Selasa, 24 September 2013

LAPORAN KLS PENDIDIKAN SEJARAH TAHUN '2008


Candi Waringin Lawang
Kota Trowulan, sekitar 60 kilometer arah barat Surabaya memang dipercaya sebagai bekas pusat Kerajaan Majapahit, kerajaan besar di Nusantara sekitar abad XIII-XIV. Berbagai bangunan kuno yang bentuknya menyerupai candi, tempat pemandian keluarga raja ataupun gapura serta serta serakan batu bekas peninggalan Majapahit dapat ditemui di Trowulan.
 Trowulan terletak 12 km sebelah barat kota Mojokerto, kira-kira satu jam naik kendaraan dari Surabaya. Peninggalan Majapahit dapat dilihat pada koleksi benda-benda kuno dalam museum kepurbakalaan Trowulan atapun candi-candi yang terdapat di sekitar Trowulan, antara lain candi Waringin Lawang, candi Tikus, candi Tawon, candi Gentong, candi Berahu, dan candi Menakjinggo, candi Sitinggil.
Juga pada bangunan kuno lainnya seperti Bajang Ratu dan Makam Putri Campayang. Sisa-sisa kejayaan Majapahit juga masih dapat ditemui di dalam masyarakat Trowulan, yakni keahlian membuat kerajinan perunggu yang bermotifkan guratan ciri khas Majapahit. Sayangnya, kegemilangan Majapahit -yang menurut cerita sejarah sempat menguasai separuh wilayah Nusantara dan pengaruhnya sampai ke kawasan Asia Tenggara— tak semuanya dapat terlihat utuh. Ada bangunan candi yang sudah selesai dipugar, tapi sebagian lagi masih dalam pengerjaan proyek dinas purbakala sehingga yang terlihat hanyalah batu-batu merah berserakan.
Berkunjung ke obyek wisata Trowulan seakan diajak menerawang masa lalu kerajaan Majapahit yang pernah mengalami kejayaan saat diperintah Hayam Wuruk dengan patihnya yang bernama Gajahmada. Untuk bisa melihat gambaran utuh tentang kerajaan Majapahit di masa silam, tentunya dibutuhkan daya imajinasi dalam merekonstruksi peristiwa-peristiwa yang terjadi selama berdirinya Majapahit (1292-1528 Masehi) seperti tertulis dalam buku-buku sejarah.
Semua diawali dari Gapura Wringin Lawang. Sebuah gapura megah yang terletak di sisi paling utara dari bekas kompleks Majapahit. Gapura yang merupakan pintu gerbang ke ibukota Majapahit, tersusun dari susunan bata yang kini menjadi platform gapura di Jawa Timur. Sebuah ciri arsitektur vernakular yang bertahan berabad-abad lamanya.
Gapura Wringin LawangGapura ini bernama Wringin Lawang (harafiahnya berarti “beringin pintu”), karena dulunya terdapat pasangan beringin yang merangkai Gapura membentuk satu jejalur lurus untuk mengarahkan orang-orang yang datang ke Majapahit.
Kini, hanya sisa dari Gapura yang telah direstorasi dengan bata merah dari era modern mampu menceritakan keagungan Majapahit. Skala gigantis dari gapura ini (yang mengakibatkan banyak orang menafsirkannya sebagai “candi”) menunjukkan kredibilitas kerajaan yang memunculkan nama tenar seperti Hayam Wuruk atau Tribuana Tungga Dewi tersebut. Namun penafsiran paling populer justru menyebut bahwa gerbang ini merupakan jalan masuk ke kediaman mahapatih Gajahmada.
Gapura Wringin Lawang terletak di wilayah administrasi Dukuh Wringin Lawang, Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Dalam tulisan Raffles History of Java I, 1815, disebut dengan nama "Gapura Jati Paser", sementara berdasar cerita Knebel dalam tulisannya tahun 1907 menyebutnya sebagai Gapura Wringin Lawang. Gapura Wringin Lawang termasuk tipe ‘Gapura Belah’ atau ‘Bentar’, yaitu gapura yang tidak memiliki atap. Gapura seperti ini biasanya berfungsi sebagai gerbang luar dari suatu kompleks candi atau kompleks bangunan lainnya. Sesuai dengan bentuknya, Gapura Wringin Lawang tentunya mempunyai fungsi yang sama dengan fungsi candi bentar.
Gapura Wringin Lawang keseluruhannya terbuat dari bata merah dengan arah hadap timur-barat, bentuk dasar denanhnya segi empat dengan ukuran panjang 13 meter, lebar 11.50 meter dengan tinggi 13.70 meter (sebelum dipugar gapura sisi selatan masih utuh mempunyai tinggi 15.50 meter, sedangkan sisi utara masih tersisa 9 meter).

Candi Tikus
                   
  
Candi Tikus terletak di di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Dari jalan raya Mojokerto-Jombang, di perempatan Trowulan, membelok ke timur, melewati Kolam Segaran  dan Candi Bajangratu yang terletak di sebelah kiri jalan. Candi Tikus juga terletak di sisi kiri jalan, sekitar 600 m dari Candi Bajangratu.
Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan Bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Nama 'Tikus' hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus.
Belum didapatkan sumber informasi tertulis yang menerangkan secara jelas tentang kapan, untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Akan tetapi dengan adanya miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad 13 sampai 14 M, karena miniatur menara merupakan ciri arsitektur pada masa itu. Bentuk Candi Tikus yang mirip sebuah petirtaan mengundang perdebatan di kalangan pakar sejarah dan arkeologi mengenai fungsinya. Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga raja, namun sebagian pakar ada yang berpendapat bahwa bangunan tersebut merupakan tempat penampungan dan penyaluran air untuk keperluan penduduk Trowulan. Namun, menaranya yang berbentuk meru menimbulkan dugaan bahwa bangunan candi ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan.

 Bangunan Candi Tikus menyerupai sebuah petirtaan atau pemandian, yaitu sebuah kolam dengan beberapa bangunan di dalamnya. Hampir seluruh bangunan berbentuk persegi empat dengan ukuran 29,5 m x 28,25 m ini terbuat dari batu bata merah. Yang menarik, adalah letaknya yang lebih rendah sekitar 3,5 m dari permukaan tanah sekitarnya. Di permukaan paling atas terdapat selasar selebar sekitar 75 cm yang mengelilingi bangunan. Di sisi dalam, turun sekitar 1 m, terdapat selasar yang lebih lebar mengelilingi tepi kolam. Pintu masuk ke candi terdapat di sisi utara, berupa tangga selebar 3,5 m menuju ke dasar kolam.
            Di kiri dan kanan kaki tangga terdapat kolam berbentuk persegi empat yang berukuran 3,5 m x 2 m dengan kedalaman 1,5 m. Pada dinding luar masing-masing kolam berjajar tiga buah pancuran berbentuk padma (teratai) yang terbuat dari batu andesit.




 
Tepat menghadap ke anak tangga, agak masuk ke sisi selatan, terdapat sebuah bangunan persegi empat dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m. Di atas bangunan ini terdapat sebuah 'menara' setinggi sekitar 2 m dengan atap berbentuk meru dengan puncak datar. Menara yang terletak di tengah bangunan ini dikelilingi oleh 8 menara sejenis yang berukuran lebih kecil. Di sekeliling dinding kaki bangunan berjajar 17 pancuran berbentuk bunga teratai dan makara. Hal lain yang menarik ialah adanya dua jenis batu bata dengan ukuran yang berbeda yang digunakan dalam pembangunan candi ini. Kaki candi terdiri atas susunan bata merah berukuran besar yang ditutup dengan susunan bata merah yang berukuran lebih kecil. Selain kaki bangunan, pancuran air yang terdapat di candi inipun ada dua jenis, yang terbuat dari bata dan yang terbuat dari batu andesit.
Perbedaan bahan bangunan yang digunakan tersebut menimbulkan dugaan bahwa Candi Tikus dibangun melalui tahap. Dalam pembangunan kaki candi tahap pertama digunakan batu bata merah berukuran besar, sedangkan dalam tahap kedua digunakan bata merah berukuran lebih kecil. Dengan kata lain, bata merah yang berukuran lebih besar usianya lebih tua dibandingkan dengan usia yang lebih kecil. Pancuran air yang terbuat dari bata merah diperkirakan dibuat dalam tahap pertama, karena bentuknya yang masih kaku. Pancuran dari batu andesit yang lebih halus pahatannya diperkirakan dibuat dalam tahap kedua. Walaupun demikian, tidak diketahui secara pasti kapan kedua tahap pembangunan tersebut dilaksanakan.

Candi Minak Jinggo
a.sejarah minak jinggo

Candi ini terletak di Dukuh Unggah-Unggahan, Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan. Dilokasi hanya tersisa batu-batu andesit yang merupakan reruntuhan candi tersebar di pelataran dan di gundukan tanah seluas 2370 m2. Candi ini juga disebut Sanggar Pamelengan karena dahulu di tempat ini terdapat sebuah arca seorang wanita yang berbadan seperti ikan dan sebuah arca bersayap yang dikenal dengan Arca Minakjingga. Arca itu kini ditempatkan di Gedung Arca Mojokerto (Museum). Di bulan Pebuari-Nopember 1977 diadakan penggalian dan diperoleh data adanya 3 lapisan fondasi lama.
Dari lokasi reruntuhan candi ini telah ditemukan sebuah arca Garudha, namun oleh masyarakat setempat dan berita-berita tradisi disebutkan sebagai arca Menak-Jinggo. Ditilik dari motif dan model ragam hias pada relief-relief candi yang masih tersisa, terlihat jelas bahwa candi tersebut adalah peninggalan kerajaan Majapahit.
Candi Minakjinggo merupakan satu-satunya situs di kawasan Trowulan yang terbuat dari batu andesit. Di tempat ini hanya tersisi bongkahan pondasi candi. Sisa bangunan yang lain disimpan di Museum (Balai Penyelamatan Arca) Trowulan.
b.cerita tentanag minak jinggo
Konon disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Majapahit yang dipegang oleh Ratu Ayu Kencana Wungu (Suhita) terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Minak Jinggo (Bhre Wirabumi )(Jengho mengacau lewat banyuwangi pintu belakang untuk mengacau perhatian Majapahit menjaga pintu laut jawa sehingga sebagian besar pasukan jenggho tidak diketahui telah masuk dari semarang).
            Pokok persoalan pemberontakan tersebut adalah karena Minak Jinggo ingin memperistrikan Ratu Ayu Kencana Wungu tetapi ditolak karena wajah Minak Jinggo seperti raksasa.( Wajahnya Bulat seperti TEmpeh khas mongoloid ). Hampir saja Minak Jinggo memperoleh kemenangan karena ia sangat sakti sebab memiliki senjata yang disebut gada wesi kuning ( Gada yang berisi Kotoran penderita kholera yang diracunkan ke sumber-sumber oleh pasukan mongol). Akhirnya Ratu Kencana Wungu membuka sayembara barangsiapa yang dapat mengalahkan Minak Jinggo akan memperoleh hadiah yang luar biasa.
Tersebutlah seorang ksatria putra seorang pendeta bernama Raden Damarwulan ( irojan_munira / Maulana Iskak ) ( Raja Pendeta aulia ) yang memasukiarena sayembara.
Dalam peperangan dengan Minak Jinggo hampir saja Damarwulan dapat tersingkir( kerajaan karang asem dan kluingkung sampai sekarang dikuasai keturunan china/mongol bukti jenggho tak dapat masuk ke jawa dia bukan lah muslim tapi budhist bukti adalah tidak didirikannya mesjid tetapi kuil taou ). Akan tetapi atas bantuan dua orang selir Minak Jinggo yang bernama Dewi Waita dan Dewi Puyengan akhirnya Minak Jinggo dapat dikalahkan ( di blambangan saja ). Selanjutnya Dewi Waita dan Dewi Puyengan menjadi istri Damarwulan. Sebagai imbalan atas kemenangan itu maka Damarwulan akhirnya menjadi suami Ratu Ayu Kencana Wungu ( mempunyai putra yang dinamai raden paku/sayid ainul yaqin yang kelak menjadi raja di demak karena ibunya adalah ratu Majapahit/Blambangan dengan gelar Prabu Satmata ) dan bersama-sama memerintah di Majapahit ( Blambangan ).
Cerita Damarwulan-Minak Jinggo ini rupa-rupanya sangat populer di Jawa Tengah terlebih-lebih di Jawa Timur peperangan antara walisongo dengan majapahit adalah dengan prabu brawijaya ke VII yang ketika itu majapahit sudah lemah karena negara mancanegarinya sudah dikalahkan Mongol diduga kemarahan CHINA adalah di serang nya SRIWIJAYA - Budhist oleh MAJAPAHIT- Hindhu dan pembalasan kekalahan Kubulaikhan . Hingga sekarang kita masih dapat melihat peningggalan tersebut dalam bentuk makam kuno yang terletak di Desa Troloyo, Trowulan, Mojokerto.
 Di sana kita jumpai suatu kompleks makam yang oleh penduduk dianggap sebagai makam Ratu Ayu Kencana Wungu ( ratu Blambangan ditinggal oleh maulana ISkak karena mungkin Jenggho sudah masuk pasae/ Gresik..apakah beliau syahid di sana sehingga sunan Giri sejak kecil sudah piatu??? tinggal di kepatihan diangkat putra oleh Nyai Bin Patih/ Pinatih: Kampung kecil HaBaSA). Dewi Waita dan Dewi Puyengan serta beberapa orang pengikutnya. Makam tersebut menurut penelitian para ahli yang sebenarnya adalah makam-makam Islam yang awal ( Raden Asmara bangun artinya Kebangkitan putra sulthan Ibrahim asmaraqondhi ). Dari angka tahunnya yang tertulis pada nisan-nisan menunjuk angka 1295 M - 1457 M.
Tidak jauh dari Troloyo, masih di Desa Trowulan juga kita jumpai sebuah candi yang oleh penduduk setempat dinamakan candi Minak Jinggo. Melihat berbagai hiasan serta peninggalan lain yang terdapat di sekitar candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi Minak Jinggo berasal dari zaman Majapahit

Makam Troloyo
Wisata Religius Makam Troloyo - Dari puluhan situs yang ada di Kab. Mojokerto, ada situs yang dari tahun ke tahun semakin ramai dikunjungi peziarah, yakni Makam Troloyo. Situs ini letaknya di kompleks pemakaman Islam zaman kerajaan Mojopahit di Desa Sentonorejo Kecamatan Trowulan Kab. Mojokerto.
Obyek utamanya adalah Makam Sayyid Muhammad Jumadil Qubro (Syech Jumadil Kubro). Syech Jumadil Kubro adalah kakek dari Sunan Ampel. Beliau adalah ulama dari Persia yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Makamnya pertama kali diberi cungkup oleh tokoh masyarakat setempat bernama KH Nawawi pada tahun 1940. Di kompleks makam troloyo terdapat dua kelompok makam, yaitu kelompok makam bagian depan, terdiri dari makam Wali Songo dan Kelompok Makam Syech Jumadi Kubro. Kelompok makam inilah yang paling banyak dikunjungi peziarah. Dan kelompok makam bagian belakang terdiri dari dua cungkup, yaitu cungkup pertama makam Raden Ayu Anjasmara dan makam Raden sering disebut sebagai kubur pitu.
Para peziarah itu datang dari dalam da luar Mojokerto, serta ada pula yang datang dari luar Jawa. Peziarah datang ke makam itu berbagai tujuan. Ada yang datang ingin tahu keberadaan Makam Troloyo, ada pula yang datang untuk memberikan doa kepada leluhur Walisongo dengan membacakan ayat-ayat suci Al Quran. Ada pula pezirah yang datang untuk mendapat ilmu relijius dari para leluhur yang berada di makam itu.
Kahumas Pemkab Mojokerto Dra Hj Alfiah Ernawati MM di kantornya mengatakan, Makam Troloyo memang menjadi andalan Kab. Mojokerto sebagai  relijius. Semakin tahun jumlah peziarah yang datang ke lokasi itu semakin banyak. Untuk memberikan kenyamanan pada peziarah, Pemkab Mojokerto dan Pemprop Jatim merenovasi komplek makam dan tempat parkir yang ada di kawasan itu.
Menata stan PKL juga telah dilakukan oleh Pemkab Mojokerto, sehingga kondisi itu bisa membuat para peziarah di komplek makam itu terasa nyaman, dan aman. Sehingga peziarah bisa menjalankan ritual religiusnya dengan khusuk.Pemkab berharap dengan terciptanya kawasan yang nyaman ini nantinya bisa semakin meningkatkan kunjungan wisata di Makam Troloyo terus berlanjut. “Dengan kondisi yang kondusif, nyaman tentu wisatawan akan tertarik kembali mengunjungi Makam Troloyo di lain hari nanti,” katanya,
Komplek Makam Troloyo ( Makam Komunitas Muslim Majapahit)
Makam Troloyo Mojokerto peninggalan kerajaan MajapahitSangat toleransinya Majapahit terhadap agama Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat kerajaan Demak.
Kepurbakalaan yang ada di Troloyo adalah berupa makam Islam kuna yang berasal dari masa Majapahit. Adanya makam kuna ini merupakan bukti adanya komunitas muslim di wilayah ibukota Majapahit. Adanya komunitas muslim ini disebutkan pula oleh Ma-Huan dalam bukunya Ying Yai - Sing Lan, yang ditulis pada tahun 1416 M. Dalam buku The Malay Annals of Semarang and Cherbon yang diterjemahkan oleh HJE. de Graaf disebutkan bahwa utusan-utusan Cina dari Dinasti Ming pada abad XV yang berada di Majapahit kebanyakan muslim. Sebelum sampai di Majapahit, muslim Cina yang bermahzab Hanafi membentuk masyarakat muslim di Kukang (Palembang), barulah kemudian mereka bermukim di tempat lain termasuk wilayah kerajaan Majapahit.
Pada masa pemerintahan Suhita (1429-1447 M), Haji Gen Eng Cu yang diberi gelar A Lu Ya (Arya) telah diangkat menjadi kepala pelabuhan di Tuban. Selain itu, duta besar Tiongkok bernama Haji Ma Jhong Fu ditempatkan di lingkungan kerajaan Majapahit. Dalam perkembangannya, terjadi perkawinan antara orang-orang Cina dengan orang-orang pribumi.
Adanya situs makam ini menarik perhatian para sarjana untuk meneliti, antara lain P.J. Veth, Verbeek, Knebel, Krom, dan L.C. Damais. Menurut L.C. Damais, Makam Troloyo meliputi kurun waktu antara 1368–1611 M.Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, hanya diketahui nama seorang yang dimakamkan di kompleks Makam Troloyo, yaitu Zainudin. Namun nisan dengan nama tersebut tidak lagi diketahui tempatnya, sedangkan nama-nama tokoh yang disebutkan di makam ini berasal dari kepercayaan masyarakat.
Kesimpulannya bahwa ketika Majapahit masih berdiri orang-orang Islam sudah diterima tinggal di sekitar ibu kota. Ada dua buah kelompok atau komplek pemakaman : sebuah komplek terletak di bagian depan yakni di bagian tenggara dan sebuah lagi di bagian belakang (barat laut).



Komplek makam yang terletak di sebuah bagian depan berturut-turut sebagai berikut :
  1. Makam yang dikenal dengan nama Pangeran Noto Suryo, nisan kakinya berangka tahun dalam huruf Jawa Kuno 1397 Saka (= 1457 M) ada tulisan arab dan lambang ‘surya Majapahit”.
  2. Makam yang dikenal dengan nama Patih Noto Kusumo, berangka tahun 1349 Saka (1427 M) bertuliskan Arab yang tidak lengkap dan lambang surya.
  3. Makam yang dikenal dengan sebutan Gajah Permodo angka tahunnya ada yang membaca 1377 Saka tapi ada yang membaca 1389 Saka, hampir sama dengan atasnya.
  4. Makam yang dikenal dengan sebutan Naya Genggong, angka tahunnya sudah aus, pembacaan ada dua kemungkinan : tahun 1319 Saka atau tahun 1329 Saka serta terpahat tulisan Arab kutipan dari surah Ali Imran 182 (menurut Damais 1850).
  5. Makam yang dikenal sebagai Sabdo palon, berangka tahun 1302 Saka dengan pahatan tulisan Arab kutipan surah Ali Imran ayat 18.
  6. Makam yang dikenal dengan sebutan Emban Kinasih, batu nisan kakinya tidak berhias. Dahulu pada nisan kepala bagian luar menurut Damais berisi angka tahun 1298 Saka.
  7. Makam yang dikenal dengan sebutan Polo Putro, nisannya polos tanpa hiasan. Menurut Damais pada nisan kepala dahulu terdapat angka tahun 1340 Saka pada bagian luar dan tulisan Arab yang diambil dari hadist Qudsi terpahat pada bagian dalamnya.
Sebagian dari nisan-nisan pada Kubur Pitu tersebut berbentuk Lengkung Kurawal yang tidak asing lagi bagi kesenian Hindu. Melihat kombinasi bentuk dan pahatan yang terdapat pada batu-batu nisan yang merupakan paduan antara unsur-unsur lama unsur-unsur pendatang (Islam) nampaknya adanya akultrasi kebudayaan antara Hindu dan Islam. Sedangkan apabila diperhatikan adanya kekurangcermatan dalam penulisan kalimah-kalimah thoyyibah dapat diduga bahwa para pemahat batu nisan nampaknya masih pemula dalam mengenal Islam.
Dengan banyaknya peziarah yang datang ke kompleks makam ini mempunyai nilai positif bagi masyarakat sekitar situs. Dampak posistif itu dapat dilihat dari segi ekonomi, di mana pendapatan masyarakat sekitar menjadi bertambah.
Hal ini menjadi perhatian dari pemerintah daerah untuk membangun sarana dan prasarana yang ditujukan untuk menarik pengunjung. Namun demikian terdapat juga sisi negatifnya, yaitu pembangunan yang mengabaikan prinsip-prinsip pelestarian.Dari keadaan sekarang yang ada di situs Makam Troloyo diketahui bahwa sarana-sarana bangunan yang ada menyimpang dari penataan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 Pasal 27 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwapemugaran sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, dan tata letak, serta nilai sejarahnya. Pengrusakan situs Troloyo dalam arti luas telah merubah bentuk secara keseluruhan, antara lain denah halaman makam, serta benda cagar budayanya itu sendiri. Denah halaman yang dimaksud adalah tambahan bangunan baru berbentuk lorong beratap, serta jirat dan nisan diganti bahan keramik baru warna putih sehingga sangat terlihat tidak asli. Perubahan tersebut jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian benda cagar budaya.Kasus pengembangan Makam Troloyo ini dapat menjadi pelajaran bagi kita, agar dikelak kemudian hari tidak terjadi lagi kasus-kasus serupa pada situs yang lain, mengingat dewasa ini semakin maraknya perhatian Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap situs-situs kepurbakalaan yang bersifat living monument
Kompleks makam Troloyo ada dua kelompok makam. Di bagian depan (tenggara) dan di bagian belakang (barat laut). Makam di bagian depan diantaranya: Kelompok makam petilasan Wali Sanga, Kemudian di sebelah barat daya dikenali dengan sebutan Syech Mulana Ibrahim, Syech Maulana Sekah dan Syech Abd, Kadir Jailani. Ada pula Syech Jumadil Kubro. Sedang di utara Masjid terdapat makam Syech Ngudung atau Sunan Ngudung. Kompleks makam di bagian belakang meliputi: Bangunan cungkup dengan dua makam yaitu Raden Ayu Anjasmara Kencanawungu, kemudian terdapat pula kelompok makam yang disebut Makam Tujuh atau Kubur Pitu yang dikenal sebagai Pangeran Noto Suryo, Patih Noto Kusumo, Gajah permodo, Naya Genggong, Sabdo palon, Emban Kinasih dan Polo Putro
Situs Makam Troloyo
Situs Makam Troloyo merupakan kompleks pemakaman Islam jaman kerajaan Mojopahit. Situs ini terletek di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan.Obyek utamanya adalah makam Sayyid Muhammad Jumadil Qubro (biasa disebut Syech Jumadil Kubro). Syech Jumadil Kubro adalah kakek dari Sunan Ampel. Beliau adalah ulama dari Persia yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Makamnya pertama kali diberi cungkup oleh tokoh masyarakat setempat bernama KH Nawawi pada tahun 1940.
Di kompleks makam troloyo terdapat dua kelompok makam, yaitu :
- Kelompok makam bagian depan, terdiri dari makam wali songo dan kelompok makam Syech Jumadi Kubro. Kelompok makam inilah yang paling banyak dikunjungi peziarah.Kelompok makam bagian belakang terdiri dari dua cungkup, yaitu : cungkup pertama makam Raden Ayu Anjasmara dan makam Raden. Banyak yang mengatakan bahwa dengan berziarah ke makam Troloyo dapat membantu mempermudah mencari ilmu.
Petilasan Walisongo
Menurut cerita rakyat, Troloyo merupakan tempat peristrirahatan bagi kaum niagawan muslim dalam rangka menyebarkan agama Islam kepada Prabu Brawijaya V beserta para pengikutnya. Di hutan Troloyo tersebut kemudian dibuat petilasan untuk menandai peristiwa itu. Tralaya berasal dari kata setra dan pralaya. Setra berarti tegal/tanah lapang tempat pembuangan bangkai (mayat), sedangkan berarti rusak/mati/kiamat. Kata setra dan pralaya disingkat menjadai ralaya.
Situs Troloyo terkenal sebagai tempat wisata religius semenjak masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, saat mengadakan kunjungan ziarah ke tempat tersebut. Sejak saat itu, tempat ini banyak dikunjungi peziarah baik dari Trowulan maupun dari daerah lain, bahkan dari luar Jawa Timur.
Ketenaran Makam Troloyo ini juga disebabkan karena seringnya dikunjungi oleh para pejabat tinggi. Selain itu, pada hari-hari tertentu seperti malam Jumat Legi, haul Syekh Jumadil Qubro, dan Gerebeg Suro di tempat ini dilakukan upacara adat yang semakin menarik wisatawan untuk datang ke tempat ini.
Situs Troloyo merupakan salah satu bukti keberadaan komunitas muslim pada masa Majapahit. Situs ini terletak di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Untuk mencapai situs ini dapat ditempuh dari perempatan Trowulan kearah selatan sejauh ± 2 km.
Dahulu komplek makam Troloyo berupa sebuah hutan, seperti hutan Pakis yang terletak lebih kurang 2 Km di sebelah selatannya. Peneliti pertama kali P.J. Veth, hasil penelitiannya diterbitkan dalam buku Java II yang diterbitkan dalam tahun 1878. Kemudian L.C. Damais seorang sarjana berkebangsaan Perancis,hasil penelitiannya dibukukan dalam “Etudes Javanaises I. Les Tombes Musulmanes datees de Tralaya” yang dimuat dalam BEFEO (Bulletin de Ecole francaise D’extrement-Orient). Tome XLVII Fas. 2. 1957. Menurut Damais angka-angka tahun yang terdapat di komplek makam Troloyo yang tertua berasal dari abad XIV dan termuda berasal dari abad XVI.Puncak kunjungan wisatawan terjadi pada saat malam Jumat Legi dan setiap malam tanggal 15 Suro (Muharram) diadakan Haul Syech Jumadil Qubro.
Makam Panjang
Makam atau kubur panjang yang masih dikeramatkan penduduk ini secara administratif berada di kawasan Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kab. Mojokerto. Letaknya kurang lebih 300 m dari sudut timur laut Kolam Segaran pada tanah yang agak tinggi dari daerah sekitarnya. Kompleks makam panjang dengan bangunannya yang ada sekarang merupakan bangunan baru. Demikian pula jirat makam panjangnya. Tinggalan kunonya hanya berupa  prasasti yang dianggap nisan oleh penduduk tertulis pada batu dengan bentuk akolade. Prasasti singkat tersebut menggunakan huruf dan tulisan jawa kuno.
Isi Prasati :
Pangadegning boddhi
Isaka1230                                                                               
Terjemahan :
Berdirinya pohon boddhi
Pada tahun saka 1230
            Berdasarkan isi prasasti tersebut patut diragukan apakah dahulu di tempat tersebut pernah dimakamkan seseorang. Yang pasti bahwa pada tahun 1230 saka (1281) telah ditanam pohon boddhi. Dalam sejarah agama Budha pohon boddhi dihubungkan dengan pencapaian pencerahan sang Buddha Gautama. Di Jawa pohon boddhi disamakan dengan pohon beringin.Adapun maksud dari penanaman pohon boddhi / bringin berdasar data sejarah tidak berubah dari dahulu sampai sekarang yaitu untuk memperingati suatu peristiwa tertentu , dengan tujuan agar tercapai segala keinginan yang menjadi maksud dalam peringatan tersebut.Angka tahu 1230 saka (1281) juga menujukkan bahwa Trowulan telah dihuni sebelum Majapahit berdiri.
Candi Brahu
Candi BrahuCandi Brahu terletak di Desa Bejijong,Kecamatan Trowulan,kabupaten Mojokerto. Seperti bangunan-bangunan kuno yang terdapat di Trowulan,Candi Brahu terbuat dari bata merah yang di rekatkan satu sama lain dengan sistem gosok. Peninggalan jaman Majapahit yang relatif sudah dalam keadaan baik, setelah mengalami pemugaran pada tahun 1990-1991 dan tahun 1994-1995. Denah bangunan bujur sangkar dan arah hadapnya ke barat dengan azimut 227. Ukuran bangunan : tinggi 25,7 m,serta lebar 20,70 m.
Struktur bangunan candi terdiri dari kaki,tubuh dan atap. Kaki candi terdiri dari bingkai bawah,tubuh serta bingkai atas. Bingkai tersebut terdiri dari pelipit rata,sisi genta dan setengah lingkaran. Dari penelitian yang terdapat pada kaki candi diketahui terdapat susunan bata yang strukturnya terpisah,di duga sebagai kaki candi yang di bangun pada masa sebelumnya. Ukuran kaki candi lama ini 17 x 17 m. Dengan demikian struktur kaki yang tampak sekarang merupakan tambahan dari bangunan sebelumnya. Kaki Candi Brahu terdiri dari dua tingkat dengan selasarnya serta tangga di sisi barat yang belum di ketahui bentuknya dengan jelas.
Bagian tubuh Candi Brahu sebagian merupakan susunan bata baru yang di pasang pada masa pemerintahan Belanda. Candi Brahu dengan bentuk badan lekuk bertingkat tiga dan mengecil di bagian atas. Candi Brahu memiliki ciri khas bangunan gaya Majapahitan, yang terbuat dari batu bata merah ini,cenderung lebih cepat tergerus zaman dari pada candi yang terbuat dari batu gunung.
Denah Candi Brahu berukuran 10 x 10,50 m dan tinggi 9,6 m. Di dalamnya terdapat bilik berukuran 4 x 4 m,namun kondisi lantainya telah rusak. Pada waktu pembongkaran struktur bata pada bilik ini di temukan sisa-sisa arang yang kemudian dianalisa di Pusat Penelitian Badan Tenaga Atom Nasional ( BATAN) Yogyakarta. Hasil analisa menunjukkan bahwa pertanggalan radio carbon arang Candi Brahu berasal dari masa antara tahun 1410 hingga 1646.Candi BrahuTampak muka Candi Brahu dengan undakan relatif utuh yang menuju ke tingkat dasar pertama candi. Undakan yang menuju tingkat dasar kedua Candi Brahu ini tampak tidak utuh lagi, dan tidak terlihat ada undakan yang menuju ke sebuah lubang yang berada di tengah bangunan candi.
Candi Brahu               Candi Brahu dilihat dari sebuah sudut. Tidak terlihat adanya relief satu pun pada dinding Candi Brahu yang seluruhnya terbuat dari susunan batu bata merah ini.



Candi Brahu
Atap Candi Brahu tingginya kurang lebih 6 m. Pada sudut tenggara atap terdapat sisa hiasan berdenah lingkaran yang di duga sebagai bentuk stupa. Berdasar gaya bangunan serta profil sisa hiasan berdenah lingkaran pada atap candi yang di duga sebagai bentuk stupa,para ahli menduga bahwa Candi Brahu bersifat Budhis. Candi Brahu di perkirakan di bangun pada abad ke-15 Masehi, dan konon merupakan tempat pembakaran jenazah raja-raja Majapahit, yaitu Brawijaya I, II, III, dan IV. Namun sayangnya tidak ditemukan satu pun bekas abu jenazah di dalam bilik Candi Brahu ini.
Selain itu di perkirakan Candi Brahu umurnya lebih tua di bandingkan dengan candi-candi yang ada di situs Trowulan. Dasar dugaan ini adalah Prasasti Alasantan yang di temukan tidak jauh dari Candi Brahu. Prasasti tersebut di keluarkan oleh Raja Mpu Sendok pada tahun 861 C atau 939 M,di antara isinya menyebutkan nama sebuah bangunan suci yaitu waharu atau warahu. Nama inilah yang di duga sebagai asal nama Candi Brahu sekarang.

Pura Bukit Darma atau Pura Durga Kutri
Pura Bukit Darma di Kutri Desa Buruan, Blahbatuh, Gianyar. Pura ini adalah sebagai istana (paDarman) dari permaisuri Raja Udayana yang bergelar Gunapriya Darma Patni. Raja Udayana berkuasa sebagai Raja di Bali sekitar abad X Masehi.
Permaisuri Raja Udayana ini melahirkan tiga putra yaitu Airlangga, Marakata dan Anak Wungsu. Perkawinan Mahendradata — nama asli dari Gunapriya Darma Patni — sebagai permaisuri Raja Udayana banyak membawa perubahan kebudayaan Hindu di Bali. Sejak Raja suami-istri ini memerintah Bali pengaruh kebudayaan Hindu Jawa sangat kuat mempengaruhi kehidupan kebudayaan beragama Hindu di Bali. Prasasti-prasasti Bali sejak Raja Udayana memerintah menggunakan bahasa Jawa Kuno. Sebelum Raja Udayana memerintah prasasti Bali menggunakan bahasa Bali Kuno.
Dalam prasasti yang dikeluarkan saat Raja Udayana memerintah Bali, Gunapriya Darma Patni selalu disebutkan mendahului nama Raja Udayana. Nampaknya Gunapriya Darma Patni pengaruhnya sangat kuat dalam menetapkan kebijaksanaan kerajaan dalam menata kehidupan berkebudayaan sebagai media pengamalan beragama Hindu di Bali saat itu. Hal inilah yang mungkin menyebabkan Gunapriya Darma Patni demikian dihormati di Bali oleh semua lapisan masyarakat Bali. Hal inilah mungkin sebagai salah satu sebab Gunapriya Darma Patni diistanakan (diDarmakan) di Pura Bukit Darma di Kutri, Desa Buruan.
Di pura ini permaisuri Udayana ini dibuatkan arca perwujudan sebagai Dewi Durga Maisasura Mardini. Sayang sementara masyarakat umat Hindu di Bali memiliki persepsi yang sedikit kurang tepat tentang keberadaan Dewi Durga dalam sistem pantheon Hindu. Sesungguhnya Dewi Durga dalam sistem pantheon Hindu bukan sebagai dewanya ilmu hitam atau black magic.
Dewi Durga sebagai Saktinya Dewa Siwa adalah simbol dari kemahakuasaan Tuhan dalam fungsinya sebagai Dewi Kasih Sayang yaitu Dewi Pelebur niat buruk dan membangun niat suci. Untuk membangun niat baik dengan melebur niat buruk memang tidak mudah. Karena sulitnya mencapai upaya tersebutlah disebut Dewi Durga. Kata ”durga” dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata ”dur” artinya sulit dan ”ga” artinya dilalui atau dijalani. Karena itu kata ”durga” artinya sulit dicapai atau sulit dilalui. Niat itu sesuatu gerak diri yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata oleh orang lain. Karena sulitnya itu disebut Durga.
Sangat besar kemungkinannya Gunapriya Darma Patni dalam kedudukannya sebagai permaisuri raja demikian besar kasih sayangnya pada rakyat. Karena kasih sayangnya itu Gunapriya Darma Patni sangat berwibawa, tetapi rakyat tidak takut pada ratunya itu. Rakyat demikian cinta dan hormat pada ratunya bukan karena ia diktator, tetapi karena prilakunya yang demikian banyak berbuat bijaksana untuk mensejahterakan rakyat dan memberikan rasa aman pada suasana kehidupan kerajaan.
Gunapriya Darma Patni setelah menjadi Dewa Pitara dalam wujud niskala dibuatkanlah tempat pemujaan di Pura Bukit Darma tersebut. Karena kasih sayangnya pada rakyat beliau dibuatkan arca perwujudan sebagai Dewi Durga Mahisasura Mardini. Arca ini diwujudkan sebagai seorang dewi yang langsing bertangan delapan.
Setiap tangannya membawa berbagai senjata. Ada yang memegang senjata trisula, perisai, busur/ panah, pedang, cakra, gada, ujung tombak (anak panah) dan ada tangannya memegang ekor lembu Mahisa. Semuanya itu sebagai simbol yang mengandung makna keagamaan. Senjata di tangan arca Durga tersebut sesungguhnya bukanlah lambang dari kekerasan haus perang. Misalnya senjata Cakra Sudharsana.
Menurut Swami Satya Narayana, senjata Cakra Sudharsana bukanlah lambang senjata perang untuk membunuh. Kata Cakra artinya bulat simbol alam semesta. Sudharsana artinya pandangan atau wawasan. Dengan demikian Cakra Sudharsana itu artinya wawasan yang menyeluruh tentang keberadaan alam semesta ini. Barang siapa yang mampu memiliki wawasan yang menyeluruh atau wawasan global tentang keberadaan alam semesta ini dialah yang akan dapat memenangkan kehidupan di bumi yang bulat ini.
Hidup yang menang bukan berarti ada yang dikalahkan. Hidup menang adalah hidup yang aman sejahtera dan bahagia sekala dan niskala. Arca Durga ini diistanakan pada bangunan pelinggih di arah ersania yaitu arah timur laut Pura Bukit Darma ini. Arah ersania adalah arah tersuci menurut kepercayaan Siwa Sidhanta. Ersania di Bali disebut kaja kangin. Kaja kangin adalah arah gunung dan matahari terbit.
Perpaduan dua sumber alam ini melahirkan sumber kehidupan. Gunung menjadi sumber air dan matahari sumber bio-energi. Tujuan penempatan pelinggih utama di ersania sebagai simbol untuk memohon selalu terpadunya dua sumber alam itu sebagai anugerah Tuhan kepada makhluk hidup ciptaan-Nya. Salah satu tangan arca Durga Kutri ini memegang ekor lembu. Ini melukiskan bahwa dunia ini hendaknya dikendalikan dengan kasih sayang Tuhan yang dilambangkan oleh arca Durga tersebut.
Di sebelah kiri arca Durga ini terdapat dua Lingga berpasangan. Lingga ini lambang pemujaan pada Dewa Siwa dengan Dewi Parwati atau Dewi Durga. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa dan Dewi bertujuan untuk menuntun umat agar mengembangkan diri dalam hidupnya ini secara seimbang. Tuhan itu adalah Esa, namun tujuan manusia memuja Tuhan adalah untuk menguatkan spiritualitasnya dalam menopang kehidupannya di bumi ini.
Kehidupan ini banyak aspeknya. Karena itu Tuhan Yang Esa itu dipuja dalam berbagai aspeknya dengan sebutan Dewa. Nama-nama Tuhan yang banyak ini menurut Rgveda diberikan oleh para resi atau para Vipra. Demikianlah pemujaan Tuhan sebagai Dewa dan Dewi bertujuan untuk menguatkan dan menyeimbangkan aspek rohani dan jasmani dari umat pemuja Tuhan itu.
Gunapriya Darma Patni yang roh sucinya (Dewa Pitara) distanakan di pura ini berasal dari Jawa Timur. Permaisuri Raja Udayana ini sangat besar pengaruhnya pada sang Raja sehingga namanya selalu disebutkan di depan nama Raja Udayana. Pelinggih utama pura ini juga disebut Gedong Pajenengan, tempat distanakan arca Durga Mahisasura Mardini. Upacara piodalan di pura ini setiap purnama sasih Kasa bersamaan dengan pujawali di Pura Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur.
Pura ini letaknya di puncak Bukit Kutri, Desa Buruan. Di areal bawah pura ini terdapat dua buah pura lagi. Pura yang paling bawah di pinggir jalan menuju kota Gianyar adalah Pura Puseh Desa Adat Buruan. Di atasnya Pura PeDarman. Naik dari Pura PaDarman inilah letak Pura Bukit Darma atau Pura Durga Kutri. Yang menarik dari keberadaan pura ini adalah diistanakannya permaisuri Raja sebagai Dewi Durga.
Sejak Raja berpermaisurikan putri dari Jawa Timur ini pengaruh kebudayaan Hindu dari Jawa sangat kuat masuk ke Bali. Tanpa proses tersebut mungkin kebudayaan Hindu di Bali tidak semarak dan kaya dengan nilai-nilai kehidupan yang adiluhung seperti sekarang ini. Fakta sejarah menyatakan bahwa budaya agama Hindu masuk ke Jawa dari India telah berhasil menjadikan Jawa sebagai Jawa yang ada nilai plusnya.
Dari Jawa budaya agama Hindu masuk ke Bali menyebabkan Bali menjadi Bali yang plus. Agama Hindu telah berhasil menjiwai budaya setempat. Dengan demikian agama Hindu dapat menghasilkan kebudayaan Bali yang adiluhung. Hal itu dimulai dari masuknya bahasa Jawa Kuno ke Bali. Dengan demikian bahasa dan kesusastraan Jawa Kuno sangat kuat pengaruhnya membentuk kebudayaan Bali seperti sekarang ini.
Ramayana, Mahabharata dan berbagai cerita dan tutur-tutur dalam bahasa Jawa Kuno masuk dengan kuat dan halus ke Bali. Derasnya bahasa Jawa Kuno masuk ke Bali nampaknya disebabkan kesusastraan Jawa Kuno itu muatannya adalah ajaran agama Hindu. Di lain pihak masyarakat Bali saat itu sudah memeluk agama Hindu yang saat itu disebut agama Tirtha atau agama Siwa Budha. Agama Tirtha tersebut sumber ajarannya adalah kitab suci Weda dan kitab-kitab susastranya. Seni budaya Hindu yang berbahasa Jawa Kuno demikian digemari oleh masyarakat Bali.
Sampai saat ini orang awam akan menganggap kesusastraan Jawa Kuno itu sudah kesusastraan Bali. Sejak itulah Bali mengenal adanya seni sastra dari Jawa Kuno seperti Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung. Andaikata Raja Udayana saat itu bersikap kaku tidak membolehkan budaya luar masuk Bali, keadaan Bali dapat dibayangkan. Mungkin orang Bali tidak kenal geguritan, kidung maupun kekawin.
Geguritan memang berbahasa Bali pada umumnya, tetapi tembang-tembang seperti Semarandhana, Dhurma, Sinom, Ginanti, Megatruh dll. itu semuanya berasal dari kesusastraan Jawa Kuno atau sering disebut bahasa Kawi. Apalagi kekawin sepenuhnya adalah berbahasa Jawa Kuno. Lewat seni sastra Jawa Kuno inilah menjadi media untuk menanamkan ajaran agama Hindu melalui seni budaya. Dengan seni budaya itu umat Hindu di Bali dapat menyerap ajaran agama Hindu secara halus.
Derasnya pengaruh Hindu Jawa ke Bali sangat menonjol sejak zaman Raja Udayana memerintah Bali sampai zaman Kerajaan Majapahit berkuasa di Jawa sampai ke Bali. Keberadaan Gunapriya Darma Patni itu dinyatakan dalam Prasasti Bebetin sbb: Aji Anak Wungsu nira kalih Bhatari lumahing Burwan Bhatara lumahing banyu weka.
Yang dimaksud Bhatari Lumahing Burwan tiada lain adalah ibunya Anak Wungsu yaitu Gunapriya Darma Patni yang wafat dan distanakan roh sucinya di Burwan yaitu di Bukit Kutri, Desa Buruan. Prasasti ini berbahasa Jawa Kuno diperkirakan berada pada abad X Masehi. Seandainya Raja saat itu tidak berpikir luas dan melakukan proteksi pada kebudayaan asli Bali yang berlaku pada saat itu, mungkin di Bali kita tidak mengenal adanya Pesantian yang demikian marak sampai pada saat ini.
Keberadaan Arca Durga Mahisasura Mardini ini sangat erat kaitannya dengan cerita-cerita Purana dari India. Cerita ini memang sangat populer di kalangan umat Hindu di India dan di Bali. Diceritakan Dewi Parwati atau Dewi Uma berperang melawan raksasa. Raksasa itu sangatlah sakti dan sulit ditaklukkan. Karena itulah disebut Durga. Artinya sulit dicapai, karena raksasa itu sampai bisa bersembunyi di dalam tubuh seekor lembu atau Mahisa. Karena ada raksasa atau Asura di dalam tubuh lembu itu, maka ia disebut Mahisasura.
Dewi Parwati adalah Saktinya Dewa Siwa juga sangat sakti. Raksasa yang sulit ditaklukkan (Durga) itu karena kesaktian Dewi Parwati akhirnya dapat juga menaklukkan raksasa tersebut dengan pedangnya. Sejak dapat ditaklukannya Asura yang bersembunyi di tubuh Mahisa atau lembu itulah Dewi Parwati disebut Dewi Durga. Kemenangan Dewi Durga ini dirayakan setiap hari raya Dasara atau Wijaya Dasami sebagai hari raya Durgha Puja. Durgha Puja ini lebih menonjol di India Selatan.
Hari suci Wijaya Dasami umumnya dirayakan pada bulan April dan Oktober di India. Hari raya Wijaya Dasami juga merayakan kemenangan Sri Rama melawan Rahwana. Wijaya Dasami ini diperingati selama sepuluh hari. Seperti Galungan di Bali. Tiga hari melakukan Durga Puja, tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga harinya lagi memuja Laksmi.
Pada hari kesepuluh barulah dirayakan dengan perayaan yang meriah. Pada hari kesepuluh ini dipuja Dewa Ganesia dan Dewi Laksmi. Ini melambangkan bahwa kemenangan itu adalah terwujudnya rasa aman dan sejahtera. Dewa Ganesia lambang pemujaan Tuhan untuk mencapai rasa aman. Sedangkan pemujaan Dewi Laksmi lambang kesejahteraan.
Senjata-senjata yang dipegang oleh tangan Arca Durga Kutri itu adalah lambang senjata spiritual. Bukan lambang senjata untuk membunuh badan jasmaniah secara kejam dalam perang duniawi. Senjata itu adalah lambang senjata spiritual untuk membasmi kegelapan hati nurani membangun kesadaran rohani menuju kehidupan yang cerah.

Museum Denpasar
            Perhatian terhadap keberadaan peninggalan purbakala (cagar budaya) di wilayah Indonesia secara formal ditandai dengan berdirinya Oudheidkundige Dienst in Nederland-Indie (Jawatan Purbakala) yang mempunyai tugas menyusun, mendaftar dan mengawasi peninggalan purbakala di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Pendirian Jawatan Purbakala didasari dengan Keputusan Pemerintah Hindia-Belanda Nomor: 62, tanggal 14 Juni 1913.
            Selama kurun waktu penjajahan Belanda dan Jepang (Nipon), dalam melaksanakan tugasnya Jawatan Purbakala telah berhasil mengungkap, melindungi, dan merekonstruksi peninggalan purbakala, khususnya yang berada di wilayah pulau jawa.
            Setelah masa kemerdekaan jawatan Purbakala mulai membuka kantor di daerah, diantaranya di Jogjakarta, Prambanan dan Makasar. Pada awal tahun 1951 Jawatan Purbakala dilebur menjadi dinas purbakala dibawah naungan Administrasi Jawatan Kebudayaan Kementerian P.P dan K. Bersamaan dengan itu di Provinsi BALI dibentuk Dinas Purbakala Seksi Bangunan Cabang Makasar yang berlokasi di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar dibawah pimpinan J.C Krijgsman. Pertimbangan pemilihan Desa Bedulu sebagai lokasi kantor didasari hasil inventarisasi dan pendokumentasian yang dilakukan Jawatan Purbakala yang menunjukkan keberadaan peninggalan purbakala menyebar di seluruh wilayah Bali dengan populasi paling padat terdapat di daerah Gianyar yaitu di Desa bedulu dan Desa Pejeng. Peninggalan purbakala di tempat ini ditemukan pada Pura, tanah tegalan, dan areal persawahan berupa peninggalan dari masa Pra-Sejarah hingga masa Sejarah yang meliputi: Sarkofagus, Candi, Arca, Prasasti, dan lain-lain.
            Dinas Purbakala Seksi Bangunan Cabang Makasar inilah yang menjadi cikal bakal Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali (SPSP), yang kemudian setelah keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Nomor : 0767/O/1989. tanggal 7 Desember 1989 berubah menjadi Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali-NTB-NTT dan Timtim setelah Provinsi TimTim lepas dari Republik Indonesia dan menjadi negara timor leste maka wilayah kerja SPSP hanya sampai Nusa Tenggara Timur dan selanjutnya sejak Januari 2003 berubah nama lagi menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali-Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sampai saat sekarang.
            Visi dan misi balai pelestarian peninggalan purbakala bali wilayah kerja provinsi bali, nusa tenggara barat, dan nusa tenggara timurBalai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali wilayah kerja Propinsi Bali, NTB, dan NTT adalah unit pelaksana teknis (UPT) dilingkungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Sesuai dengan SK.Menbudpar No.KM.51/OT/MKP/2003 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali Wilayah Kerja Propinsi Bali, NTB, dan NTT berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Dipimpin oleh seorang kepala yang melaksanakan tugasnya secara teknis bertanggungjawab kepada Direktur Peninggalan Purbakala.Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali Wilayah Kerja Propinsi Bali, NTB dan NTT mempunyai tugas pokok :melaksanakan pemeliharaan, perlindungan, pemugaran, pendokumentasian, bimbingan dan penyuluhan mengenai peninggalan sejarah dan purbakala beserta situs-situsnya.
            Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali Wilayah Kerja Propinsi Bali, NTB dan NTT mempunyai fungsi :
  1. Melaksanakan pemeliharaan peninggalan sejarah dan purbakala yang bergerak dan tidak bergerak, termasuk situs-situsnya.
  2. Melaksanakan perlindungan terhadap peninggalan sejarah dan purbakala yang bergerak dan tidak bergerak termasuk situs-situsnya.
  3. Melaksanakan perlindungan terhadap peninggalan sejarah dan purbakala yang bergerak dan yang tidak bergerak termasuk situs-situsnya.
  4. Menyelenggarakan pendokumentasian peninggalan sejarah dan purbakala yang bergerak dan tidak bergerak termasuk situs-situsnya.
  5. Memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang peninggalan sejarah dan purbakala beserta situs-situsnya.
KEGIATAN
            Perlindungan : Perlindungan peninggalan sejarah dan purbakala adalah usaha menanggulangi kerusakan peninggalan sejarah dan purbakala dari gejala atau akibat yang disebabkan oleh perbuatan manusia maupun proses alam. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mencegah kerugian dan atau kemusnahan nilai, manfaat dan keutuhan Benda Cagar Budaya/situs, melalui : pengamanan, penyelamatan, dan perijinan.
            Arapemelihan : Pemeliharaan peninggalan sejarah dan purbakala adalah usaha untuk melestarikan peninggalan sejarah dan purbakala dari kerusakan-kerusakan yang diakibatkan baik oleh faktor boitis dan abiotis seperti kerusakan yang disebabkan oleh alam, manusia, dan binatang, contoh: terjadinya penggaraman pada permukaan bahan Benda Cagar Budaya, tumbuhnya berbagai jenis lumut (moss), ganggang (algai), jamur kerak (lichen) pada permukaan Benda Cagar Budaya berhan batu dan lain-lain.
            Pemugaran : Pemugaran bangunan peninggalan sejarah dan purbakala adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk
            Menyelamatkan warisan budaya bangsa.Mengembangkan dan merangsang kembali gairah kebudayaan Nasional untuk dapat dijadikan sumber inspirasi daya cipta kehidupan bangsa dan sekaligus menjadi tumpuan kesadaran, kesatuan serta ketahanan nasional yang mantap dalam rangka mepupuk, membina dan mengembangkan keperibadian bangsa.
            Pendokumentasian peninggalan sejarah dan purbakala : Yang dimaksud dengan pendokumentasian peninggalan sejarah dan purbakala adalah serangkaian kegiatan penyelenggaraan pendokumentasian atau perekaman data/fakta yang dapat memberikan informasi atau pembuktian akan kenyataan mengenai keadaan, proses, kejadian dan lain-lain tentang peninggalan sejarah dan purbakala dalam bentuk visual, registrasi dan penetapan.
            Bimbingan dan penyuluhan peninggalan sejarah dan purbakala : Kegiatan bimbingan dan penyuluhan peninggalan sejarah dan purbakala meliputi : cultural edukatif yakni meningkatkan aspirasi masyarakat tentang warisan budaya bangsa untuk memperkukuh keperibadian nasional, utuhnya wawasan nusantara serta ketahanan nasional. Disamping itu agar masyarakat memahami dan dapat melaksanakan pelestarian Benda Cagar Budaya/situs sesuai dengan amanat Undang-undang No.5 Tahun 1992 tentang "Benda Cagar Budaya", adapun sasaran kegiatan adalah : Pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum.
Gambar barang peningalan:
           
Gambar peti batu yang besar memanjang.di temukan di gianyar
                  
Gambar peti batu bulat.di temukan didesa taman bali bangli
Pura Kebo Edan
Pura Kebo Edan adalah tempat pemujaan Hindu Tantrayana yang memfokuskan pemujaan Sakti sebagai Ista Dewatanya. Hal ini disimpulkan oleh para ahli ilmu purbakala seperti De. W.F. Stuttwerheim dari negeri Belanda. Kesimpulan tersebut diambil dari beberapa peninggalan purbakala di Pura Kebo Edan. Seperti apakah konsep dan nilai-nilai yang terdapat dalam simbol-simbol peninggalan purbakala di Pura Kebo Edan itu?
Dalam kitab Maha Nirwana Tantra dinyatakan bahwa menghadapi kemelut hidup di zaman Kali ini dengan memprioritaskan pemujaan Sakti sebagai manifestasi Tuhan. Sakti itu juga disebut Dewi. Karena pada zaman Kali ini semakin kuat sinergi antara Guna Rajah dan Guna Tamas. Hal ini menyebabkan manusia itu hidup dengan gaya hedonis artinya ingin hidup enak dan bersenang-senang, tetapi dengan bermalas-malasan. Artinya gaya hidup enak tanpa kerja. 
Sementara Tantrayana itu mengajarkan hidup enak ini baik tetapi jangan seenaknya. Capailah hidup enak tetapi dengan kerja keras. Seseorang akan bisa kerja keras apabila potensi yang ada dalam dirinya benar-benar bangkit. Beragama dengan menguatkan potensi diri itulah yang disebut dengan Niwrti Marga sebagai konsep beragama yang ditekankan dalam ajaran Hindu Tantrayana. 
Pura Kebo Edan adalah pura sebagai tempat untuk melakukan ajaran Tantrayana. Tuhan dalam ajaran Tantrayana dipuja sebagai Dewi atau Sakti. Istilah Sakti ini sampai saat ini masih ada kesalahpahaman dalam masyarakat Hindu pada umumnya. Sakti diartikan sangat negatif. Kalau ada orang bisa menjadi siluman monyet, ular, kambing, nyala api (endih) atau rangda, dan lain-lain. itu disebut orang sakti. 
Dalam kitab ''Wrehaspati Tattwa'' rumusan Sakti dinyatakan sebagai berikut: Sakti ngarania sang sarwa jnyana muang sang sarwa karya. Artinya: Sakti adalah orang banyak ilmunya dan banyak kerjanya. Jadi orang sakti itu adalah orang yang rajin belajar dan banyak kerja mengamalkan ilmu yang didapatkan dari rajin belajar itu. Karena ajaran Tantrayana itu Ista Dewatanya adalah Sakti atau Dewi seperti Dewi Uma atau Dewi Durgha, maka timbulah kesalahpahaman tentang pengertian Sakti dalam ajaran Hindu Tantrayana. 
Sakti itu dikait-kaitkan dengan ajaran ilmu hitam. Orang-orang yang menganut ajaran Hindu Tantrayana sering dipojokkan negatif dalam masyarakat. Demikian juga praktik upacara Tantrayana dengan konsep Maka Kama Pancaka atau lebih terkenal dengan Panca Ma atau Malima yang juga salah artikan. 
Panca Ma itu adalah mamsa, mada, maituna, mudra dan matsarya. Mamsa diartikan makan daging bagaikan hewan buas. Mada diterjemahkan mabuk-mabukan. Maituna diterjemahkan melakukan hubungan seks secara erotis, dan seterusnya. Padahal ajaran tersebut bukanlah demikian artinya. Misalnya: Mamsa maksudnya mendayagunakan tubuh yang dibangun oleh darah, daging, tulang, otot, saraf, kelenjar dan lain-lain. itu untuk mendukung Guna Sattwam dan Rajah untuk membangun niat baik dan melakukan perbuatan baik. 
Demikian juga Mada, bukanlah untuk mabuk minum alkohol. Mada itu adalah membangun jiwa yang bersemangat bagaikan orang mabuk melakukan kegiatan belajar dan bekerja untuk melakukan kebenaran dan kebaikan. Dan di Bali sering disebut buduh melajah tur buduh megae. Maituna adalah sikap meditasi dengan melengkungkan lidah ke langit-langit mulut. Mudra bukan untuk melakukan gerak-gerik tangan untuk belajar ngeleak atau ilmu hitam. 
Mudra adalah menggunakan tangan dengan serasi dengan gerak kosmik untuk melakukan kerja keras dalam melakukan kebenaran dan kebaikan. Demikian seterusnya. Kesalahpahaman tentang ajaran Tantrayana itu sampai saat ini masih banyak yang terjadi. Mungkin zaman Kerajaan Singosari saat Raja Kertanegara memerintah ajaran Maha Kama Pancaka itu pernah dipraktikkan secara keliru sampai mentradisi. Dari tradisi yang keliru itulah menimbulkan kesalahpahaman sampai saat ini. 
Meskipun di beberapa tempat di India dan juga di Bali kesalahpahaman tentang ajaran Tantrayana pelan-pelan sudah mulai berubah ke arah konsep yang benar sesuai dengan ajaran Tantrayana. Adanya berbagai kesalahpahaman beberapa aspek ajaran Hindu memang bisa saja terjadi. Seperti ajaran Catur Varna menjadi ajaran Kasta. Adanya main judi justru di pura atau saat ada upacara agama. 
Demikian juga tentang kedudukan wanita diposisikan sebagai subordinasi laki-laki. Hal itu sangat terbalik dengan konsep kitab suci Hindu yang mendudukkan laki dan wanita secara setara. Karena itu sangatlah perlu ada upaya-upaya pengkajian pada beberapa tradisi Hindu yang sudah menyimpang jauh dari konsep awalnya.
Tentang ajaran Bhairawa dalam hubungannya dengan Tantrayana ada tiga aliran yaitu: Bhairawa Hala Cakra merupakan pertemuan ajaran Buddha dengan ajaran Tantrayana. Bhairawa Heru Cakra merupakan ajaran yang muncul dari tradisi kepercayaan Indonesia bercampur dengan Hala Cakra. Bhairawa Bima Sakti adalah pertemuan antara ajaran Bhairawa dengan ajaran Siwa. 
Raja Patih Kebo Parud di Bali menganut ajaran Bhairawa Bima Sakti. Ajaran Tantrayana yang dipraktikkan di Pura Kebo Edan adalah Bhairawa Bima Sakti. Atribut dari Bhairawa Bima Sakti di Pura Kebo Edan itu perlu direnungkan lebih dalam agar jangan mudah terpeleset pada penafsiran yang keliru. Misalnya adanya alat vital laki-laki dari Arca Bhairawa Bima Sakti itu. Alat vital tersebut kelihatan keluar ke samping kiri. Keberadaan alat vital arca tersebut bukanlah sebagai ekspresi porno. Hal itu melukiskan kesuburan sebagai simbol Purusa. 
Sementara munculnya ke samping kiri sebagai simbol Pradana. Kalau Purusa dan Pradana itu bertemu dengan sinergis akan munculah kemakmuran. Demikianlah cara umat zaman dahulu memotivasi rakyat sehingga terdorong secara spiritual untuk mengusahakan kemakmuran tersebut secara nyata. Arca Bhairawa Bima Sakti itu wajahnya menggunakan masker. Hal ini melambangkan bahwa ajaran Tantrayana itu adalah ajaran rahasia. 
Maksudnya hendaknya ajaran Tantrayana itu diajarkan secara didaktik dan metodik. Artinya mengajarkan hal-hal yang bersifat magis religius itu tidaklah boleh sembarangan. Kalau orang yang belajar itu tidak begitu berminat belajar, hendaknya jangan diajarkan ajaran yang rahasia tersebut, karena dapat disalahgunakan. Ajaran ilmu-ilmu duniawi saja tidak boleh diajarkan sembarangan, seperti ilmu kimia. Dapat saja ilmu itu disalahgunakan, seperti membuat bom untuk melakukan tindakan teroris, dan seterusnya. Marilah lewat Pura Kebo Edan kita luruskan ajaran Sakti memuja Tuhan untuk membangun kasih sayang merupakan potensi suci dalam diri manusia.

Tampak Siring
Nama Tampaksiring berasal dari dua buah kata bahasa Bali, yaitu "tampak" dan "siring", yang masing-masing bermakna telapak dan miring. Konon, menurut sebuah legenda yang terekam pada daun lontar Usana Bali, nama itu berasal dari bekas tapak kaki seorang raja yang bernama Mayadenawa. Raja ini pandai dan sakti, namun sayangnya ia bersifat angkara murka. Ia menganggap dirinya dewa serta menyuruh rakyatnya menyembahnya. Akibat dari tabiat Mayadenawa itu, Batara Indra marah dan mengirimkan bala tentaranya. Mayadenawa pun lari masuk hutan. Agar para pengejarnya kehilangan jejak, ia berjalan dengan memiringkan telapak kakinya. Dengan begitu ia berharap para pengejarnya tidak mengenali jejak telapak kakinya.
Namun demikian, ia dapat juga tertangkap oleh para pengejarnya. Sebelumnya, ia dengan sisa kesaktiannya berhasil menciptakan mata air yang beracun yang menyebabkan banyak kematian para pengejarnya setelah mereka meminum air dari mata air tersebut. Batara Indra kemudian menciptakan mata air yang lain sebagai penawar air beracun itu yang kemudian bernama "Tirta Empul" ("air suci"). Kawasan hutan yang dilalui Raja Mayadenawa dengan berjalan sambil memiringkan telapak kakinya itu terkenal dengan nama Tampaksiring.
Istana ini berdiri atas prakarsa Presiden Soekarno yang menginginkan adanya tempat peristirahatan yang hawanya sejuk jauh dari keramaian kota, cocok bagi Presiden Republik Indonesia beserta keluarga maupun bagi tamu-tamu negara.
Arsiteknya adalah R.M. Soedarsono dan istana ini dibangun secara bertahap. Komplek Istana Tampaksiring terdiri atas empat gedung utama yaitu Wisma Merdeka seluas 1.200 meter persegi dan Wisma Yudhistira seluas 2.000 meter persegi dan Ruang Serbaguna. Wisma Merdeka dan Wisma Yudhistira adalah bangunan yang pertama kali dibangun yaitu pada tahun 1957. Pada 1963 semua pembangunan selesai yaitu dengan berdirinya Wisma Negara dan Wisma Bima.
Istana Tampak Siring dibangun di areal berbukit dengan ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut (DPL). Para pelancong yang mengunjungi tempat ini dapat menyaksikan riwayat dan fungsi gedung bersejarah yang pernah digunakan oleh para presiden Republik Indonesia. Pada Wisma Merdeka yang memiliki luas 1.200 m2, misalnya, pengunjung dapat melihat Ruang Tidur I dan Ruang Tidur II Presiden, Ruang Tidur Keluarga, Ruang Tamu, serta Ruang Kerja dengan penataan yang demikian indah. Di gedung ini wisatawan juga dapat melihat hiasan-hiasan berupa patung serta lukisan-lukisan pilihan.
Sementara di Wisma Negara, para turis dapat menyaksikan sebuah bangunan dengan luas sekitar 1.476 m2 yang merupakan bangunan untuk menjamu para tamu negara. Antara Wisma Merdeka dan Wisma Negara terdapat celah sedalam + 15 meter yang memisahkan dua wisma tersebut. Oleh sebab itu, dibangunlah sebuah jembatan sepanjang 40 meter dengan lebar 1,5 meter untuk menghubungkan dua wisma itu. Para tamu negara biasanya akan diantar melalui jembatan ini untuk menuju Wisma Negara, sehingga jembatan ini juga dikenal dengan nama Jembatan Persahabatan. Para tamu kehormatan yang pernah melewati jembatan ini antara lain, Kaisar Hirihito dari Jepang, Presiden Tito dari Yugoslavia, Ho Chi Minh dari Vietnam, serta Ratu Juliana dari Nederland.
Wisma Yudhistira merupakan tempat menginap rombongan kepresidenan maupun rombongan tamu negara. Wisma yang terletak di tengah kompleks Istana Tampak Siring ini memiliki luas sekitar 1.825 m2. Sedangkan Wisma Bima dengan luas bangunan sekitar 2.000 m2 biasanya digunakan sebagai tempat istirahat para pengawal presiden maupun pengawal tamu negara. Gedung lain yang tak kalah penting adalah Gedung Konferensi. Gedung ini sengaja dibangun untuk keperluan rapat kabinet, jamuan makan malam tamu kenegaraan, serta konferensi-konferensi penting, seperti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN XIV yang diselenggarakan pada tanggal 7—8 Oktober 2003 silam.
Masih dalam kawasan istana ini, para turis juga dapat menikmati obyek wisata lainnya yang cukup terkenal di Pulau Bali, yaitu Pura Tampak Siring yang berada tepat di bawah Istana Tampak Siring. Pura ini juga dikenal dengan nama Pura Tirta Empul karena di pura ini terdapat sumber mata air suci (“tirta empul”). Di tempat ini, para turis dapat melakukan meditasi maupun meraup berkah dengan cara mandi di kolam khusus yang dialiri oleh air dari Tirta Empul. Mata air yang disakralkan ini konon sudah digunakan untuk penyucian dan pengobatan sejak seribu tahun yang lalu.

Pura Tirta Empul
http://suzannita.files.wordpress.com/2010/11/sdc12501.jpg?w=400&h=300Bali telah dikenal sebagai pulau seribu pura. Di antaranya adalah pura Tirta Empul. Dalam perjalanan menuju Kintamani, kami menyinggahi Istana Negara Tampaksiring terlebih dahulu. Tepat di bawah kawasan istana negara inilah pura Tirta Empul berada.
Tirta Empul bermakna air suci yang menyembur dari dalam tanah. Pura ini terletak sebelah timur di bawah Istana Tampaksiring tepatnya.
Pura Tirta Empul terkenal karena terdapat sumber air yang hingga kini dijadikan air suci untuk melukat oleh masyarakat dari seluruh pelosok Bali, tak jarang wisatawan yang berkunjung pun tertarik untuk ikut melukat.
Makna ritual adalah perlambang pembersihan manusia dari hal negatif. Air adalah media untuk membersihkan diri. Mereka melakukan ritual berdo’a dan menceburkan diri di  kolam, kemudian membasuh dengan air dari mata air Tirta Empul.
Pura Tirta Empul ini juga merupakan salah satu situs peninggalan sejarah di Bali khususnya Gianyar. Sehingga, presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno mendirikan sebuah Istana Presiden tepat di sebelah barat Pura Tirta Empul, Tampak Siring.
Para presiden Indonesia yang datang ke Bali biasanya menyempatkan diri singgah ke Istana Presiden Tampak Siring tersebut. Saat ini pura Tirta Empul dan lokasi tempat melukat tersebut merupakan salah satu lokasi wisata unggulan di kabupaten Gianyar.
Layaknya pura-pura lain di Bali, pura ini memiliki 3 bagian yang merupakan jaba pura (halaman muka), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan (bagian dalam).
Pada Jabe Tengah terdapat dua buah kolam persegi empat panjang, dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari timur ke barat menghadap ke selatan. Masing-masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri, diantaranya pancuran pengelukatan, pebersihan sidamala, dan pancuran cetik (racun).Ceritanya menarik bukan? Tentu  akan lebih menarik lagi kalau segera berkunjung ke tempat wisata ini sambil mengunjungi Istana Negara Tampak Siring.
http://suzannita.files.wordpress.com/2010/11/img_4113.jpg?w=400&h=266Pura Tirta Empul dan permandiannya Pura Tirta Empul terletak di Desa Tampak Siring yang berjarak sekitar 36 kilometer dari kota Denpasar. Pura Tirta Empul adalah peninggalan purba kala yang yang sangat menarik untuk dikunjungi. Sekedar informasi di sebelah barat daya pura ini terdapat istana Presiden Soekarno.
Tirta Empul sendiri berasal dari sumber mata air yang terdapat di dalam pura ini. Tirta Empul berarti mata air yang menyembur dari tanah. Air dari Tirta Empul ini mengalir ke Sungai Pakerisan. pura tirta empul didirikan pada tahun 960 A.D.


Pura tirta empul sendiri sama seperti pura di bali terbagi dalam 3 bagian yang merupakan jabe Pura (halaman muka), Jabe Tengah (halaman tengah), dan Jeroan (bagian dalam). Pada Jabe Tengah pura tirta empul terdapat dua buah kolam persegi empat panjang, dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari timur ke barat menghadap ke selatan. Masing-masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri, diantaranya pancuran Pengelukatan, Pebersihan Sidamala, dan pancuran Cetik (racun).
 Pesona Pulau Dewata memang tidak pernah habis untuk dinikmati dan tak akan lekang di makan waktu. Berbagai warisan budaya di Bali masih kokoh bertahan walau digempur arus globalisasi. Tak heran jika pulau seluas 5.634 km persegi tersebut selalu menjadi lokasi tujuan wisata baik wisatawan mancanegara maupun turis lokal.
Salah satu warisan budaya dari pulau kelahiran Untung Suropati ini adalah Pura Tirta Empul Tampak Siring. Pura yang masuk dalam wilayah Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar dimaksud berada tepat di sebelah Istana Presiden di Tampak Siring. Secara etimologi, Tirta Empul berarti air suci yang menyembul keluar dari tanah. Air tersebut kemudian mengalir ke sungai Pakerisan. Sumber air ini kerap digunakan untuk Upacara Melukat oleh ribuan penduduk Bali dengan makna sebagai perlambang pembersihan manusia dari berbagai hal-hal negatif.
Berdasarkan situs Parisada, pemandian Tirta Empul dibangun pada Sasih Kapal tahun Icaka 884 atau sekitar 962 Masehi pada zaman pemerintahan Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa. Sementara Pura Tirta Empul sendiri dibangun pada zaman Raja Masula Masuli, sesuai dengan yang tertoreh dalam lontar Usana Bali. Menurut prasasti Sading, Raja Masula Masuli berkuasa pada tahun Icaka 1100 atau 1178 Masehi.
Seperti pura lainnya di Bali, Pura Tirta Empul terdiri dari tiga bagian, Jaba Pura (Halaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah), dan Jeroan (Halaman Dalam). Pada Jaba Tengah terdapat dua kolam persegi panjang yang memiliki 30 buah pancuran, berderet dari Timur ke Barat menghadap ke Selatan. Masing -masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri diantaranya pancuran Pengelukatan, Pebersihan, Sudamala, dan Pancuran Cetik (Racun).
Pancuran Cetik dan nama Tirta Empul terkait erat dengan mitologi pertempuran Mayadenawa Raja Batu Anyar (Bedahulu) dengan Bhatara Indra. Dikisahkan, Raja Mayadenawa bersikap sewenang-wenang dan tidak mengijinkan rakyat melaksanakan upacara keagamaan untuk memohon keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Perbuatannya diketahui para Dewa yang dipimpin oleh Bhatara Indra yang kemudian menyerang Mayadenawa.Diperkirakan nama Tampaksiring berasal dari (bahasa Bali) kata tampak yang berarti “telapak” dan siring yang bermakna “miring”. Makna dari kedua kata itu konon terkait dengan sepotong legenda yang tersurat dan tersirat pada sebuah daun lontar, yang menyebutkan bahwa nama itu berasal dari bekas jejak telapak kaki seorang raja bernama Mayadenawa.Menurut lontar “Mayadanawantaka”, raja ini merupakan putra dari Bhagawan Kasyapa dengan Dewi Danu. Namun sayang, raja yang pandai dan sakti ini memiliki sifat durjana, berhasrat menguasai dunia dan mabuk akan kekuasaan. Terlebih ia mengklaim dirinya sebagai Dewa yang mengharuskan rakyat untuk menyembahnya.
Alkisah, lantaran tabiat buruk yang dimilikinya itu, lantas Batara Indra marah, kemudian menyerbu dan menggempurnya melalui bala tentara yang dikirim. Sembari berlari masuk hutan, Mayadenawa berupaya mengecoh pengejarnya dengan memiringkan telapak kakinya saat melangkah. Sebuah tipuan yang ia coba tebar agar para pengejar tak mengenali jejaknya. Konon dengan kesaktian yang dimilikinya, ia bisa berubah-ubah wujud atau rupa.
Namun, sepandai-pandai ia menyelinap, tertangkap juga oleh para pengejarnya, kendati sebelumnya  ia sempat menciptakan mata air beracun, yang menyebabkan banyak bala tentara menemui ajal usai mandi dan meminum air itu. Lantas sebagai tandingan, Batara Indra menciptakan mata air penawar racun itu. Air penawar itulah yang kemudian disebut dengan Tirta Empul (air suci). Sedangkan kawasan hutan yang dilewati Mayadenawa  dengan berjalan memiringkan telapak kakinya  dikenal dengan sebutan Tampak siring.
Lalu, bagaimana dengan keberadaan arsitektur Pura Tirta Empul beserta permandiannya itu?
Ktut Soebandi, dalam buku “Sejarah Pembangunan Pura-Pura di Bali” menyebutkan, Permandian Tirta Empul dibangun pada zaman pemerintahan Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa, dan hal ini dapat diketahui dari adanya sebuah piagam batu yang terdapat di desa Manukaya yang memuat tulisan dan angka yang menyebutkan bahwa permandian Tirta Empul dibangun pada Sasih Kapat tahun Icaka 884, sekitar Oktober tahun 962 Masehi. Lantas, bagaimana pula dengan Pura Tirta Empul-nya, apakah dibangun bersamaan dengan permandiannya?
Ternyata (masih dalam buku tersebut) antara lain dinyatakan bahwa Pura Tirta Empul dibangun pada zaman pemerintahan Raja Masula Masuli berkuasa dan memerintah di Bali. Hal ini dapat diketahui dari bunyi lontar Usana Bali. Isi dari lontar itu disebutkan artinya sebagai berikut: “Tatkala itu senang hatinya orang Bali semua, dipimpin oleh Baginda Raja Masula Masuli, dan rakyat seluruhnya merasa gembira, semua rakyat sama-sama mengeluarkan padas, serta bahan bangunan lainnya, seperti dari Blahbatuh, Pejeng, Tampaksiring”.
Dalam Prasasti Sading ada disebutkan, Raja Masula Masuli bertahta di Bali mulai tahun I€aka 1100 atau tahun 1178 M, yang memerintah selama 77 tahun. Berarti ada perbedaan waktu sekitar 216 tahun antara pembangunan permandian Tirta Empul dengan pembangunan puranya.
Jika dikaji dari perbedaan waktu dan fungsi dari ruang arsitektural, menunjukkan bahwa ruang telah mendahului kesadaran visual manusianya. Dalam hal ini setiap objek memiliki suatu hubungan dengan ruang. Objek selaku sumber mata air berhubungan dengan ruang, yakni ruang untuk mandi, citra ruang sebagai tempat religius untuk membersihkan diri secara alam sekala (nyata) maupun niskala (tak nyata).
Dalam suatu tatanan spasial, jika suatu objek  tempat mandi berdaya guna secara optimal, terciptalah suatu tatanan dari Ruang-Waktu. Permandian adalah ruang. Hubungan-hubungan yang dibangun oleh bentuk dan ruang akan menentukan ritme, nilai estetika, dan religius dari bangunan itu. Di mana ruang mandi ini bukan semata membersihkan badan-ragawi, namun juga rohani, yang dalam bahasa-spiritual-Bali disebut juga ngelukat.
Ruang sebagai suatu ide spiritual telah menjadi dorongan hakiki bagi ekspresi dalam pernyataan-pernyataan artistik, filosofis, etis, dan ritual. Kesatuan antara ruang dan waktu memberi kepada arsitektur tampilan yang wadahnya menampung kegiatan-kegiatan di dalamnya secara optimal. Ruang estetis-religius dari permandian dan puranya boleh dikata seni pembentukan ruang abstrak dan pengalaman ruang, lantaran ruang yang terbentuk penuh “daya hidup”, salah satunya muncul melalui kucuran air yang diyakini punya vibrasi suci dari dalam pancurannya.
Hal lain bila lebih dicermati lagi dari nilai historisnya, menurut Bernard M Feilden dalam buku “Conservation of Historic Buildings”, bahwa ada beberapa nilai pada prinsipnya terkandung dalam arsitektur yang bernilai sejarah yakni (1) nilai-nilai emosional seperti keajaiban, identitas, kontinyuitas, spiritual dan simbolis; (2) nilai-nilai kultural yang meliputi pendokumentasian, sejarah, arkeologi, usia dan kelangkaan, estetika dan simbolis, arsitektural, tata kota, pertamanan dan ekologikal; dan (3) nilai-nilai penggunaan seperti fungsional, ekonomi, sosial dan politik.
Bagaimana pemandangan di sekitar pura? Jika mengamati lingkungannya dari sisi tebing yang menghubungkan Istana Tampaksiring dengan Pura Tirta Empul dan permandiannya, di kejauhan utara terlihat kebiruan Gunung Batur dan keelokan panorama Gunung Agung di sebelah timur. Di sekitarnya juga nampak permukiman penduduk serta pemandangan persawahan berterasering di kemiringan pebukitan. Di sela-sela bangunan terhampar lansekap yang bernas oleh rimbun dedaunan dan tanaman hias, dengan rerumputan hijau berpaut pepohonan-pepohonan tua, menambah suasana keteduhan dan ketenangan di kawasan pura ini.
Secara arsitektural, Permandian dan Pura Tirta Empul ini memiliki nilai sejarah, bervibrasi spiritual, berkarakter khas, serta akrab dan ramah terhadap lingkungan.Tampilan arsitekturnya bernafaskan tradisi, serta menyatu terhadap kondisi alam di sekitarnya. Ruang-ruangnya pun menyiratkan makna yang religius.

Pura Gunung kawi
2587548-pura_agung_gunung_kawi_c_ukirsari-Ubud.jpgCandi Gunung Kawi, atau biasa juga dijuluki Candi Tebing Kawi. Meskipun merupakan salah satu situs purbakala yang dilindungi di Bali, tempat ini tetap menjadi tempat bersembahyang umat Hindu hingga sekarang. Nama Gunung Kawi sendiri konon berasal dari kata gunung (=gunung atau pegunungan) dan kawi(=pahatan).
 Jadi, nama gunung kawi seolah menyiratkan makna bahwa di tempat inilah sebuah gunung dipahat untuk menjadi sebuah candi. Kompleks candi yang unik ini pertama kali ditemukan oleh peneliti Belanda sekitar tahun 1920. Sejak itu, candi ini mulai menarik minat para peneliti, terutama para peneliti arkeologi kuno Bali. Menurut perkiraan para ahli, candi ini dibuat sekitar abad ke-11 M, yaitu pada masa pemerintahan Raja Udayana hingga pemerintahan Anak Wungsu. Candi Gunung Kawi terletak di Sungai Pakerisan, Dusun Penangka, Desa Sebatu, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Indonesia. Jalur menuju Candi Gunung Kawi merupakan jalur yang sama menuju Istana Tampak Siring.  Lokasi candi terletak sekitar 40 kilometer dari Kota Denpasar dengan perjalanan sekitar 1 jam menggunakan mobil atau motor. Sementara dari Kota Gianyar berjarak sekitar 21 kilometer atau sekitar setengah jam perjalanan. Apabila tidak membawa kendaraan pribadi, dari Denpasar maupun Gianyar wisatawan dapat memanfaatkan jasa taksi, bus pariwisata, maupun jasa agen perjalanan. Obyek wisata Candi Gunung Kawi telah dilengkapi berbagai fasilitas, seperti tempat parkir yang cukup memadai, para pemandu yang siap menjelaskan sejarah dan nilai budaya Candi Gunung Kawi, serta warung-warung yang menjual makan dan minuman di sekitar kompleks candi. Setelah melewati Gapura dan 315 anak tangga di pinggir sungai Pakerisan yaitu sebuah sungai yang mempunyai nilai sejarah yang sangat tinggi, terletak komplek Candi Gunung Kawi. Obyek wisata ini termasuk didalam wilayah Tampaksiring , kabupaten Gianyar kira-kira 40 km dari Denpasar. Disebelah tenggara dari komplek candi ini terletak Wihara (tempat tinggal atau asrama para Biksu/pendeta Budha). Peninggalan Candi dan Wihara di Gunung Kawi ini diperkirakan pada abad 11 masehi dan juga wujud toleransi hidup bergama pada waktu itu yang patut menjadi contoh dan tauladan bagi kita di masa ini, belajar dari kearifan masa lalu. Berkunjung ke situs Pura Gunung Kawi ini, memberikan anda wawasan serta keindahan alam yang menawan. Selamat berwisata di Bali , Gunung kawi kami merupakan salah satu cagar budaya bali yang berupa pahatan candi lokasinya objek wisata bali yang satu tidak jauh dengan objek wisata tampak siring yang dikenal sebagai sumber air suci yang di percaya sebagai tempat penyucian diri.
Mengenai nama Gunung Kawi ini belum diketahui secara pasti asal muasalnya. Namun secara etimologi (bahasa kerennya) dikatakan berasal dari kata Gunung dan Kawi yang berarti Gunung adalah daerah pegunungan dan Kawi adalah pahatan, jadi maksudnya ialah pahatan yang terdapat di pegunungan atau di atas batu padas. Menurut sejarahnya bahwasanya diantara raja-raja Bali yang memerintah Bali, yang paling terkenal adalah dari dinasti Warmadewa, Raja Udayana adalah berasal dari dinasti ini dan beliau adalah anak dari Ratu Campa yang diangkat anak oleh Warmadewa. Setelah dewasa beliau menikah dengan putri dari empu sendok dari jawa timur(kediri) yang bernama Gunapriya Dharma Patni, dari perkawinan ini beliau menurunkan Erlangga dan Anak Wungsu. Akhirnya setelah Erlangga wafat tahun 1041, kerajaannya di jawa timur dibagi 2(dua). Pendeta budha yang bernama Mpu Baradah dikirim ke Bali agar pulau Bali diberikan kepada salah satu putra Erlangga, tetapi ditolak oleh Mpu Kuturan. Selanjutnya Bali diperintah oleh Raja Anak Wungsu antara tahun 1049-1077 dan dibawah pemerintahanya Bali merupakan daerah yang subur dan tentram. Setelah beliau meninggal dunia abunya disimpan dalam satu candi dikomplek Candi Gunung Kawi. Tulisan yang terdapat di pintu masuk situs ini berbunyi ” Haji Lumah Ing Jalu” yang berarti Sang Raja dimakamkan di “Jalu” sama dengan “susuh” dari (ayam jantan) yang bentuknya sama dengan Kris, maka perkataan ” Ing Jalu” dapat ditafsirkan sebagai petunjuk ” Kali Kris” atau Pakerisan. Raja yang dimakamkan di Jalu dimaksud adalah Raja Udayana, Anak Wungsu, dan 4 orang permaisuri Raja serta Perdana Mentri raja.
Candi Gunung Kawi adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat memuliakan roh Raja Udayana beserta keluarganya. Tafsiran ini dihubungkan dengan pahatan prasasti pada salah satu candi. Candi Gunung Kawidibagi empat kelompok. Kelompok candi lima berada di sebelah timur Tukad Pakerisan. Semua bangunan mengarah ke barat. Candi Gunung Kawi memiliki fungsi sebagai tempat memuliakan roh suci Raja Udayana Warmadewa, Marakata, dan Anak Wungsu. Di sebelah barat Sungai Pakerisan terdapat kelompok candi empat. diperkirakan empat candi dimaksud sebagai “ padharman ” empat selir Raja Anak Wungsu. Di sebelah barat daya, ada satu candi yang dikenal dengan candi ke-10 (sepuluh). Pada pintu masuk candi gunung kawi terdapat tulisan “ rakryan ”. Mencermati tulisan huruf Kadiri Kwadrat tersebut, besar kemungkinan kelompok candi ke-10 sebagai tempat padharman pejabat atau perdana menteri pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu. Bentuk bangunan arsitektur Bali tidak hanya terbatas pada bangunan komersial atau hunian. Pura sebagai bangunan peribadahan merupakan bentuk bangunan yang bisa menjadi daya tarik wisatawan yang datang ke Bali. Keberadaan pura di Bali memang jamak. Meskipun wisatawan tak bisa masuk ke dalam pura, memandang keelokan bentuk pura dari luar sudah cukup memikat wisatawan. Dari sekian pura yang ada di Bali, Pura Gunung Kawi adalah salah satu pura yang patut Anda kunjungi. Banyak alasan mengapa pura yang lokasinya berada di wilayah Banjar (Dusun) Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali, harus Anda datangi. Setidaknya ada dua alasan yang bisa memicu Anda untuk datang ke tempat ini. Pertama karena letaknya berada di lembah bukit, dan kedua karena letaknya dikelilingi oleh candi yang dipahat langsung di dinding. Menuruni sekitar 320 anak tangga Memasuki kawasan Pura Gunung Kawi harus menyiapkan tenaga ekstra. Pura ini hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki dengan jarak yang relatif jauh dari parkiran mobil. Dari pintu gerbang, tempat pengunjung harus membeli karcis masuk seharga Rp 6.000, kita harus menuruni sekitar 320 anak tangga. Ini tak lain karena letak pura terdapat di dasar lembah. Perjalanan menuruni sekitar 320 anak tangga ini tak terasa melelahkan karena di sekeliling tangga Anda bisa melihat hamparan hijaunya sawah yang bentuk lahannya bertingkat. Selain itu, jika lelah, Anda bisa beristirahat di warung-warung yang ada di sebelah anak tangga. Sesampainya di dasar lembah, Anda akan memasuki lorong panjang yang konon dibuat dengan cara membelah batu besar. Lorong ini adalah pintu masuk menuju kawasan Pura Gunung Kawi. Kawasan yang ditemukan sekitar awal tahun 1910 ini terpisah menjadi dua bagian oleh Sungai/Tukad Pakerisan, bagian di sebelah barat dan bagian di sebelah timur Sungai Pakerisan. Di kedua bagian ini, Anda bisa melihat candi yang melekat langsung di dinding tebing. Candi yang dipahat langsung di dinding tebing inilah yang menjadi daya tarik mengapa Anda harus datang ke tempat ini. Empat gugusan  Pahatan candi yang ada di dinding tebing batu ini memiliki beberapa makna dan fungsi, baik yang berada di sisi barat, maupun timur Sungai Pakerisan. Menurut beberapa sumber literatur, adanya pahatan ini mengilhami penamaan kawasan ini. Ada yang menyebutkan bahwa kata ukiran dalam bahasa Jawa Kuno adalah Kawi. Karena adanya candi yang diukir di dinding tebing dan berada di pegunungan, maka pura yang ada di kawasan ini disebut Pura Gunung Kawi. Secara keseluruhan, pahatan candi di dinding tebing yang ada di kawasan Pura Gunung Kawi ini terbagi menjadi empat gugusan. Gugusan pertama terdiri dari 5 candi yang dipahat berderet dari arah utara ke selatan pada tebing yang ada di sisi timur sungai. Pada pahatan candi yang ada di sisi paling utara terdapat tulisan "Haji Lumah Ing Jalu". Dari tulisan ini, ada yang menyebutkan bahwa candi di sisi paling utara ini digunakan untuk istana pemujaan roh suci Raja Udayana. Sementara itu, candi di sebelahnya adalah istana untuk permaisurinya dan anak-anak Raja Udayana, Marakata dan Anak Wungsu. Gugusan kedua terdiri dari empat candi yang dipahat berderet dari arah utara ke selatan pada tebing yang ada di sisi barat sungai. Dr R Goris, arkeolog dari Belanda, dalam beberapa literaturya menyebutkan bahwa keempat deretan candi ini berfungsi sebagai kuil (padharman) bagi keempat permaisuri raja. Gugusan ketiga adalah bangunan biara dan ceruk (rongga besar) yang dipahatkan pada tebing yang terletak di sebelah selatan gugusan pertama. Adapun gugusan keempat merupakan sebuah candi dan ceruk yang digunakan sebagai tempat pertapaan. Letaknya berada sekitar 220 meter dari gugusan kedua. Lantas, di mana letak puranya? Pura ini sendiri letaknya berada di samping gugusan candi pertama. Di dalamnya terdapat bangunan-bangunan pelengkap pura, seperti pelinggih dan bale perantenan. Pura Gunung Kawi biasa digunakan pada saat upacara Piodalan. Upacara yang dilakukan setiap bulan purnama tiba ini adalah upacara pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya melalui sarana pemerajan, pura, dan kahyangan. Di ukur dengan jari. Jika ditilik ke masa lalu, keberadaan pura ini tidak terlepas dari gugusan-gugusan pahatan yang ada. Tulisan-tulisan yang ada di setiap pahatan yang berfungsi sebagai data arkeologi menunjukkan bahwa Pura Gunung Kawi di buat pada abad ke11. Hal ini terlihat dari tulisan "Haji Lumah Ing Jalu". Bentuk tulisan ini adalah bentuk tulisan kadiri kuadrat yang lazim digunakan di kerajaan yang ada di Jawa Timur pada abad ke-11. Pada masa itu, pemerintahan yang sedang berkuasa adalah Raja Marakatapangkaja. Oleh karena itu, banyak pihak yang mengatakan bahwa kompleks Aura Gunung Kawi ini dibangun oleh Raja Marakatapangkaja dan diselesaikan oleh Raja Anak Wungsu.  Salah satu bukti bahwa Raja Anak Wungsu yang menyelesaikan pembangunan ini adalah adanya makam abu Raja Anak Wungsu. Selain itu, di sini juga terdapat makam Raja Udayana, raja dari dinasti Warmadewa yang memimpin kerajaan terbesar di Bali.  Makam abu kedua raja ini berada di balik pahatan candi dinding. Dengan adanya makam ini, tak heran bila kompleks pura ini disebut sebagai makam Dinasti Warmadewa. Beberapa sumber literatur dan warga di sekitar Pura Gunung Kawi menyebutkan bahwa pahatan candi di tebing dibuat oleh Kebo Iwa, tokoh legenda rakyat Bali yang memiliki kekuatan besar. Ia membuat pahatan candi di tebing batu ini menggunakan kuku tangannya. Keelokan pahatan dinding dan pura yang ada di sini menawan dilihat dan harus dijaga keberadaannya. Oleh karena itu, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali menetapkan bahwa kawasan ini adalah aset purbakala yang harus selalu dilestarikan.  Menurut catatan sejarah, Raja Udayana merupakan salah satu raja terkenal di Bali yang berasal dari Dinasti Marwadewa. Melalui pernikahannya dengan seorang puteri dari Jawa yang bernama Gunapriya Dharma Patni, ia memiliki anak Erlangga dan Anak Wungsu. Setelah dewasa, Erlangga kemudian menjadi raja di Jawa Timur, sementara Anak Wungsu memerintah di Bali. Pada masa inilah diperkirakan candi tebing kawi dibangun. Salah satu bukti arkeologis untuk menguatkan asumsi tersebut adalah tulisan di atas pintu-semu yang menggunakan huruf Kediri yang berbunyi “haji lumah ing jalu”yang bermakna sang raja yang (secara simbolis) disemayamkan di Jalu. Raja yang dimaksud adalah Raja Udayana. Sedangkan kata jaluyang merupakan sebutan untuk taji (senjata) pada ayam jantan, dapat diasosiasikan juga sebagai keris atau pakerisan. Nama Sungai Pakerisan atau Tukad Pakerisan inilah yang kini dikenal sebagai nama sungai yang membelah dua tebing Candi Kawi tersebut.
Versi lainnya yang berasal dari cerita rakyat setempat menyebutkan bahwa pura atau candi Tebing Kawi ini dibuat oleh orang sakti bernama Kebo Iwa. Kebo Iwa merupakan tokoh legenda masyarakat Bali yang dipercaya memiliki tubuh yang sangat besar. Dengan kesaktiannya, konon Kebo Iwa menatahkan kuku-kukunya yang tajam dan kuat pada dinding batu cadas di Tukad Pakerisan itu. Dinding batu cadas tersebut seolah dipahat dengan halus dan baik, sehingga membentuk gugusan dinding candi yang indah. Pekerjaan yang seharusnya dikerjakan orang banyak dengan waktu yang relatif lama itu, konon mampu diselesaikan oleh Kebo Iwa selama sehari semalam. Candi Gunung Kawi memang unik dan mengesankan. Kesan itu setidaknya dimulai sejak Anda menuruni sejumlah 315 anak tangga di tubir Sungai Pakerisan. Suasana asri yang nampak dari rerimbunan pohon di tepi sungai, juga gemericik air dari sungai yang dikeramatkan di Bali ini membuat pengunjung seolah disambut oleh simfoni alam. Anak tangga-anak tangga untuk menuju Candi Gunung Kawi ini terbuat dari batu padas yang dibingkai dengan dinding batu. Sesampainya di kompleks candi, wisatawan akan menyaksikan dua kelompok percandian yang dipisahkan oleh aliran Sungai Pakerisan. Candi pertama terletak di sebelah barat sungai, menghadap ke timur, yang berjumlah empat buah. Sedangkan candi kedua terletak di sebelah timur sungai, menghadap ke barat, yang berjumlah lima buah. Pada kompleks candi di sebelah barat, juga dilengkapi kolam pemandian serta pancuran air. Menyaksikan dua kompleks candi ini, Anda akan dibuat takjub oleh pemandangan dinding-dinding batu cadas yang dipahat rapi membentuk ruang-ruang lengkung yang di dalamnya terdapat sebuah candi. Candi-candi ini sengaja dibuat di dalam cekungan untuk melindunginya dari ancaman erosi. Pada kompleks candi di sebelah barat terdapat semacam “ruang” pertapaan yang juga disebut wihara. Wihara tersebut dipahat di dalam tebing yang kokoh dan dilengkapi dengan pelataran, ruangan-ruangan kecil (seperti kamar) yang dilengkapi dengan jendela, serta lubang sirkulasi udara di bagian atapnya yang berfungsi juga untuk masuknya sinar matahari. Ruangan-ruangan di dalam wihara ini kemungkinan dahulu digunakan sebagai tempat meditasi maupun tempat pertemuan para pendeta atau tokoh-tokoh kerajaan lainnya. Ruangan yang digunakan sebagai tempat pertapaan atau meditasi. Situs lainnya yang masih satu kompleks dengan Candi Gunung Kawi adalah gapura dan tempat pertapaan yang disebut Geria Pedanda. Di tempat ini wisatawan dapat menyaksikan beberapa gapura dan tempat pertapaan. Para ahli menyebut tempat ini sebagai “Makam ke-10”. Penamaan oleh para ahli ini didasarkan pada tulisan singkat dengan huruf Kediri yang berbunyi “rakryan”, yang jika ditafsirkan merupakan tempat persemayaman seorang perdana menteri atau pejabat tinggi kerajaan. Sementara di bagian lain, agak jauh ke arah tenggara dari kompleks Candi Gunung Kawi, melewati persawahan yang menghijau, terdapat beberapa ceruk tempat pertapaan dan sebuah wihara yang nampaknya sebagian belum terselesaikan secara sempurna oleh pembuatnya. Kompleks Candi Gunung Kawi memang sengaja dibuat untuk persemayaman Raja Udayana dan anak-anaknya. Namun makna persemayaman di sini bukan sebagai kuburan untuk badan sang Raja dan keluarganya, melainkan dalam pengertian simbolis, yakni untuk penghormatan kepada sang raja. Oleh sebab itu, mengunjungi tempat ini Anda akan mendapatkan suasana tenang dan damai. Kompleks Candi Gunung Kawi memang merupakan tempat ideal untuk bermeditasi, sembahyang, atau untuk sekedar berwisata. Lokasinya yang sejuk dan terletak persis di tepi sungai membuat kompleks percandian ini menawarkan aura ketenangan batin yang dalam.
Pura Panataran Sasih
Pura Penataran Sasih merupakan salah satu pura yang memiliki jejak sejarah yang sangat panjang. Pura kahyangan jagat yang terletak di Banjar Intaran, Desa Pejeng, Tampaksiring, Gianyar ini juga lebih banyak diketahui dari berbagai mitos yang ada. Salah satunya adalah ''bulan Pejeng'' di Pura Penataran Sasih.
Dari beberapa referensi dan sumber yang ada menyebutkan bahwa Pura Penataran Sasih adalah pura tertua yang merupakan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno. Bahkan seorang arkeolog R. Goris dalam buku ''Keadaan Pura-pura di Bali'' juga menyebutkan bahwa pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno terletak di Bedulu, Pejeng. Dari hasil penelitian terhadap peninggalan benda-benda kuno di areal pura, diduga Pura Penataran Sasih telah ada sebelum pengaruh Hindu masuk ke Bali, satu era dan zaman Dongson di China, sekitar 300 tahun Sebelum Masehi. Jauh sebelum Hindu masuk ke Bali sekitar abad ke-8 Masehi.
Di Pura yang terletak di Pejeng ini terdapat Nekara perunggu berukuran 186,5 cm, pura ini dikaitkan dengan Kebo Iwa, seorang Mahapatih Kerajaan Bali Kuno sebagai subang (anting-anting), yang konon dikalahkan oleh Gajah Mada dengan taktik licik guna menguasai Bali. Selain itu, keberadaan nekara perunggu tersebut dikaitkan dengan mitos keberadaan ''bulan Pejeng'' tersebut dengan kisah kencing maling meguna. di Pura Penataran Sasih mengandung nilai simbolis magis yang sangat tinggi. Pada nekara tersebut terdapat hiasan kodok muka sebagai sarana penghormatan pada leluhur sebagai pelindung. Dalam kaitannya ini simbolis magis tersebut berfungsi sebagai media untuk memohon hujan.
Di samping nekara perunggu, di Pura Penataran Sasih juga terdapat peninggalan berupa pecahan prasasti yang ditulis pada batu padas. Hanya tulisan yang mempergunakan bahasa Kawi dan Sansekerta itu tidak bisa dibaca karena termakan usia. Namun, dari hasil penelitian yang dilakukan, ada kemungkinan pecahan prasasti tersebut berasal dari abad ke-9 atau permulaan abad ke-10. Di Pura Penataran Sasih juga tersimpan pula beberapa peninggalan masa Hindu masuk ke Bali, seperti prasasti dari batu yang berlokasi di jeroan di bagian selatan. Prasasti tersebut berkarakter huruf dari abad ke-10. Di bagian jaba pura, di sebelah tenggara ada fragmen atau bekas bangunan memuat prasasti beraksara kediri kwadrat (segi empat) yang menyebutkan Parad Sang Hyang Dharma yang artinya bangunan suci.
Pura Penataran Sasih sendiri terdiri atas lima palebaan, meliputi Pura Penataran Sasih sebagai pura induk. Bagian utara terdapat Pura Taman Sari, Pura Ratu Pasek, dan Pura Bale Agung. Sedangkan untuk bagian selatan terdapat Pura Ibu. Untuk areal Pura Penataran Sasih terutama di jeroan terdapat beberapa pelinggih. Dari pintu masuk, pada sisi jaba tengah terdapat bangunan Padma Kurung sebagai tempat penyimpanan Sang Hyang Jaran.
Deretan bagian timur terdapat bangunan pengaruman yang biasanya difungsikan sebagai tempat menstanakan simbol-simbol Ida Batara dari Pura Kahyangan Tiga di seluruh Pejeng. Pada bagian utara balai pengaruman terdapat pelinggih Ratu Sasih. Di samping itu, ada pula pesimpangan Ida Batara Gana dan gedong pasimpangan Ida Batara Brahma di deret selatan. Sementara itu, pada bagian utara terdapat gedong pasimpangan Batara Wisnu, dan di bagian barat terdapat gedong pasimpangan Batara Mahadewa. Untuk piodalan di Pura Penataran Sasih terbagi dalam dua bagian. Tiap 210 hari tepatnya Redite Umanis, wuku Langkir, berlangsung upacara yang dinamakan upacara panyelah yang berlangsung selama tiga hari. Sedangkan untuk karya agung berlangsung pada purnama kesanga, nemu pasah.
Di samping, sebagai pura yang menyimpan benda-benda purbakala, Pura Penataran Sasih juga terkenal dengan tarian sakralnya yakni tarian Sang Hyang Jaran. Tarian Sang Hyang adalah suatu tarian sakral yang berfungsi sebagai pelengkap upacara untuk mengusir wabah penyakit yang sedang melanda suatu desa atau daerah. Selain untuk mengusir wabah penyakit, tarian ini juga digunakan sebagai sarana pelindung terhadap ancaman dari kekuatan magi hitam (black magic). Tari yang merupakan sisa-sisa kebudayaan pra-Hindu ini biasanya ditarikan oleh dua gadis yang masih kecil (belum dewasa) dan dianggap masih suci. Sebelum dapat menarikan sanghyang calon penarinya harus menjalankan beberapa pantangan, seperti: tidak boleh lewat di bawah jemuran pakaian, tidak boleh berkata jorok dan kasar, tidak boleh berbohong, dan tidak boleh mencuri.
Ada satu hal yang sangat menarik dalam kesenian ini, yaitu pemainnya akan mengalami trance pada saat pementasan. Dalam keadaan seperti inilah mereka menari-nari, kadang-kadang di atas bara api dan selanjutnya berkeliling desa untuk mengusir wabah penyakit. Biasanya pertunjukan ini dilakukan pada malam hari sampai tengah malam.
Macam-macam Tari Sanghyang

Tarian sanghyang yang menjadi ciri khas orang Bali ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam, yaitu:
Sanghyang Dedari, adalah tarian yang dibawakan oleh satu atau dua orang gadis kecil. Sebelum mereka dengan musik gending pelebongan, hingga mereka menjadi trance. Dalam keadaan tidak sadar itu, penari Sanghang diarak memakai peralatan yang lazimnya disebut joli (tandu). Di Desa Pesangkan, Karangasem, penari sanghyang menari di atas sepotong bambu yang dipikul, sedang di Kabupaten Bangli penari sanghyang menari di atas pundak seorang laki-laki. Jenis tari Sanghyang seperti ini juga dikenal dengan nama tari Sanghyang Dewa.
Sanghyang Deling, adalah tarian yang dibawakan oleh dua orang gadis sambil membawa deling (boneka dari daun lontar) yang dipancangkan di atas sepotong bambu. Sanghyang deling dahulu hanya terdapat disekitar daerah Danau Batur, namun saat ini sudah tidak dijumpai lagi di tempat tersebut. Tarian yang hampir sama dengan sanghyang deling dapat dijumpai di Tabanan dan diberi nama sanghyang dangkluk.
Sanghyang Penyalin, adalah tarian yang dibawakan oleh seorang laki-laki sambil mengayun-ayunkan sepotong rotan panjang (penyalin) dalam keadaan tidak sadar (trance). Di Bali bagian utara tarian ini bukan dibawakan oleh seorang laki-laki, melainkan oleh seorang gadis (daha).
Sanghyang Cleng (babi hutan), adalah tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang berpakaian serat ijuk berwarna hitam. Ia menari berkeliling desa sambil menirukan gerakan-gerakan seekor celeng (babi hutan), dengan maksud mengusir roh jahat yang mengganggu ketenteraman desa.
Sanghyang Memedi, adalah tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang berpakaian daun atau pohon padi sehingga menyerupai memedi (makhluk halus).
Sanghyang Bungbung, adalah tarian yang dimainkan oleh seorang perempuan sambil membawa potongan bambu yang dilukis seperti manusia. Tari sanghyang bungbung ini terdapat Di Desa Sanur, Denpasar, dan hanya dipergelarkan pada saat bulan purnama.
Sanghyang Kidang, yang hanya dijumpai di Bali utara, ditarikan oleh seorang perempuan. Dalam keadaan tidak sadar, penari menirukan gerakan-gerakan seekor kidang (kijang). Tarian ini diiringi dengan nyanyian tanpa mempergunakan alat musik.
Sanghyang Janger. Dahulu tarian ini dimainkan dalam keadaan tidak sadar dan bersifat sakral. Namun kemudian mengalami perubahan dan menjadi tari Janger dengan iringan cak. Tari ini tersebar luas di seluruh pelosok Pulau Bali dengan makna yang sudah berbeda.
Sanghyang Sengkrong, adalah tarian yang dimainkan oleh oleh seorang anak laki-laki dalam keadaan tidak sadar (trance) sambil menutup rambutnya dengan kain putih (sengkrong). Sengkrong adalah kain putih panjang yang biasa digunakan oleh para leyak di Bali untuk menutup rambut yang terurai.
Sanghyang Jaran, adalah tarian yang dimainkan oleh dua orang laki-laki sambil menunggang kuda-kudaan yang terbuat dari rotan dan atau kayu dengan ekor yang terbuat dari pucuk daun kelapa. Di Bali utara, penari sanghyang jaran sambil menunggang kuda-kudaan juga mengenakan topeng dan diiringi dengan kecak. Sedangkan, di Desa Unggasan, Kuta, Kabupaeten Badung, Tari sanghyang jaran ditarikan secara berkala (lima hari sekali) pada bulan November sampai dengan Maret, dimana pada bulan-bulan tersebut diperkirakan wabah penyakit sedang berkecamuk. Selain itu, sanghyang jaran juga sering ditarikan sebagai kaul setelah sembuh dari suatu penyakit. Bentuk tari sanghyang jaran yang meniru gerakan kuda, hampir mirip tarian kuda lumping atau kuda kepang yang ada di Jawa.

Goa Gajah
Pura Goa Gajah itu terletak di Desa Bedaulu Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Pura ini memiliki banyak peninggalan purbakala. Karena itu pura ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan asing maupun domestik. Pura ini dapat dibagi menjadi tiga bagian. Ada bangunan-bangunan suci Hindu yang amat tua sekitar abad ke-10 Masehi. Ada bangunan suci Hindu berupa pelinggih-pelinggih yang dibangun setelah abad tersebut. Sedangkan yang ketiga ada bangunan peninggalan agama Buddha yang diperkirakan oleh para ahli sudah ada sekitar abad ke-8 Masehi sezaman dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah.
Di Pura Goa Gajah terdapat ceruk di mana di dalam salah satu ceruknya di arah timur goa terdapat tiga buah Lingga berjejer dalam satu lapik. Masing-masing Lingga di kelilingi oleh depalan Lingga kecil-kecil. Dalam tradisi Hindu Lingga itu adalah bangunan suci simbol pemujaan pada Dewa Siwa sebagai salah satu manifestasi Tuhan. Tiga Lingga ini mungkin sebagai salah satu peninggalan Hindu dari sekte Siwa Pasupata.
Tiga Lingga itu sebagai simbol sakral sebagai sarana pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa. Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa itu dalam fungsinya sebagai jiwa agung alam semesta. Siwa sebagai jiwa Bhur Loka. Sada Siwa sebagai jiwa agung Bhuwah Loka dan Parama Siwa sebagai jiwa Swah Loka. Tujuan pemujaan Tuhan sebagai Siwa jiwa agung Bhur Loka adalah untuk mencapai suka tanpa wali duhkha. Sebagai Sada Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tiada berpangkal dan tiada berujung. Sebagai Parama Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang bersifat niskala yang tidak dapat dibayangkan dalam wujud nyata dan tidak mungkin diberikan ciri-cirinya. Demikian dinyatakan dalam pustaka suci Wrehaspati Tattwa.
Masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil itu sebagai simbol delapan dewa di delapan penjuru dari masing-masing bhuwana tersebut. Delapan dewa itu disebut Astadipalaka, artinya delapan kemahakuasaan Tuhan sebagai pelindung seluruh penjuru alam. Memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa bertujuan untuk menguatkan jiwa untuk mencapai kesuksesan hidup di Tri Bhuwana.
Di ceruk bagian timur goa terdapat tiga Lingga besar berjejer di atas satu lapik, sedangkan di bagian baratnya terdapat arca Ganesa di goa berbentuk T. Jadinya di bagian hulu atau keluwan goa ada tiga Lingga simbol Siwa atau Sang Hyang Tri Purusa. Sedangkan di bagian teben adalah arca Ganesa yaitu putra Siwa dalam sistem pantheon Hindu. Karena adanya arca Ganesa inilah menurut Miguel Covarrubias goa ini bernama Goa Gajah.
Fungsi Dewa Ganesa dalam sistem pemujaan Hindu adalah sebagai Wighna-ghna Dewa dan sebagai Dewa Winayaka. Wighna artinya halangan atau tantangan. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Ganesa adalah pemujaan untuk mendapatkan tuntunan spiritual agar memiliki ketahanan diri dalam menghadapi berbagai halangan atau tantangan hidup. Ganesa dipuja sebagai Dewa Winayaka adalah untuk mendapatkan tuntunan Tuhan dalam mengembangkan hidup yang bijaksana. Kemampuan menghadapi tantangan dan mengembangkan kebijaksanaan ini sebagai langkah awal untuk meraih hidup yang damai dan sejahtera di bumi ini.
Di depan goa terdapat arca Pancuran dalam sebuah kolam permandian sakral yang karena zaman tertimbun tanah. Saat Kriygsman menjabat kepala kantor Prbakala di Bali, maka tahun 1954 permandian itu digali. Di permandian itu terdapat arca Widyadara dan Widyadhari. Arca pancuran ini ada enam buah. Tiga berjejer di bagian utara dan tiga di bagian selatan. Arca bidadari ini diletakkan di atas lapik teratai atau padma. Padma adalah simbol alam semesta stana Hyang Widhi.
images.jpgDi tengahnya ada arca laki simbol Widyadhara. Enam arca Widyadhari ini mengalirkan air dari pusat arca dan ada yang dari susu arca. Air yang mengalir di kolam itu sebagai simbol kesuburan. Tujuan pemujaan Tuhan dengan simbol Lingga sebagai media untuk memotivasi munculnya kesuburan. Lingga itu dibagi menjadi dua bagian yaitu alasnya disebut Yoni simbol Predana dan yang berdiri tegak di atas yoni itu disebut Lingga. Bagian bawah lingga berbentuk segi empat simbol Brahma Bhaga, di atasnya berbentuk segi delapan simbol Wisnu Bhaga.
Di atas segi delapan berbentuk bulat panjang. Inilah puncaknya sebagai Siwa Bhaga. Dalam upacara pemujaan Lingga ini disiram air atau dengan susu. Air atau susu itu ditampung melalui saluran yoni. Air itulah yang dipercikan ke sawah ladang memohon kesuburan pertanian dan perkebunan.
Arca pancuran itu lambang air mengalir untuk membangun kesuburan pertanian dalam arti luas. Dalam Canakya Nitisastra, air itu dinyatakan salah satu dari tiga Ratna Permata Bumi.
Tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan obat-obatan serta kata-kata bijak sebagai dua Ratna Permata lainnya. Bangunan suci Hindu di Pura Goa Gajah di samping ada bangunan peninggalan Hindu pada zaman eksisnya Hindu Siwa Pasupata pada zaman berikutnya ada pura sebagai pemujaan Hindu pada zaman Hindu Siwa Siddhanta telah berkembang. Karena itu di sebelah timur agak ke selatan Goa Gajah itu ada beberapa pelinggih. Ada Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung sebagai Pelinggih Pesimpangan Batara di Gunung Agung dan Gunung Batur.
Ada Pelinggih Gedong sebagai pelinggih leluhur para gusti di Bedaulu. Ada pelinggih Ratu Taman sebagai pemujaan Batara Wisnu sebagai dewanya air. Sebagaimana pura pada umumnya terdapat juga beberapa bangunan pelengkap. Seperti pelinggih Pengaruman sebagai tempat sesaji untuk persembahan saat ada upacara, baik upacara piodalan maupun karena ada hari raya Hindu lainnya.
Peninggalan yang lebih kuno dari peninggalan Hindu di Pura Goa Gajah adalah adanya peninggalan agama Buddha. Di luar goa di sebelah baratnya ada arca Buddhis yaitu Dewi Hariti di Bali disebut arca Men Brayut. Arca ini dilukiskan sebagai seorang wanita yang memangku banyak anak. Dalam mitologi agama Buddha, Hariti ini pada mulanya seorang wanita pemakan daging manusia terutama daging anak-anak. Setelah Hariti ini mempelajari ajaran Sang Budsha, Hariti akhirnya menjadi seorang yang sangat religius dan penyayang anak-anak.
Di sebelah selatan Goa Gajah melalui parit diketemukan arca Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba. Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba ini dalam sistem pantheon Buddha Mahayana sebagai Buddha pelindung arah barat alam semesta. Demikian tiga wajud bangunan keagamaan Hindu dan Buddha di Pura Goa Gajah.* I Ketut Gobyah
Toleransi Beragama di Pura Goa Gajah Di Pura Goa Gajah ada tiga tipe bangunan keagamaan yang berbeda-beda. Ada bangunan keagamaan Hindu pada saat berkembangnya Hindu Siwa Pasupati. Dengan bukti-bukti adanya Arca Tiga Lingga yang masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil. Ada bangunan keagamaan yang bercorak Siwa Siddhanta dengan adanya pelinggih-pelinggih di sebelah timur agak keselatan dari Goa Gajah. Di samping itu ada bangunan keagamaan Buddha yang bercorak Buddha Mahayana. Apa dan bagaimana konsep dan misi pembangunan Pura Goa Gajah tersebut?
Tiga bentuk bangunan keagamaan di Pura Goa Gajah ini sungguh sangat menarik untuk dijadikan bahan renungan di zaman modern dengan teknologi hidup yang serba canggih. Yang patut dikaji adalah sikap toleransi leluhur orang Bali pada zaman lampau itu. Agama Hindu sekte Siwa Pasupati memang ada perbedaannya dengan agama Hindu Siwa Siddhanta. Tetapi substansi keagamaan Hindu tersebut adalah sama bersumber pada Weda. Hakikat sejarah munculnya agama Buddha pun berasal dari proses pengamalan ajaran suci Weda. Ajaran Hindu Siwa Pasupata menekankan pada arah beragama ke dalam diri sendiri. Arah beragama Hindu itu ada dua yaitu Niwrti Marga dan Prawrti Marga. Niwrti Marga adalah arah beragama dengan memprioritaskan penguatan hati nurani, sedangkan Hindu Siwa Siddhanta lebih menekankan pada Prawrti Marga dengan orientasi beragama ke luar diri. Namun bukan berarti tidak menggunakan cara Niwrti. Hanya perbedaan pada penekanannya saja.
Cara Niwrti ditempuh untuk mencapai keadaan yang ”Pasupata”. Pasu artinya hawa nafsu kebinatangan. Sedangkan kata Pata berasal dari kata Pati artinya Raja atau penguasa. Pasupata atau Pasupati artinya proses pemujaan Tuhan untuk dapat menguasai nafsu yang identik dengan sifat-sifat hewan. Barang siapa yang mampu menguasai nafsu yang identik dengan sifat-sifat hewan itu dialah yang akan dapat mencapai Siwa secara bertahap seperti yang dinyatakan dalam Wrehaspati Tattwa 50. Kalau sudah dapat menguasai diri sendiri maka proses hidup selanjutnya akan lebih lancar dalam menempuh cara Prawrti Marga.
Agama Hindu sekte Siwa Siddhanta seperti yang dianut oleh umat Hindu di Bali pada umumnya memiliki tujuan yang sama dengan Hindu Siwa Pasupata itu. Bedanya hanya penekanannya saja. Kata Siwa Siddhanta berarti sukses mencapai Siwa yang terakhir atau tertinggi. Jadinya dalam satu sekte saja agama Hindu memberikan kebebasan pada umatnya untuk memilihnya. Di Pura Goa Gajah, kedua cara itu dapat hidup berkelanjutan dan umat tidak dipaksa harus ikut ini atau itu.
Umat dipersilakan secara mandiri untuk memilihnya atau memadukan semua cara tersebut. Ini artinya penganut Siwa Siddhanta tidak menganggap penganut Siwa Pasupata sebagai penganut sesat. Mereka menyadari substansi ajaran agama Hindu yang mereka anut sama yaitu berdasarkan Weda. Demikian juga sebaliknya yang menganut Siwa Pasupata tidak menganggap penganut Siwa Siddanta sebagai orang lain. Ini artinya umat Hindu pada zaman dahulu itu benar-benar menghormati privasi beragama sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi.
Sikap keagamaan umat Hindu yang dicerminkan oleh umat Hindu di masa lampau di Pura Goa Gajah dan sesungguhnya pada peninggalan Hindu kuno yang lainnya di Indonesia. Tentunya akan sangat janggal kalau pada zaman sekarang ada misalnya umat yang bersifat negatif pada orang lain yang berbeda sistem penekanan beragamanya.
Umat Hindu di masa lampau terutama para pemimpinnya benar-benar sudah memiliki jiwa besar dalam mengelola perbedaan. Karena perbedaan itu merupakan suatu kenyataan yang universal. Artinya, perbedaan itu akan selalu ada sepanjang masa, di mana pun dan kapan pun. Akan menjadi sesuatu yang tidak produktif kalau ada yang memaksakan agar mereka yang berbeda ditekan dengan cara-cara pendekatan kekuasaan. Menyikapi perbedaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu dan nilai-nilai universal yang dianut oleh dunia dewasa ini.
Demikian juga halnya dengan peninggalan keagamaan Buddha Mahayana di Pura Goa Gajah yang jauh lebih awal berada di Bali. Munculnya Sidharta Gautama sebagai Buddha diawali oleh adanya dua aliran Hindu yaitu Tithiyas dan Carwakas. Aliran Tithiyas dan Carwakas sama-sama meyakini bahwa penderitaan itu karena keterikatan manusia pada kehidupan duniawi yang tidak langgeng ini. Mereka berbeda dalam hal cara mengatasi keterikatan nafsu tersebut.
Carwakas memandang agar nafsu tidak mengikat maka nafsu itu harus dituangkan bagaikan menuangkan air di gelas. Dengan nafsu itu terus dipenuhi sesuai dengan gejolaknya maka nafsu itu akan habis dan lenyap maka manusia pun akan bebas dari ikatan hawa nafsu. Sebaliknya aliran Tithyas berpendapat bahwa nafsu itu harus dimatikan dengan menghentikan fungsi alat-alatnya. Agar mata tidak ingin melihat yang baik-baik dan indah-indah saja maka mata dibuat buta dengan cara melihat mata hari yang sedang terik. Lidah dibuat sampai tidak berfungsi. Ada yang sampai membakar kemaluannya agar nafsu seksnya hilang.
Kedua aliran itu membuat umat menderita. Dalam keadaan seperti itulah muncul Sidharta Gautama yang telah mencapai alam Buddha memberikan pentunjuk praktis beragama. Ajarannya adalah Sila Prajnya dan Samadhi. Sila berbuat baik sesuai dengan suara hati nurani. Suara hati nurani adalah suara Atman. Atman adalah bagian dari Brahman. Teknis berbuat baik itu didasarkan pada Prajnya artinya ilmu pengetahuan. Dalam berbuat baik hendaknya bersikap konsisten dengan konsentrasi yang prima. Itulah Samadhi. Inilah inti wacana Sidharta Gautama dalam menyelamatan umat dari perbedaan yang dipertentangkan itu.
Setelah seratus tahun Sidharta mencapai Nirwana barulah wacana sucinya itu dikumpulkan menjadi tiga keranjang sehingga bernama Tri Pitaka. Jadinya keberadaan agama Buddha di Pura Goa Gajah substansinya tidaklah berbeda apalagi berlawanan dengan ajaran Hindu Siwa Pasupata maupun Siwa Siddhanta. Tiga corak keagamaan yang ada di Pura Goa Gajah itu memang berbeda tetapi perbedaan itu terletak pada cara atau metodenya saja. Substansi ketiga corak keagamaan Hindu dan Buddha yang ada di Pura Goa Gajah itu sama-sama menuntun umat manusia untuk mencapai hidup bahagia dan sejahtera di dunia dan mencapai alam ketuhanan di dunia niskala.
Keberadaan ciptaan Tuhan ini memang Sama Beda. Namun yang penting adalah bagaimana cara memposisikan persamaan dan perbedaan tersebut. Kalau persamaan dan perbedaan itu dimanajemen dengan baik maka semuanya akan lebih produktif mendambakan hidup rukun dan damai mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera berdasarkan kebenaran dan kesucian.
 Trunyan
            Lokasi

            Trunyan adalah sebuah desa yang terletak di bagian lekukan tepi timur danau Batur  yang datar dan melandai. Danau Batur pada masa lampau merupakan sebuah kawah dari bagian kepundan gunung berapi gunung Batur purba yang telah meletus beberapa ratus ribu tahun yang lalu yaitu ketika jaman pleistosin bawah atau pleistosin awal. Kawah tersebut kemudian terisi air berubah menjadi danau yang kini bernama danau Batur. Pada bagian barat lubang kepundan tersebut kemudian muncul anak gunung berapi yang disebut gunung Batur dengan ketinggian 1717 meter.
            Desa Trunyan hawa udaranya sejuk karena berada pada alam daerah pegunungan yang berada pada ketinggian 1038 meter dari permukaan laut dengan suhu udara rata-rata diantara 18-19 derajat celcius. Untuk mencapai desa Trunyan tersebut dapat ditempuh dengan jalan darat dari Penelokan hanya sampai di suatu tempat di desa Kedisan lebih kurang sejauh 2 km. Selanjutnya untuk tiba di desa Trunyan harus menyeberang Danau Batur dengan perahu motor sejauh kira-kira 5 km.
            Danau Batur merupakan danau yang terbesar di pulau Bali, bentuknya memanjang ke arah utara-selatan sepanjang kurang lebih 9 km dengan lebar dari arah barat-timur sekitar 5 km. Dalamnya danau Batur pada bagian tengah di depan desa Trunyan diantara 65 m-70 m. Riak air danau Batur tenang, namun juga dapat memunculkan gelombang yang besar.
            Menurut raja Purana Pura Batur, di danau Batur terdapat Buka yaitu tempat munculnya mata air dan mengalirnya air danau Batur menuju daerah-daerah dataran yang lebih rendah pada beberapa sungai yang mengaliri persawahan di daerah Bali. Salah satu diantara Buka tersebut ialah “ Tirta Mas Mampeh “ merupakan mata air yang terletak di sebelah barat danau Batur, tempat mohon air suci pada waktu upacara keagamaan. Buka lain yang merupakan tempat mengalirnya air danau Batur keluar namanya “ Pelisan “ tempatnya di sebelah barat danau Batur dekat desa Kedisan. Air yang keluar tersebut menimbulkan pusaran-pusaran yang dapat menyedot siapa saja bila kurang hati-hati.
            Selain desa Trunyan, ada 4 desa lainnya yang juga terletak di tepi danau Batur yaitu desa Songan di tepi bagian utara, desa Abang, desa Buahan, desa Kedisan terletak di tepi bagian selatan. Kelima desa tersebut dinamakan “ Desa Bintang Danu “. Dalam prasasti Batur Pura Abang tahun saka 933 ( 1011 M ) yang dikeluarkan oleh raja Udayana disebutkan dengan nama “ Karaman I Wingkang Ranu “ yang berarti penduduk desa di tepi danau.
            Pada  masa sekarang wilayah desa Trunyan termasuk bagian kecamatan Kintamani daerah kabupaten Bangli. Dari Kintamani jauhnya sekitar 7 km dan dari Bangli jaraknya sekitar 70 km. Daerah Trunyan terdiri dari 5 tempek ( sejenis banjar ), yaitu tempek Trunyan, tempek Madya-pangkungan, tempek Bunut, tempek Puseh, dan tempek Mukus. Tempek Madya-pangkungan terletak di timur desa Trunyan, demikian pula tempek Bunut, sedangkan tempek lainnya terletak di tenggara.


Nama
            Nama Trunyan dan asal-usulnya dapat diketahui berdasarkan data yang terdapat dalam beberapa sumber antara lain: data prasasti, data mitos, dan data dalam legenda.
            Prasasti yang menyebutkan nama Trunyan antara lain terdapat dalam prasasti Trunyan AI dan Trunyan B. Prasasti Trunyan AI yang berangka tahun saka 813 ( 891 M ) menyebutkan nama Trunyan antara lain: banwa di Turunyan dan sanghyang di Turunyan. Prasasti Trunyan B bertahun saka 833 ( 911 M ) juga menyebutkan beberapa kali nama Trunyan seperti: banwa di Turunyan, sanghyang di Turunyan dan bhatara di Turunyan.
            Mitos dan legenda yang menceritakan tentang asal-usul nama Trunyan antara lain terdapat dalam cerita sebagai berikut:
a.       Dewi turun dari langit.
Mitos tersebut menceritakan bahwa pada jaman dahulu ada seorang dewi turun dari sorga ke bumi karena terpikat oleh adanya bau harum yang datang dari suatu tempat di bumi. Dewi tersebut menemukan tempat bau harum itu yang berasal dari suatu pohon yaitu “ Taru Menyan “ yang berarti pohon menyan. Tempat itu kemudian di beri nama Trunyan.
b.      Patung Ratu Sakti Pancering Jagat.
Patung tersebut adalah gambaran dari wujud dewa tertinggi yang disebut “ Ratu Sakti Pancering Jagat “. Patung dewa tertinggi tersebut dipandang bukan dibuat oleh manusia, tetapi merupakan sebuah “ piturun “. Piturun dimaksudkan sebagai yang “ turun “ atau yang diturunkan dari langit ke bumi oleh para dewa. Dewa tertinggi merupakan “ Hyang Piturun “ yang kemudian menjadi “ Turun Hyang “ dan selanjutnya menjadi nama Trunyan.

Sejarah
Sejarah desa Trunyan dapat ditelusuri berdasarkan sumber-sumber antara lain:
1.      Peninggalan dari masa Paleolitik.
Peninggalan tersebut antara lain: kapak genggam, kapak perimbas, pahat genggam, dan alat serut. Artefak-artefak itu diperkirakan berasal dari masa akhir pleistosin tengah atau awal pleistosin akhir sekitar 600.000-300.000 tahun yang lalu. Peralatan tersebut digunakan untuk berburu dan meramu serta kasar pembuatannya.
Selain di Trunyan peralatan jenis tersebut, baik tipe maupun bahannya yang dibuat dari batu-batu vulkanik juga ditemukan di desa Sembiran, Buleleng. Meskipun di desa Trunyan dan Sembiran tidak ditemukan fosil, namun berdasarkan analisis perbandingan dengan temuan-temuan sejenis di daerah lain seperti di daerah Pacitan ( Jawa Timur ) manusia pendukungnya adalah “ Pithecanthropus Erectus”.
2.      Peninggalan dari masa Megalitik.
Peninggalan yang berasal dari tradisi Megalitik di desa Trunyan antara lain terdapat unsur-unsurnya pada:
a.       Patung Ratu Sakti Pancering Jagat.
Menurut para ahli seperti R.Goris dan A.J Bernet Kempers, patung tersebut menunjukkan seni patung gaya megalitik, wajahnya lebih menyerupai wajah patung kuno asli dan dibuat dari batu berukuran besar, tingginya hampir 4 meter.
Meskipun demikian, bukanlah berarti bahwa patung itu berasal dari jaman Megalitik.
b.      Pura Bali desa Pancering Jagat Bali.
Unsur kebudayaan Megalitik yang terdapat di pura ini adalah struktur denah pura yang berbentuk teras, yang terdiri dari 11 teras atau halaman dan dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yang melajur dari selatan ke utara yaitu: Tempek Semangen, Tingkih Tengah, dan Penaleman.
Tempek Semangen yang merupakan halaman luar letaknya lebih rendah dari Tingkih Tengah yang merupakan halaman tengah. Untuk naik ke Tingkih Tengah terdapat tangga dari batu. Penaleman yang merupakan halaman dalam merupakan bagian utama, karena pada halaman itulah terdapat Palinggih Meru Tumpang Pitu yang merupakan sthana dari Ratu Sakti Pancering Jagat. Pada halaman itu, terdapat Meru Tumpang Telu yang merupakan sthana Ratu Ayu Pingit Dalam Daa yang dipandang sebagai istri dari Ratu Sakti Pancering Jagat.
c.       Jalan Batu Gede.
Jalan Batu Gede adalah jalan berupa tangga batu yang disusun dari bongkahan-bongkahan batu besar yang dibuat sebagai jalan setapak yang menghubungkan desa Trunyan dengan Tempek yang berada disebelah timurnya.
Menurut legenda, pembuatan jalan tersebut dapat diselesaikan dalam waktu singkat berkat bantuan dari seorang yang memiliki kekuatan yang luar biasa yang bernama Kebo Iwa.
3.      Peninggalan dari masa sejarah.
Dari masa sejarah terdapat prasasti yang terkait dengan desa Trunyan seperti:
a.       Prasasti Trunyan AI
Prasasti tersebut bertahun saka 813 ( 891 M ), berisi perintah kepada penduduk desa Trunyan untuk membangun tempat suci bagi “ Bhatara Da Tonta “. Penduduk desa Trunyan diwajibkan memelihara tempat suci tersebut dan kepada mereka dibebaskan membayar beberapa jenis pajak.
b.      Prasasti Trunyan AII
Prasasti tersebut bertahun saka 971 ( 1049 M ), dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu. Isinya pengukuhan kembali Prasasti Trunyan AI yang dikeluarkan oleh pemerintah kerajaan pada tahun saka 813 ( 891 M ).
c.       Prasasti Buahan A
Prasasti tersebut berangka tahun saka 916 ( 994 M ), isinya menyebutkan bahwa penduduk desa Buhan wajib ambil bagian dalam memperbaiki tempat suci di desa Trunyan.
d.      Prasasti Trunyan B
Prasasti Trunyan B berangka tahun saka 833 ( 911 M ), isinya yaitu  kewajiban bagi penduduk desa Air Rawang agar turut serta pada setiap bulan Bhadrawada dalam upacara pemujaan bagi “ Bhatara Da Tonta “ dewa tertinggi di Trunyan.
Pada upacara pemujaan tersebut pemukan Air Rawang ( Sahayan Padang ) harus mensucikan Sanghyang di Trunyan dengan mengambil air suci danau, kemudian menghiasnya dengan cincin dan permata.
e.       Prasasti Trunyan C
Prasasti Trunyan C bertahun saka 971 ( 1049 M ) dikeluarkan pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu, isinya antara lain menyebutkan ketentuan batas-batas wilayah desa Trunyan.
Legenda
Legenda merupakan cerita lisan yang dapat membantu dan menambah bahan sebagai data  sekunder di dalam mengungkapkan sejarah desa Trunyan. Legenda-legenda yang berhubungan dengan sejarah desa Trunyan, yaitu:
a.       Mitos seorang dewi turun dari langit.
Pada jaman dahulu turunlah seorang dewi dari langit karena tergiur oleh bau harum yang datang dari suatu tempat di bumi. Setelah ditelusuri, bau harum tersebut bersumber dari sebatang pohon menyan yang dinamakan “ Taru Menyan “. Semenjak itu tempat tersebut di namakan Trunyan. Dewi tersebut selanjutnya berdiam di Trunyan. Suatu ketika dewi itu marah dan merasa jengkel karena setiap saat selalu dilihat dan diamati oleh sang Surya, kemudian dewi itu menungging serta memperlihatkan alat kelaminnya. Akibatnya, secara gaib dewi itu mengandung dan lahirlah sepasang anak kembar buncing yaitu seorang laki-laki dan adiknya perempuan.
Setelah anak-anaknya dewasa, dewi itu kembali ke sorga dan kedua kakak beradik itu tinggal di Trunyan.
b.      Legenda penemuan patung Ratu Sakti Pancering Jagat.
Penduduk di desa Trunyan meyakini bahwa patung Ratu Sakti Pancering Jagat merupakan perwujudan dewa Tertinggi ( Bhatara Da Tonta ). Kata Da Tonta berasal dari akar kata tu dan awalan da ( ra ) serta akhiran nta yang berarti “ Dewa Tertinggi “ milik kita. Patung tersebut merupakan “ piturun “ yang diturunkan dari sorga oleh para dewa bukan dibuat oleh manusia. 
Pada mulanya patung dewa tertinggi tersebut ditemukan oleh seorang petani desa Trunyan yang sedang berburu kijang di desa Trunyan yang waktu itu masih berupa hutan belantara. Anjing yang menyertainya berburu secara tiba-tiba menggonggong dengan keras ke suatu tempat dan ketika didekati ternyata yang digonggong bukan seekor binatang mmelainkan sebuah patung berukuran kecil sekitar 10 cm tingginya. Sungguh ajaib ketika mau diambil patung tersebut tidak dapat terangkat oleh petani itu karena begitu kuat melekat di tanah. Segera patung itu ditutupi dan ia pulang kembali ke desanya.
Ia segera menceritakan kisah penemuan patung ajaib itu kepada penduduk desa lainnya. Esok harinya banyak yang datang ke tempat penemuan ingin melihat sendiri patung tersebut. Ajaib sekali ternyata patung tersebut sudah bertambah besar. Setiap kali diperiksa, patung itu bertambah besar dan tinggi hingga mencapai ukuran sekitar 4 m tingginya.
Patung ajaib itu kemudian dibuatkan tempat khusus, semula berbentuk gedong kemudian diganti dengan meru karena atap gedong tersebut bolong akibat ditembus kepala patung tersebut.  Awalnya meru yang dibuat sebagai pengganti gedong beratap tumpang 11, namun 4 tingkat dari atas roboh dan setelah diperbaiki menjadi meru bertumpang 7. Selanjutnya dibangun pura Bali desa Pancering Jagat Bali dan di pura itulah di puja dewa Tertinggi desa Trunyan yang disebut Bhatara Da Tonta atau Sanghyang di Trunyan.
c.       Legenda putra Dalem Solo mencari sumber bau harum.
Bau harum yang berasal dari desa Trunyan luar biasa harum sehingga tercium sampai ke keratin Dalem Solo. Harumnya bau itu amat menggiurkan sehingga 4 putra-putri Dalem Solo tertarik untuk melacaknya. Putra-putri Dalem Solo yang terakhir atau ke 4 adalah seorang perempuan.
Setelah lama menelusuri bau harum tersebut maka tibalah mereka di daerah Bali. Bau harum itu makin tajam tercium setelah mereka tiba di kaki selatan gunung Batur. Putri Dalem Solo memutuskan untuk tetap tinggal di daerah itu yang sekarang bernama Pura Batur atau Pura Ulun Danu Batur. Setelah menjadi dewi, putrid Dalem Solo dinamakan “ Ratu Ayu Mas Maketeg “.
Ketiga anak laki-laki putra Dalem  Solo melanjutkan perjalannya menyisir pinggir danau Batur. Setelah mereka tiba di suatu daerah pinggir barat daya danau Batur, tiba-tiba terdengar suara burung berkicau dengan merdunya sehingga daerah itu dinamakan Kedisan, dari asal kata kedis yang berarti burung. Putra Dalem Solo yang termuda berteriak kegirangan karena mendengar merdunya kicau burung tersebut. Kakak tertuanya menjadi sangat marah dan memaksa adiknya untuk tetap tinggal disana. Adiknya menolak dan karena emosi maka adiknya itu disepak sampai duduk bersila. Di desa Kedisan kini terdapat sebuah  pura yaitu pura Dalem Pingit, di pura itu terdapat Meru Tumpang Pitu sthana dari “ Ratu Sakti Sang Hyang Jero “. Di pura Pingit juga terdapat patung dalam sikap duduk bersila yang dipandang sebagai Bhatara, yaitu putra Dalem Solo yang ketiga.
Putra Dalem Solo yang tertua beserta adiknya yang kedua melanjutkan perjalannya, mereka menyisir tepi sebelah timur danau Beratan kemudian tiba di suatu daerah. Di tempat itu mereka  melihat dua perempuan sedang duduk-duduk sambil mencari kutu. Putra Dalem Solo yang kedua lalu menyapanya dengan ramah serta merta kegirangan karena lama tidak pernah berjumpa dengan seseorang. Tingkah laku adiknya tersebut menimbulkan kemarahan kakaknya dan menyuruh adiknya untuk diam di tempat tersebut. Adiknya menolak perintah kakaknya itu lalu kakaknya amat marah dan kemudian menendang adiknya sampai jatuh tertelungkup atau melingkuh. Kemudian kakaknya melanjutkan perjalannya sendirian dan membiarkan adiknya tinggal di tempat tersebut yang nantinya menjadi kepala desa disana. Desa itu kemudian disebut Dukuh Abang yang berasal dari kata melingkuh. Dahulu di tempat tersebut terdapat sebuah tempat suci yang diperuntukkan bagi putra Dalem Solo yang kedua tersebut yang setelah menjadi dewa dinamakan “ Ratu Sakti Dukuh “ dan di tempat suci itu juga terdapat sebuah patung Bhatara dari batu dalam sukap melingkuh yang dipandang sebagai perwujudan putra Dalem Solo yang kedua tersebut. Teramat sayang karena patung bersama tempat sucinya telah tertimbun tanah akibat tersapu banjir lahar pada tahun 1963 ketika gunung Agung meletus.
Putra Dalem Solo yang tertua kini sendirian menyusuri tepi danau Batur menuju kearah utara. Setelah menempuh perjalanan yang teramat sulit, maka tibalah ia di suatu daerah yang merupakan sumber dari adanya bau harum. Sumber bau tersebut ternyata berasal dari sebatang pohon menyan “ taru menyan “. Putra Dalem Solo tersebut berjumpa dengan seorang dewi yang cantik jelita sedang sendirian di bawah pohon menyan itu. Putra Dalem Solo tergerak hatinya melihat kemolekan dewi itu, ia merasakan ada asmara dan cinta. Mereka berdua saling merasakan rasa rindu, cinta, dan akhirnya memadu kasih seperti layaknya orang yang sudah berkeluarga. Setelah itu, putra Dalem Solo datang ke tempat kakak dewi tersebut serta menyatakan bahwa dirinya jatuh cinta pada adiknya dan akan melamar untuk dikawininya.
Lamaran putra Dalem Solo tersebut dapat diterima asalkan ia bersedia diangkat menjadi “ Pancer ing Jagat “ Trunyan yang berarti menjadi pemimpin ( pancer ) di desa ( jagat ) Trunyan. Persyaratan itu disanggupi oleh putra Dalem Solo dan segara dilaksanakanlah upacara perkawinannya. Dewi yang dikawini putra Dalem Solo tersebut ialah dewi yang merupakan kembar buncing yang terlahir dari seorang ibu yaitu dewi yang turun dari langit yang secara gaib dibuahi oleh dewa Matahari. Semenjak itu putra Dalem Solo disebut Abiseka sebagai seorang raja yaitu “ Ratu Sakti Pancering Jagat “. Istrinya disebut “ Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar “ dan dianggap sebagai penguasa danau Batur yaitu sebagai “ dewi Danu “. Beliau menguasai danau Batur bersama putranya yang bernama “ Ratu Gede Dalem Dasar “.
Bau harum yang keluar dari pohon menyan masih saja tercium dan dapat memikat perhatian orang-orang diluar desa Trunyan untuk datang kesana. Ratu Sakti Pancering Jagat sangat kuatir akan hal tersebut karena orang-orang luar sewaktu-waktu bisa saja menyerbu desa Trunyan, iri, terpesona oleh adanya bau harum itu.
Untuk menetralisir adanya bau harum tersebut, Ratu Sakti Pancering Jagat segera mengambil tindakan, yaitu melarang jasad atau mayat penduduk desa dikebumikan. Orang yang meningggal mayatnya harus ditempatkan dalam lubang kuburan tanpa ditutupi atau ditimbun dengan tanah serta membiarkannya membusuk dalam alam terbuka.
Semenjak itu, desa Trunyan tidak lagi mengeluarkan bau yang harum dan sebaliknya mayat orang Trunyan yang ditempatkan dalam lubang kuburan yang terbuka tidak mengeluarkan bau busuk.
Di pura Bali desa Pancering Jagat Bali pada halaman jeroan terdapat meru tumpang 7 dengan  sebuah patung peninggalan tradisi Megalitik. Patung tersebut dipandang sebagai wujud dari Ratu Sakti Pancering Jagat. Dari segi kebudayaan tampak wujud patung tersebut identik dengan konsep phallus atau lingga. Adapun lubang yang terdapat di dalam meru tumpang 3 pada halaman jeroan yang merupakan sthana dari Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar identik dengan konsep vulva atau yoni. Bila lingga dan yoni dipersatukan dalam upacara, maka akan menjadi kesuburan atau kemakmuran.
Sistem Religi
Salah satu unsur pokok dalam sistem religi orang-orang Trunyan adalah mengenai sistem kepercayaannya. Diantara  sistem kepercayaan tersebut terdapat kepercayaan yang sangat unik yang merupakan ciri khas kebudayaan Trunyan, yaitu:
a.       Cara penguburan orang Trunyan.
Berdasarkan tradisi, orang Trunyan mempunyai dua jenis cara penguburan, yaitu:
1.      Mepasah.
Yaitu penguburan mayat dengan cara meletakkan jenasah pada lubang kuburan yang dalamnya sekitar 20 cm tanpa ditimbun dengan tanah.
2.      Metanem.
Yaitu  penguburan mayat dengan cara meletakkan jenasah dalam lubang kuburan dengan ditimbuni tanah.
       Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka di desa Trunyan terdapat tiga jenis   kuburan yang disebut  sema atau sentra, yaitu:
1.      Sema Wayah.
            Sema wayah letaknya 400 meter disebelah utara desa Trunyan yang dapat dicapai hanya dengan pedau atau sampan. Di bagian utara sema wayah tersebut terdapat pura Dalem yang dipandang sebagai gerbang menuju sorga, bagi roh seseorang yang telah disucikan melalui upacara ngaben. Sema itu hanya digunakan untuk jenasah yang dikuburkan dengan cara mepasah. Mepasah dilakukan bagi orang-orang yang ketika matinya telah bersuami atau beristri, masih bujangan, dan anak-anak yang telah meketus ( anak yang gigi susunya telah tanggal ). Mereka harus mati secara wajar.
            Cara penguburan mepasah juga disebut dengan istilah lain yaitu exposure, penguburan dengan menaruh jenasah di atas tanah dalam alam terbuka.  Di sema wayah terdapat 7 liang lahat untuk para pedulu atau penghulu, letaknya disebelah luar dan 5 liang lahat lagi berjejer terletak di belakangnya yaitu untuk orang biasa. Liang-liang lahat tersebut dibatasi dengan ancak saji ( sejenis bagar bamboo yang ujung-ujungnya meruncing ).
            Bila liang lahat tersebut sudah penuh dengan mayat lama kemudian ada jenasah baru yang akan dikubur, maka jenasah yang lama dinaikkan dari liang lahat dan diletakkan pada pinggir lubang yang berisi jenasah baru. Oleh karena itulah terlihat banyak tengkorak berjejer bagaikan sedang dipamerkan. Hal tersebut justru merupakan hal yang menarik bagi para pengunjung, khususnya bagi para wisatawan.
2.      Sema Bantas.
            Sema bantas terletak di sebelah selatan desa Trunyan, yaitu pada suatu daerah yang terletak diantara lekukkan atau Belongan Cimelandung dan desa Abang. Jenasah yang dimakamkan disana diletakkan dalam lubang kuburan dan selanjutnya diurug atau ditimbun dengan tanah.
            Sema bantas digunakan bagi jenasah seseorang yang mati secara tidak wajar seperti salah pati ( dibunuh, kecelakaan, jenasah tidak utuh atau terdapat luka yang belum sembuh karena penyakit cacar atau lepra ). Demikian juga bagi jenasah yang mati karena angulah pati, yaitu mati karena bunuh diri.
            Sema bantas selain digunakan untuk mengubur jenasah orang mati karena mati tidak wajar tersebut juga dipakai untuk mengubur jenasah bayi yang belum meketus dengan cara tidak ditimbuni tanah, akan tetapi ditimbuni dengan batu.
3.      Sema Nguda.
            Sema nguda terdapat di suatu lekukan yang agak sempit di daerah antara sema wayah dan belongan Trunyan. Sema tersebut digunakan untuk dua jenis penguburan baik dengan cara mepasah maupun metanem.
            Jenasah yang dikubur dengan cara mepasah di sema nguda adalah khusus untuk orang-orang yang belum kawin dan anak-anak yang sedah meketus. Sedangkan bagi jenasah anak-anak yang belum meketus dikubur dengan cara metanem.
b.      Kepercayaan terhadap Betara Berutuk.
Betara Berutuk diyakini sebagai simbol atau wujud nyata dari Ratu Sakti Pancering Jagat, permaisurinya yaitu Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar, kakak Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar serta tokoh-tokoh lainnya yang tidak lagi diketahui identitasnya.
            Dari segi seni pentas Betara Berutuk termasuk seni drama suci karena dipentaskan pada saat upacara “ Saba Gede “ yang merupakan upacara terbesar di desa Trunyan yang  dipersembahkan kepada “ Ratu Sakti Pancering Jagat “. Saba Gede tersebut  dilaksanakan pada bulan purnama Sasih Kapat, sehingga upacara Saba Gede dinamakan pula upacara Purnama Kapat yang jatuh pada bulan Oktober. Adapun Purnama Kapat yang digunakan dalam pementasan drama suci tersebut, yaitu Purnama Kapat yang dinamakan “ Kapat Lanang “.
Selain Kapat Lanang dalam Purnama Kapat terdapat pula upacara yang disebut “ Kapat Wadon “. Kapat Lanang dan Kapat Wadon dilakukan secara bergilir dalam putaran waktu setahun sekali dengan mengutamakan palaksanaan Kapat Lanang.
Pembagian Purnama Kapat menjadi Kapat Lanang dan Kapat Wadon sesuai dengan konsep rwa bhineda ( dualisme ) yang melandasi pola hidup orang Trunyan, sehingga struktur desa Trunyan dibagi menjadi dua bagian yang tak terpisahkan yang terdiri dari dua Sibak atau Paruh yang disebut Sibak Luh atau Sibak Istri ( Paruh Perempuan ) dan Sibak Muani atau Sibak Lanang ( Paruh Laki-laki ). Dalam hubungannya dengan kepercayaan terhadap Betara Berutuk, penduduk desa Trunyan yang tergolong kedalam Sibak Muani menjadi iringan Betara Lanang yaitu Ratu Sakti Pancering Jagat dan yang termasuk Sibak Luh menjadi iringan Betara Istri yaitu Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar.
Pada upacara Kapat Wadon tidak diadakan pementasan drama suci Betara Berutuk dan pada saat tersebut hanya diadakan upacara member warna wastra ( kain tenun asli Trunyan  ) yang aslinya berwarna putih agar menjadi oranye. Bila pementasan drama suci Betara Berutuk pelakunya terutama para teruna atau remaja laki-laki, maka pada upacara pewarnaan wastra dilakukan oleh debunga yaitu remaja perempuan.
Bila fungsi pementasan drama suci Betara Berutuk bertujuan untuk mendatangkan kesuburan, maka fungsi pewarnaan wastra bertujuan untuk menguji keperawanan seorang debunga.
Aspek kesuburan yang merupakan fungsi pementasan drama suci Betara Berutuk ternyata secara simbolik dibeberkan dalam puncak pementasan, yaitu ketika Ratu Sakti Pancering Jagat berusaha memegang Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar yang kemudian dalam posisi berdiri memeluk tubuhnya serta kaki kanannya menjepit pinggulnya sehingga Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar berdiri dalam posisi seperti mengangkang. Posisi yang sedemikian itu tampak seperti ingin menggambarkan adanya suatu persentuhan erotis antara seorang suami dengan istrinya.
Persentuhan erotis secara simbolik antara Ratu Sakti Pancering Jagat dengan Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar dalam pementasan drama suci Betara Berutuk diyakini dapat mendatangkan kesuburan karena hujan akan turun, pertanian berhasil sehingga penduduk desa Trunyan akan hidup makmur. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pementasan drama suci Betara Berutuk merupakan kelanjutan dari tradisi  Megalitik, yaitu upacara pemujaan ternadap potensi kesuburan yaitu phalus ( simbol potensi laki-laki )  dan vulva ( simbol potensi perempuan ).
Nama Betara Berutuk berasal dari perpaduan kata Betara dan baru tuwuk. Kata tuwuk berarti sentuh, senggol, temu, sehingga baru tuwuk berarti bersentuhan, bersenggolan atau bertemu. Kata baru tuwuk itu kemudian menjadi kata Berutuk. Kata Betara menunjukkan bahwa pementasan drama suci Betara Berutuk disebut Ilen-ilen Betara.
Sehubungan  dengan pelaksanaan upacara  Saba Gede tersebut terdapat sebuah legenda yang menceritakan tugas suci yang sepatutnya dilaksanakan oleh penduduk desa Trunyan, yaitu tugas untuk melaksanakan meurup-urup.
Agar dapat diketahui dasarnya mengapa penduduk desa Trunyan melakukan tugas suci itu, berikut akan diuraikan mengenai legenda tersebut.
            Legenda Tentang Tugas Meurup-urup
            Dalem Solo selain mempunyai 4 orang anak yang tinggal di desa Trunyan dan desa-desa disekitarnya, beliau juga mempunyai putra lainnya yang tinggal di Tirta Empul, Tampak Siring, dan Gianyar. Konon pada suatu hari putranya itu pergi ke Majapahit untuk meminta agar Dalem Solo memberikan seperangkat gamelan kepadanya. Oleh karena gamelan yang diinginkan tidak ada, maka ayahnya tersebut akan menitipkan gamelan yang diinginkan kemudian. Mendengar ucapan tersebut, putra Dalem Solo akhirnya kembali ke Tirta Empul.
Selanjutnya putra Dalem Solo yang telah menjadi penguasa di desa Trunyan,
 yaitu Da Tonta dengan gelar  Ratu Sakti Pancering Jagat mengirim utusan ke     Majapahit untuk maksud yang sama, yaitu mohon bantuan seperangkat gamelan kepada ayahandanya. Utusan tersebut kemudian dititipi gamelan yang baru selesai dibuat dengan pesan agar gamelan tersebut diberikan kepada putranya yang di Tirta Empul, sedangkan gamelan untuk Da Tonta belum tersedia dan akan segera disusul. Untuk Da Tonta hanya diberikan labu kuning sebagai oleh-oleh yang katanya di dalamnya ada kerbau-kerbau yang baru boleh dibelah bila tiba di Trunyan dan kerbau-kerbaunya dapat digunakan untuk disembelih pada upacara Odal.
            Setelah cukup lama dalam perjalanan, utusan Da Tonta yang bernama Ki Pasek Trunyan tiba di daerah Mengwi. Merasa penasaran ingin segera mengetahui apa betul buah labu kuning yang berukuran kecil di dalamnya dapat menampung kerbau-kerbau yang ukurannya berlipat ganda besarnya jika dibandingkan dengan besarnya sebuah labu kuning. Maka  dibelahlah labu kuning tersebut dan betapa  herannya Kii Pasek Trunyan, sebab kerbau-kerbau yang dimaksud segera keluar dari dalam labu tersebut lari berhamburan tanpa dapat ditangkap.
            Ki Pasek Trunyan merasa bersalah, sehingga ia tidak menyerahkan gamelan titipan Dalem Solo kepada putranya di Tirta Empul akan tetapi menyerahkannya kepada Da Tonta di Trunyan.
            Putra Dalem Solo yang di Tirta Empul merasa risau karena sudah cukup lama menunggu gamelan yang dipesan dahulu. Kemudian beliau pergi ke Majapahit untuk menanyakan mengapa ia belum diberi gamelan oleh ayahnya. Dalem Solo merasa ada kejanggalan karena gamelan tersebut telah dititipkan dengan perantara seorang utusan yang diutus oleh putranya Da Tonta.
            Agar masalah gamelan menjadi jelas, maka Dalem Solo bersama putranya itu langsung menanyakan masalah gamelan tersebut ke Trunyan. Setelah tiba di Trunyan, Dalem Solo menanyakan masalah gamelan yang dititipkannya kepada Ki Pasek Trunyan. Ki Pasek Trunyan menjawab bahwa gamelan yang dititipkan padanya telah jatuh di danau Batur. Mendengar pengakuan tersebut Dalem Solo menjadi sangat marah dan mengatakan bahwa putranya Da Tonta harus ikut bertanggung jawab seraya member hukuman kepada rakyat Da Tonta, yaitu orang Trunyan agar setiap  menjelang Saba Gede melakukan tugas meurup-urup ke daerah-daerah di luar desa Trunyan.

Pura Besakih
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLChlTq9aBpun3AWqBOukydCDH8EMUF3RtWOL7hWPF6QkwYwLDc7iqjY0hfzoayXEnxDlds9WMRgQwwzTKizodAknwrBBmeAEVXQBFPVFjuwypmauVxtOeGIoHV9Hl9gO9ZdQtVNxElqo/s1600/pura-besakih.jpgPura Besakih terletak di Barat Daya Gunung Agung, desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Kira-kira 90 km arah Timur Laut kota Denpasar. Di ketinggian 1000 m dari permukaan air laut, dengan 298 buah bangunan dalam 18 buah komplek pura, merupakan pura terbesar di Bali, bahkan di Indonesia. Terhampar di kaki Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali yang tingginya mencapai 3142 m.Kata "Besakih" berasal dari kata "Basuki" yang berarti 'selamat' berkembang menjadi Basukir dan Basukih, trus menjadi Besakih. Nama tersebut terdapat dalam 2 prasasti yang disimpan di Gedong Penyimpenan di Natar Agung, sebuah prasasti di Merajan Selonding dan sebuah lagi di Pura Gaduh Sakti di desa Selat. Sejarah Pura Besakih berhubungan dengan perjalanan Sri Markandeya (seorang Brahmana Siwa) dari Gunung Raung, daerah Basuki, Jawa Timur. Rombongan beliau terpaksa kembali ke Jawa karena banyak yang meninggal terserang penyakit.
Setelah mendapat petunjuk di Gunung Raung, beliau kembali ke Bali dan mengadakan penanaman Panca Datu (5 jenis logam yaitu emas, perak, besi, tembaga dan permata) di lereng Gunung Agung yang kemudian dikenal dengan Pura Basukian.Pada zaman dahulu, Pura Besakih langsung ditangani oleh penguasa daerah Bali. Disebutkan Sri Wira Dalem Kesari yang membuat Merajan Selonding (sekitar tahun 250 M), kemungkinan beliau adalah Raja Kesari Warmadewa yang memerintah sekitar tahun 917. Prasastinya terdapat di Malet Gede, di Pura Puseh Panempahan dan di Belanjong. Pada zaman pemerintahan Sri Udayana Warmadewa, pura ini mendapat perhatian besar, seperti terdapat dalam prasasti Bradah, dan prasasti Gaduh Sakti. Dalam lontar Jaya Kesunu disebutkan Raja Sri Jayakesunu memerintahkan memasang penjor pada Hari Raya Galungan sebagai lambang Gunung Agung. Pada zaman Sri Kresna Kepakisan, seperti terdapat dalam lontar raja Purana Besakih tentang upacara, nama pelinggih, tanah wakaf (pelaba), susunan pengurus, tingkatan upacara diatur dengan baik. 

Fungsi umum pura ini adalah sebagai tempat bagi umat Hindu untuk memohon keselamatan (sesuai dengan nama pura). Pada waktu Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada setiap Bulan Purnama sasih kedasa (bulan Oktober) setiap tahunnya, seluruh umat Hindu datang berduyun-duyun untuk menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan. Di pura ini juga diadakan upacara Panca Wali Krama setiap 10 tahun sekali, dan yang terbesar adalah upacara Eka Dasa Ludra setiap 100 tahun sekali. Upacara Eka Dasa Ludra terakhir dilaksanakan tahun 1973, sayangnya saya belum lahir dan mungkin seumur hidup saya tak akan bisa menyaksikan upacara ini secara langsung.

Terdapat 18 komplek pura yaitu :

1.Pura Pesimpangan 
2.Pura Dalem Puri 
3.Pura Manik Mas 
4.Pura Bangun Sakti 
5.Pura Ulun Kulkul 
6.Pura Merajan Selonding 
7.Pura Gua 
8.Pura Banua 
9.Pura Merajan Kanginan 
10.Pura Hyang Haluh 
11.Pura Basukian 
12.Pura Kiduling Kreteg 
13,Pura Batu Madeg 
14.Pura Gelap 
15.Pura Penataran Agung 
16.Pura Pengubengan 
17.Pura Tirtha 
18.Pura Peninjoan
 



Selain ke-18 komplek pura tersebut, juga ada komplek Pura Padharman untuk pemujaan kelompok keturunan tertentu di Besakih. Komplek Pura Besakih sangat luas, dengan pemandangan Gunung Agung yang hijau, sangat indah. Kita benar-benar kagum dengan warisan leluhur kita serta semua anugerah Tuhan. Tempat ini benar-benar bagus untuk mencari ketenangan serta mendekatkan diri dengan Tuhan.

Secara Filosofi
Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat bersemayamnya Tuhan, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis.
Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi:
1.     Sistem pengetahuan,
2.     Peralatan hidup dan teknologi,
3.     Organisasi sosial kemasyarakatan,
4.     Mata pencaharian hidup,
5.     Sistem bahasa,
6.     Religi dan upacara, dan
7.     Kesenian.
Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional.
Fungsi Pura Besakih
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh99cKq3SvqNNMwzF-wjpDhkYH0IVU9m1N7TNQAwZ_O70RWnpJfwroLyGrb9uLFEmVuE1tOWzl7ymQIGr4S3a6lP6ZtgItbWD5F7l1gz91d2vFFjy0IRDMe_6lPAt0v-mJd4cp_LofwqkQ/s1600/gallery-Pura-Besakih.jpgPURA Besakih, pura terbesar di Bali, memiliki kedudukan amat utama dalam kehidupan beragama Hindu di Bali. Pura tempat dilangsungkannya upacara Panca Bali Krama tiap 10 tahun dan upacara Eka Dasa Rudra tiap 100 tahun ini memiliki banyak fungsi. Ada lima fungsinya yang paling utama.
Pertama, sebagai huluning Bali Rajya. Dalam Lontar Padma Bhuwana, Pura Besakih dinyatakan sebagai huluning Bali Rajya, hulunya daerah Bali. Pura Besakih sebagai kepalanya atau menjadi jiwanya pulau Bali. Hal ini sesuai dengan letak Pura Besakih di bagian timur laut Pulau Bali. Timur laut adalah arah gunung dan arah terbitnya matahari dengan sinarnya sebagai salah satu kekuatan alam ciptaan Tuhan yang menjadi sumber kehidupan di bumi. Pura Besakih adalah hulunya berbagai pura di Bali.
Pura Penataran Agung hulunya Pura Desa di desa pakraman. Pura Basukian hulunya Pura Puseh, Pura Dalem Puri hulunya Pura Dalem di tiap desa pakraman di Bali. Pura Pesimpangan dengan Pelinggih Limas Catu yaitu Pelinggih Gedong dengan.atapnya lancip sebagai hulunya palinggih Pesimpangan Besakih yang umumnya ada di tiap merajan gede keluarga di Bali. Pura Ulun Kulkul hulunya kulkul di Bali. Pura Jenggala hulunya Pura Prajapati di Bali. Demikian seterusnya, berbagai kompleks di Pura Besakih sebagai hulu berbagai pura di Bali.
Kedua, Pura Besakih sebagai pura Rwa Bhineda. Dalam konsep Rwa Bhineda, Tuhan dipuja sebagai pencipta dua unsur alam semesta yaitu unsur purusa dan unsur pradana. Purusa artinya jiwa, pradana artinya badan material. Semua makhluk hidup tercipta dari dua unsur tersebut. Demikian juga alam semesta berputar sesuai dengan hukum alam (rta) karena adanya dua unsur tersebut. Tuhan sebagai jiwa alam semesta disebut Brahman. Sedangkan Tuhan sebagai jiwa makhluk hidup disebut Atman.
Pura yang tergolong pura Rwa Bhineda adalah Pura Besakih sebagai Pura Purusa dan Pura Batur sebagai Pura Pradana. Kalau purusa kuat bertemu dengan pradana maka pencitaan akan terus berlanjut dengan baik. Pemujaan Tuhan di Pura Purusa dan Pradana untuk memotivasikan umat manusia agar mengupayakan kehidupan yang seimbang antara kehidupan mental spiritual dan kehidupan fisik material.
Bangunan yang paling utama di Pura Besakih adalah Pelinggih Padma Tiga yang terletak di Penataran Agung. Pelinggih Padma Tiga itu terdiri atas tiga bangunan berbentuk padmasana berdiri di atas satu altar. Di Pelinggih Padma Tiga ini, menurut Piagam Besakih, Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa (Tiga Manifestasi Tuhan sebagai jiwa alam semesta). Tri artinya tiga dan purusa artinya jiwa. Tuhan sebagai Tri Purusa adalah jiwa agung tiga alam semesta. Sebagai jiwa Bhur Loka alam bawah Tuhan disebut Siwa atau Iswara. Sebagai jiwa dan alam tengah atau Bhuwah Loka, Tuhan disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa agung alam atas atau Swah Loka; Tuhan disebut Parama Siwa atau Parameswara.
Bangunan padma paling kanan sebagai sarana memuja Sang Hyang Parama Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa Swah Loka. Bangunan ini biasa dihiasi busana hitam. Karena, alam yang tertinggi (swah-loka) tak terjangkau sinar matahari, sehingga berwarna hitam. Warna hitam dalam konsep Tri Murti sesungguhnya hijau simbol Dewa Wisnu. Bangunan padma yang terletak di tengah adalah lambang pemujaan terhadap Sang Hyang Sadha Siwa, artinya, Tuhan yang menjiwai Bhuwah Loka (alam tengah) dengan busana putih. Warna putih adalah lambang akasa atau alam atmosfis.
Bangunan padma bagian kiri lambang pemujaan Sang Hyang Siwa yaitu Tuhan Sebagai Jiwa Bhur Loka dengan busananya merah. Di Bhur Loka inilah Tuhan meletakkan ciptaan-Nya berupa stavira (tumbuh-tumbuhan), janggama (hewan) dan manusia. Pelinggih Padma Tiga sebagai sarana pemujaan Tuhan sebagai jiwa Tri Loka (Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka). Hal ini menyebabkan Pura Besakih sebagai Pura Purusa dalam konsep Pura Rwa bhineda. Purusa dan pradana sering dipersepsikan dalam posisi laki dan perempuan atau positif dan negatif. Dalam konsepsi Rwa-bhineda, Pura Besakih sebagai Pura Purusa sedangkan Pura Batur sebagai Pura Predana.
Ketiga, sebagai pura Sad Winayaka. Pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka itu melahirkan Pura Sad Kahyangan di Bali. Sedikitnya ada sembilan lontar yang menyatakan keberadaan Sad Kahyangan di Bali itu berbeda-beda. Namun, Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu menetapkan Sad Kahyangan yang dijadikan pegangan di Bali adalah menurut Lontar Kusuma Dewa. Alasannya, Sad Kahyangan itu dibangun saat Bali masih satu kerajaan. Setelah Bali menjadi sembilan kerajaan, masing-masing kerajaan memiliki sad kahyangan menurut pandangan masing-masing kerajaan. Hal itu tidak keliru karena itu merupakan kedaulatan masing-masing kerajaan. Pendirian Pura Sad Kahyangan itu untuk memotivasikan umat secara spiritual agar melestarikan Sad Kertih yaitu Atma Kertih (penyucian jiwa Atman), Samudra Kertih (menjaga kelestarian laut), Wana Kertih (menjaga kelestarian hutan), Danu Kertih (menjaga kelestarian sumber-sumber air), Jagat Kertih (menjaga kualitas kehidupan bersama yang dinamis harmonis dan produktif), Jana Kertih (menjaga kehidupan individual yang berkualitas).
Keempat, sebagai pura Padma Bhuwana sebagaimana telah dinyatakan, Bali sebagai Padma Bhuwana oleh Mpu Kuturan. Artinya Bali sebagai simbol alam semesta stana Tuhan Yang Mahaesa. Keberadaan Tuhan di seluruh alam semesta ini di Bali divisualisasikan ke dalam wujud sembilan pura yang ada di sembilan penjuru angin Pulau Bali. Seluruh penjuru alam semesta itu adalah sembilan arah yaitu di Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat, Barat Laut, Utara dan Tengah. Pura yang didirikan di sembilan arah mata angin itu melambangkan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana. Tidak ada bagian alam ini tanpa kehadiran Tuhan.
Kelima, sebagai lambang Alam Bawah dan Alam Atas. Pura Besakih adalah simbol alam semesta. Kompleks pura di Luhuring Ambal-Ambal lambang alam atas (Sapta Loka). Kompleks pura di Soring Ambal-Ambal adalah lambang Alam Bawah (Sapta Patala). Pura Besakih sebagai lambang bhuwana divisualisasikan dalam berbagai dimensi alam semesta. Ada yang divisualisasikan sebagai Ider Bhuwana, Tri Bhuwana dan Sapta Loka. I Ketut Wiana.
Pura Taman Ayun
Pura Taman Ayun merupakan salah satu warisan dari dinasti kerajaan Gelgel ini dapat dikatakan memiliki nilai historis yang unik. Pembangunan pura yang digagas oleh Ida Tjokorda Sakti Blambangan atau I Gusti Agung Ngurah Made Agung pada awal abad ke-17 M ini memiliki sebuah konsep pemersatu. Pada masa itu, pura ini difungsikan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Mengwi yang memiliki berbagai latar belakang yang berbeda, baik itu kasta maupun aliran keagamaan untuk bersatu dan menghadap raja. Persatuan dari berbagai keragaman pun bukan hanya dijunjung sebagai konsep pura ini saja, tetapi juga terlihat jelas dari arsitekturnya yang merupakan gabungan dari gaya Majapahit, Cina dan Bali.
http://www.asiaexplorers.com/indonesia/bali/tamanayun/06.jpgTaman Ayun berarti Taman yang Indah. Pura ini terletak di desa Mengwi, Kabupaten Badung. Lokasinya yang agak menyendiri, menjauh dari kebisingan kota membuat pura ini tampil sangat asri dan elok, sekitar 18 kilometer barat laut kota Denpasar dan merupakan salah satu dari pura-pura yang terindah di Bali. Halaman pura ditata sedemikian indah dan dikelilingi kolam ikan yang dibangun tahun 1634 oleh Raja Mengwi saat itu I Gusti Agung Anom yang dihiasi oleh meru – meru yang menjulang tinggi dan megah diperuntukkan baik bagi leluhur kerajaan maupun bagi para Dewa yang beistana di Pura-pura lain di Bali.
Pura Taman Ayun adalah Pura lbu (Paibon) bagi kerajaan Mengwi. Setiap 210 hari tepatnya setiap “Selasa Kliwon Medangsia” (Menurut perhitungan tahun Saka) segenap masyarakat Mengwi merayakan piodalan selama beberapa hari memuja Tuhan dengan segala manifestasinya. Hal ini sesuai dengan isi Babad Mengwi dan keberadaan struktur bangunan candi, terutama candi yang terletak di daerah ketiga (Jeroan). Menurut Astadewata, Allah khusus dipuja di Pura Taman Ayun adalah Tuhan dalam manifestasi sebagai Tuhan Wisnu yang istananya terletak di puncak gunung Mangu.
             Kompleks Pura dibagi menjadi empat halaman yang berbeda, yang satu lebih tinggi dari yang lainnya. Halaman Pertama disebut dengan Jaba yang bisa dicapai hanya dengan melewati satu-satunya jembatan kolam dan Pintu gerbang. Begitu masuk di sana ada tugu kecil untuk menjaga pintu masuk dan di sebelah kanannya terdapat bangunan luas (wantilan) dimana sering diadakan sabungan ayam saat ada upacara.Di halaman ini, juga terdapat tugu air mancur yang mengarah ke sembilan arah mata angin. Sambil menuju ke halaman berikutnya, di sebelah kanan jalan terdapat sebuah komplek pura kecil dengan nama Pura Luhuring Purnama.
 Areal ke tiga atau Halaman ke dua, posisinya lebih tinggi dari halaman pertama untuk masuk ke halaman ini, pengunjung harus melewati pintu gerbang kedua. Begitu masuk, pandangan akan tertuju pada sebuah bangunan Aling-aling “Bale Pengubengan” (balai yang bersifat negatif, dimana di dalam Pura juga nanti ada yang besifat positif,)  yang dihiasi dengan relief menggambarkan “Dewata Nawa Sanga”, (9 Dewa penjaga arah mata angin).Di sebelah timur halaman ini ada satu Pura kecil disebut Pura Dalem Bekak, sedangkan di pojok sebelah barat terdapat sebuah Balai Kulkul menjulang tinggi. Kulkul adalah alarm dan alat komunikasi Tradisional masyarakat) menjulang tinggi  
Areal ke empat atau halaman terakhir adalah yang tertinggi dan yang paling suci. Pintu gelung yang paling tengah akan dibuka di saat ada upacara, tempat ke luar masuknya arca dan peralatan upacara lainnya. Sedangkan Gerbang yang di kiri kananya adalah untuk keluar masuk kegiatan sehari-hari di pura tersebut.
Pura Taman Ayu memiliki beberapa meru menjulang tinggi dengan berbagai ukuran dan bentuk. Tiga halaman dari Pura ini melambangkan tiga tingkat kosmologi dunia, dari yg paling bawah adalah tempat atau dunianya manusia, ke tingkat yang lebih suci yaitu tempat bersemayamnya para dewata, serta yang terakhir melambangkan Sorga tempat berstananya Tuhan Yang Maha Esa. Seperti dikisahkan dalam cerita kuno Adhiparwa , keseluruhan kompleks pura menggambarkan Gunung Mahameru yang mengapung di tengah lautan susu Berdasarkan kosmologi Hindu Bali, pura Taman Ayun ini terbagi menjadi tiga bagian, yang masing-masing adalah Swahloka yang merupakan tempat pemujaan kepada para Dewa dan leluhur, Bhurloka atau Madya Mandala sebagai tempat manusia biasa berada dan Bhuwahloka atau Nista Mandala yang merupakan sebuah representasi dari sebuah tatanan sosial. Berdasarkan konsepsi inilah mengapa Taman Ayun disebut sebagai perwujudan Padma Mandala.
Pura Taman Ayun pun setidaknya memiliki dua puluh sembilan pelinggih dengan berbagai bentuk yang masing-masing mengarah pada Gunung Agung sebagai pusat Padma-nya (teratai). Dalam lontar Usana Bali menyebutkan dari salah satu Dewa Catur Lokapalas melaksanakan ibadah adalah Meru Pucak Pangelengan yang merupakan bangunan candi dengan atap bertingkat sembilan. Pitara Allah adalah dewa jiwa suci leluhur yang juga disebut sebagai nama lain dari Hyang Pitara atau Dewa Hyang. Pitara Allah wajib disembah oleh pewaris klan (Prati Sentana) dalam bentuk upacara di pura yang artinya sama dengan dengan upacara kepada dewa. Keberadaan menyembah kepada Pitara Allah di Pura Taman Ayun dapat dicari dan dibuktikan oleh sesuai dengan keberadaan bangunan candi yang terletak pada deretan di timur oleh yang disebut Paibon yang mewakili Candi Khusus. Pura Taman Ayun dalam kapasitas atau statusnya sebagai altar khusus untuk keluarga Raja Mengwi Istana atau sebagai Merajan Agung dari Mengwi Keluarga Raja khusus untuk pendiri Kekaisaran Mengwi yang I Gusti Agung Putu.
            Pura Taman Ayun memiliki konsepsi religi tersendiri. Sebagai perwujudan Padma Mandala dalam konsepsi Hindu, Taman Ayun adalah sebuah kemudahan bagi masyarakat Hindu Mengwi. Mereka yang ingin sembahyang di pura-pura besar seperti pura Besakih atau Batukaru tetapi tidak mampu, cukup sembahyang saja di Taman Ayun. Kemudahan-kemudahan ini dihadirkan karena pada zaman dahulu, sangat sulit bagi masyarakat Mengwi untuk dapat mengunjungi pura-pura besar di pulau Bali.Candi adalah penyawangan, atau tempat untuk menyembah situs suci lainnya, dengan kuil untuk menyembah gunung puncak Bali Agung, Batukau dan Batur, serta kuil untuk Pura Sada, candi lain yang penting di Mengwi. Berbeda dengan sebagian besar candi di Bali, orientasi Taman Ayun adalah menuju Gunung Batukau, dan bukan Gunung Agung .
Pura Taman Ayun dibangun dengan tiga fungsi. pertama sebagai Pura penyawangan atau pengayatan sehingga masyarakat Mengwi yang ingin sembahyang ke pura-pura besar seperti Besakih, Batukaru, dan Batur cukup datang ke pura ini. kedua, sebagai pemersatu dari masyarakat dengan beberapa garis keturunan yang sama-sama beribadah ditempat ini. dan ketiga pura ini memiliki fungsi ekonomi karena kolam yang mengelilingi pura juga dipakai sebagai air irigasi untuk mengairi sawah-sawah di sekitar pura
Pura ini hancur karena gempa bumi hebat yang terjadi pada tahun 1917 dan tidak sempat dipugar hingga tahun 1950. Candi bentar dan tugu yang tingginya mencapai 16 meter di halaman bagian dalam Pura tersebut dibangun sesuai arsitektur Jawa, sedangkan candi yg kecil berupa tempat duduk dari batu berjumlah 64 buah merupakan tugu leluhur jaman megalitikum untuk mengenang para ksatria yang gugur dala