Pelinggih Gedong dengan.atapnya lancip sebagai hulunya palinggih Pesimpangan
Besakih yang umumnya ada di tiap merajan gede keluarga di Bali. Pura Ulun
Kulkul hulunya kulkul di Bali. Pura Jenggala hulunya Pura Prajapati di Bali.
Demikian seterusnya, berbagai kompleks di Pura Besakih sebagai hulu berbagai
pura di Bali.
Kedua, Pura Besakih sebagai pura Rwa Bhineda. Dalam konsep Rwa
Bhineda, Tuhan dipuja sebagai pencipta dua unsur alam semesta yaitu unsur
purusa dan unsur pradana. Purusa artinya jiwa, pradana artinya badan material.
Semua makhluk hidup tercipta dari dua unsur tersebut. Demikian juga alam
semesta berputar sesuai dengan hukum alam (rta) karena adanya dua unsur
tersebut. Tuhan sebagai jiwa alam semesta disebut Brahman. Sedangkan Tuhan
sebagai jiwa makhluk hidup disebut Atman.
Pura yang tergolong pura Rwa Bhineda adalah Pura Besakih
sebagai Pura Purusa dan Pura Batur sebagai Pura Pradana. Kalau purusa kuat
bertemu dengan pradana maka pencitaan akan terus berlanjut dengan baik.
Pemujaan Tuhan di Pura Purusa dan Pradana untuk memotivasikan umat manusia agar
mengupayakan kehidupan yang seimbang antara kehidupan mental spiritual dan
kehidupan fisik material.
Bangunan yang paling utama di Pura Besakih adalah
Pelinggih Padma Tiga yang terletak di Penataran Agung. Pelinggih Padma Tiga itu
terdiri atas tiga bangunan berbentuk padmasana berdiri di atas satu altar. Di
Pelinggih Padma Tiga ini, menurut Piagam Besakih, Tuhan dipuja sebagai Sang
Hyang Tri Purusa (Tiga Manifestasi Tuhan sebagai jiwa alam semesta). Tri
artinya tiga dan purusa artinya jiwa. Tuhan sebagai Tri Purusa adalah jiwa
agung tiga alam semesta. Sebagai jiwa Bhur Loka alam bawah Tuhan disebut Siwa
atau Iswara. Sebagai jiwa dan alam tengah atau Bhuwah Loka, Tuhan disebut Sadha
Siwa dan sebagai jiwa agung alam atas atau Swah Loka; Tuhan disebut Parama Siwa
atau Parameswara.
Bangunan padma paling kanan sebagai sarana memuja Sang
Hyang Parama Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa Swah Loka. Bangunan ini biasa
dihiasi busana hitam. Karena, alam yang tertinggi (swah-loka) tak terjangkau
sinar matahari, sehingga berwarna hitam. Warna hitam dalam konsep Tri Murti
sesungguhnya hijau simbol Dewa Wisnu. Bangunan padma yang terletak di tengah
adalah lambang pemujaan terhadap Sang Hyang Sadha Siwa, artinya, Tuhan yang
menjiwai Bhuwah Loka (alam tengah) dengan busana putih. Warna putih adalah
lambang akasa atau alam atmosfis.
Bangunan padma bagian kiri lambang pemujaan Sang Hyang
Siwa yaitu Tuhan Sebagai Jiwa Bhur Loka dengan busananya merah. Di Bhur Loka
inilah Tuhan meletakkan ciptaan-Nya berupa stavira (tumbuh-tumbuhan), janggama
(hewan) dan manusia. Pelinggih Padma Tiga sebagai sarana pemujaan Tuhan sebagai
jiwa Tri Loka (Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka). Hal ini menyebabkan Pura
Besakih sebagai Pura Purusa dalam konsep Pura Rwa bhineda. Purusa dan pradana
sering dipersepsikan dalam posisi laki dan perempuan atau positif dan negatif.
Dalam konsepsi Rwa-bhineda, Pura Besakih sebagai Pura Purusa sedangkan Pura
Batur sebagai Pura Predana.
Ketiga, sebagai pura Sad Winayaka. Pura yang didirikan
berdasarkan konsepsi Sad Winayaka itu melahirkan Pura Sad Kahyangan di Bali.
Sedikitnya ada sembilan lontar yang menyatakan keberadaan Sad Kahyangan di Bali
itu berbeda-beda. Namun, Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama
Hindu menetapkan Sad Kahyangan yang dijadikan pegangan di Bali adalah menurut
Lontar Kusuma Dewa. Alasannya, Sad Kahyangan itu dibangun saat Bali masih satu
kerajaan. Setelah Bali menjadi sembilan kerajaan, masing-masing kerajaan
memiliki sad kahyangan menurut pandangan masing-masing kerajaan. Hal itu tidak
keliru karena itu merupakan kedaulatan masing-masing kerajaan. Pendirian Pura
Sad Kahyangan itu untuk memotivasikan umat secara spiritual agar melestarikan
Sad Kertih yaitu Atma Kertih (penyucian jiwa Atman), Samudra Kertih (menjaga
kelestarian laut), Wana Kertih (menjaga kelestarian hutan), Danu Kertih
(menjaga kelestarian sumber-sumber air), Jagat Kertih (menjaga kualitas
kehidupan bersama yang dinamis harmonis dan produktif), Jana Kertih (menjaga
kehidupan individual yang berkualitas).
Keempat, sebagai pura Padma Bhuwana sebagaimana telah
dinyatakan, Bali sebagai Padma Bhuwana oleh Mpu Kuturan. Artinya Bali sebagai
simbol alam semesta stana Tuhan Yang Mahaesa. Keberadaan Tuhan di seluruh alam
semesta ini di Bali divisualisasikan ke dalam wujud sembilan pura yang ada di
sembilan penjuru angin Pulau Bali. Seluruh penjuru alam semesta itu adalah
sembilan arah yaitu di Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat,
Barat Laut, Utara dan Tengah. Pura yang didirikan di sembilan arah mata angin
itu melambangkan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana. Tidak ada bagian alam ini
tanpa kehadiran Tuhan.
Kelima, sebagai lambang Alam Bawah dan Alam Atas. Pura Besakih
adalah simbol alam semesta. Kompleks pura di Luhuring Ambal-Ambal lambang alam
atas (Sapta Loka). Kompleks pura di Soring Ambal-Ambal adalah lambang Alam
Bawah (Sapta Patala). Pura Besakih sebagai lambang bhuwana divisualisasikan
dalam berbagai dimensi alam semesta. Ada yang divisualisasikan sebagai Ider
Bhuwana, Tri Bhuwana dan Sapta Loka. I
Ketut Wiana.
Pura Taman Ayun
Pura Taman Ayun merupakan salah satu warisan dari
dinasti kerajaan Gelgel ini dapat dikatakan memiliki nilai historis yang unik.
Pembangunan pura yang digagas oleh Ida Tjokorda Sakti Blambangan atau I Gusti
Agung Ngurah Made Agung pada awal abad ke-17 M ini memiliki sebuah konsep
pemersatu. Pada masa itu, pura ini difungsikan sebagai tempat berkumpulnya
masyarakat Mengwi yang memiliki berbagai latar belakang yang berbeda, baik itu
kasta maupun aliran keagamaan untuk bersatu dan menghadap raja. Persatuan dari
berbagai keragaman pun bukan hanya dijunjung sebagai konsep pura ini saja,
tetapi juga terlihat jelas dari arsitekturnya yang merupakan gabungan dari gaya
Majapahit, Cina dan Bali.
Taman Ayun berarti Taman
yang Indah. Pura ini terletak di desa Mengwi, Kabupaten Badung. Lokasinya yang
agak menyendiri, menjauh dari kebisingan kota membuat pura ini tampil sangat
asri dan elok, sekitar 18 kilometer barat laut kota Denpasar dan merupakan salah satu
dari pura-pura yang terindah di Bali. Halaman pura ditata sedemikian indah dan
dikelilingi kolam ikan yang dibangun tahun 1634 oleh Raja Mengwi saat
itu I Gusti Agung Anom yang dihiasi oleh meru – meru yang
menjulang tinggi dan megah diperuntukkan baik bagi leluhur kerajaan maupun bagi
para Dewa yang beistana di Pura-pura lain di Bali.
Pura Taman Ayun adalah Pura lbu
(Paibon) bagi kerajaan Mengwi. Setiap 210 hari tepatnya setiap “Selasa Kliwon Medangsia”
(Menurut perhitungan tahun Saka) segenap masyarakat Mengwi merayakan piodalan
selama beberapa hari memuja Tuhan dengan segala manifestasinya. Hal
ini sesuai dengan isi Babad Mengwi dan keberadaan struktur bangunan candi,
terutama candi yang terletak di daerah ketiga (Jeroan). Menurut Astadewata,
Allah khusus dipuja di Pura Taman Ayun adalah Tuhan dalam manifestasi sebagai
Tuhan Wisnu yang istananya terletak di puncak gunung Mangu.
Kompleks
Pura dibagi menjadi empat halaman yang berbeda, yang satu lebih tinggi dari yang lainnya.
Halaman Pertama disebut dengan Jaba yang bisa dicapai hanya dengan melewati satu-satunya
jembatan kolam dan Pintu gerbang. Begitu masuk di sana ada tugu kecil untuk
menjaga pintu masuk dan di sebelah kanannya terdapat bangunan luas (wantilan)
dimana sering diadakan sabungan ayam saat ada upacara.Di halaman ini, juga
terdapat tugu air mancur yang mengarah ke sembilan arah mata angin. Sambil menuju ke halaman
berikutnya, di sebelah kanan jalan terdapat sebuah komplek pura kecil dengan
nama Pura Luhuring Purnama.
Areal ke tiga atau Halaman ke dua, posisinya lebih tinggi dari
halaman pertama untuk masuk ke halaman ini, pengunjung harus melewati pintu
gerbang kedua. Begitu masuk, pandangan akan tertuju pada sebuah bangunan
Aling-aling “Bale Pengubengan” (balai yang bersifat negatif, dimana di dalam Pura juga nanti ada
yang besifat positif,) yang dihiasi
dengan relief menggambarkan “Dewata Nawa Sanga”, (9 Dewa penjaga arah mata
angin).Di sebelah timur halaman ini ada satu Pura kecil disebut Pura Dalem
Bekak, sedangkan di pojok sebelah barat terdapat sebuah Balai Kulkul menjulang
tinggi. Kulkul adalah alarm dan alat komunikasi Tradisional masyarakat)
menjulang tinggi
Areal ke empat atau halaman terakhir adalah yang tertinggi dan yang
paling suci. Pintu gelung yang paling tengah akan dibuka di saat ada upacara,
tempat ke luar masuknya arca dan peralatan upacara lainnya. Sedangkan Gerbang
yang di kiri kananya adalah untuk keluar masuk kegiatan sehari-hari di pura
tersebut.
Pura Taman Ayu memiliki beberapa meru
menjulang tinggi dengan berbagai ukuran dan bentuk. Tiga halaman dari Pura ini
melambangkan tiga tingkat kosmologi dunia, dari yg paling bawah adalah tempat atau dunianya manusia, ke
tingkat yang lebih suci yaitu tempat bersemayamnya para dewata, serta yang
terakhir melambangkan Sorga tempat berstananya Tuhan Yang Maha Esa. Seperti
dikisahkan dalam cerita kuno Adhiparwa , keseluruhan kompleks pura
menggambarkan Gunung Mahameru yang mengapung di tengah lautan susu Berdasarkan
kosmologi Hindu Bali, pura Taman Ayun ini terbagi menjadi tiga bagian, yang
masing-masing adalah Swahloka yang merupakan tempat pemujaan kepada para Dewa
dan leluhur, Bhurloka atau Madya Mandala sebagai tempat manusia biasa berada
dan Bhuwahloka atau Nista Mandala yang merupakan sebuah representasi dari
sebuah tatanan sosial. Berdasarkan konsepsi inilah mengapa Taman Ayun disebut
sebagai perwujudan Padma Mandala.
Pura
Taman Ayun pun setidaknya memiliki dua
puluh sembilan pelinggih dengan berbagai bentuk yang
masing-masing mengarah pada Gunung Agung sebagai pusat Padma-nya (teratai). Dalam lontar Usana Bali menyebutkan dari salah
satu Dewa Catur Lokapalas melaksanakan ibadah adalah Meru Pucak Pangelengan
yang merupakan bangunan candi dengan atap bertingkat sembilan. Pitara Allah
adalah dewa jiwa suci leluhur yang juga disebut sebagai nama lain dari Hyang
Pitara atau Dewa Hyang. Pitara Allah wajib disembah oleh pewaris klan (Prati
Sentana) dalam bentuk upacara di pura yang artinya sama dengan dengan upacara
kepada dewa. Keberadaan menyembah kepada Pitara Allah di Pura Taman Ayun dapat
dicari dan dibuktikan oleh sesuai dengan keberadaan bangunan candi yang
terletak pada deretan di timur oleh yang disebut Paibon yang mewakili Candi
Khusus. Pura Taman Ayun dalam kapasitas atau statusnya sebagai altar khusus
untuk keluarga Raja Mengwi Istana atau sebagai Merajan Agung dari Mengwi
Keluarga Raja khusus untuk pendiri Kekaisaran Mengwi yang I Gusti Agung Putu.
Pura Taman Ayun memiliki konsepsi religi
tersendiri. Sebagai perwujudan Padma Mandala dalam konsepsi Hindu, Taman Ayun
adalah sebuah kemudahan bagi masyarakat Hindu Mengwi. Mereka yang ingin
sembahyang di pura-pura besar seperti pura Besakih atau Batukaru tetapi tidak
mampu, cukup sembahyang saja di Taman Ayun. Kemudahan-kemudahan ini dihadirkan
karena pada zaman dahulu, sangat sulit bagi masyarakat Mengwi untuk dapat
mengunjungi pura-pura besar di pulau Bali.Candi adalah penyawangan, atau tempat untuk menyembah situs suci lainnya, dengan kuil untuk menyembah gunung
puncak Bali Agung,
Batukau dan Batur,
serta kuil untuk Pura
Sada, candi lain
yang penting di Mengwi. Berbeda dengan sebagian besar candi di Bali, orientasi
Taman Ayun adalah menuju Gunung Batukau, dan
bukan Gunung Agung .
Pura Taman Ayun dibangun
dengan tiga fungsi. pertama sebagai Pura penyawangan atau pengayatan
sehingga masyarakat Mengwi yang ingin sembahyang ke pura-pura besar seperti
Besakih, Batukaru, dan Batur cukup datang ke pura ini. kedua, sebagai pemersatu
dari masyarakat dengan beberapa garis keturunan yang sama-sama beribadah
ditempat ini. dan ketiga pura ini memiliki fungsi ekonomi karena kolam yang
mengelilingi pura juga dipakai sebagai air irigasi untuk mengairi sawah-sawah di sekitar pura
Pura
ini hancur karena gempa bumi hebat yang terjadi pada tahun 1917 dan tidak
sempat dipugar hingga tahun 1950. Candi bentar dan tugu yang tingginya mencapai
16 meter di halaman bagian dalam Pura tersebut dibangun sesuai arsitektur Jawa,
sedangkan candi yg kecil berupa tempat duduk dari batu berjumlah 64 buah
merupakan tugu leluhur jaman megalitikum untuk mengenang para ksatria yang
gugur dala
Langganan:
Postingan (Atom)